Ngatinem, penjual tempe di Pasar Pathuk, dengan bangga memperkenalkan Pasar Pathuk sebagai pasar terapik di Yogyakarta. “Pasar ini paling bagus sendiri. Sayur -sayuran itu juga paling bagus se-Jogja,” katanya bersemangat. Ditanya alasan apa yang membuat pasar ini begitu mengedepankan kualitas barang, ia hanya menjawab bahwa “nyonya-nyonya” tidak mau beli kalau barangnya tidak bagus. Nyonya-nyonya adalah sebutan para pedagang pada pembeli keturunan Tionghoa. Menurut Ngatinem, para nyonya rela mengocek saku lebih dalam untuk kualitas makanan yang bagus.
Tak hanya menjadi langganan perseorangan, Pasar Pathuk juga menjadi tempat beberapa hotel dan restoran mengambil suplai makanan. Kecho Rahardjo, yang sehari-harinya berjualan daging ayam di Pasar Pathuk mengatakan bahwa penting bagi para pedagang untuk menjaga kualitas barang dagangan. “Karena konsumen kita kebanyakan dari hotel atau restoran. Tentu cari bahan makanan yang baik. Beberapa rumah makan chinese food khususnya di Malioboro kan jadi langganan tetap disini.”
Kualitas barang di pasar yang berada di kampung Pecinan ini memang sudah teruji, hingga hotel-hotel berani mengambil suplai makanan dari pasar ini. Hal ini juga diiyakan oleh Slamet Suharjana, Lurah Pasar Pathuk. Menurutnya harga barang dagangan di Pasar Pathuk memang terkenal mahal. Tetapi hal ini berbanding lurus dengan kualitas barang dagangan. Maka tidak heran jika omzet pasar yang memiliki total 250 pedagang ini mampu mencapai 17 juta per harinya. “Itu belum termasuk retribusi tanpa fasilitas. Kala dirata-rata, pendapatan kotor itu 250 ribu rupiah perhari. Minus fasilitas seperti parkir dan kamar mandi,” imbuh Slamet.