Kamis, 05 November 2015

Piknik Di Bawah Pohon Bodi














Proficiat Buat Kita Semua!


Alhamdulillah. Puji Tuhan Gusti Allah. Akhirnya, 31 hari berjalan sudah. Dan bulan blogging seri II berakhir. Pada postingan terakhir dalam rangka BBKU, semua diwajibkan memilih tiga blog terbaik serta satu honorable blog. Asalnya sih mau abstain, tapi kayaknya ndak fair juga. 

Maka, inilah tiga blog yang menurut saya warbiyasak. 

1. Djarwo
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Jarang sekali menulis yang cuma satu atau dua kalimat. Pokoke niat banget menulis di hampir setiap postingan.

Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. 

3. Neli  
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Dan bersedia menjadi admin yang luar biasa. 

Honorable blog:

Apa pasal?

Jelas karena postingan Kaks Aul yang luar biasa fenomenal, Semacam Mirip. Ya Allah luar biasa banget! Seorang Dian Dwi Anisa dibilang mirip dengan Ladya Cheryl. Siapa yang nggak heran sekaligus berbungan-bunga. Secara, saya merasa paras saya jauh banget dari Mbak Ladya Cheryl. Hahaha. 


Supaya meyakinkan kemiripan antara saya dan Ladya Cheryl, barangkali saya dan Mbak Aul bisa tanya langsung ke fans berat Ladya Cheril alias Kaks Jarwo. “Gimana, Wo?”

Rabu, 04 November 2015

Yang Baru Terlihat di Sekolah Pascasarjana Versi Saya



Hari ini, kebetulan saya mendapati empat hal unik yang ada di sekitaran Sekolah Pascasarjana UGM. Apa sajakah itu? 

1. Mukena langsungan di Masjid Apung yang bertuliskan "Teruntuk Pasca Sarjana UGM"




 2. Tanaman rambat yang menjuntai dan menyembul dari saluran pembuangan lantai dua.



3. Baru sadar bahwa Cafetaria Dhewe bukan bermakna kafetaria sendiri tapi singkatan dari Dharma Wanita. 
 




4. Citra Buana Halil yang nongkrong di kampus selepas kuliah bubar. Sumpah, ini hal paling langka dan paling jarang terlihat!






Selasa, 03 November 2015

KEPOtalisme

Herbert Marcuse, dalam One Dimensional Man, berasumsi bahwa kini, masyarakat telah terdominasi oleh teknologi dan menyaru menjadi masyaraat teknokratis. Masih menurut Mas Marcuse, dominasi tersebut melahirkan empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol yang baru. Kedua, tertutupnya dunia politik. Ketiga, desublimasi represif. Dan, keempat, hilangnya fungsi kritis. (bagian ini saya ambil dari laman ini)

Saya cukup tertarik dengan dampak ketiga, yakni desublimasi represif. Sepengetuhan saya yang dangkal, dua kata terakhir dalam kalimat sebelumnya mengacu pada ketahuan diri bahwa ada penindasan yang sedang terjadi pada diri sendiri, namun kita toh tetap senang alias menikmatinya. Tentu saja, Marcuse mengaitkannya dengan sistem kapitalisme yang mengakar bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. 


Semalam, saat berkabar dengan "sahabat pena" saya yang jaraknya 1649 kilometer, saya sempat membahas tentang istilah desublimasi represif. Setelah percakapan absurd, saya lantas berkesimpulan bahwa bagi saya desublimasi represif yang paling subtil setelah kapitalisme adalah keingintahuan tentang mantan dari orang yang kita suka.  Alias kepo. Yang bisa saja berujung pada "riset intensif" alias stalking. (Boleh lho baca tulisan saya yang sebelumnya, "Bahaya Laten Stalking")

Kita semua seharusnya sepakat bahwa mengorek informasi tentang mantan dari orang-orang yang sedang dekat adalah menyakitkan. Tapi herannya, kok ya tetap saja dilakoni. Berasa ada kepuasan tersendiri setelah menyakiti diri sendiri sampai ke sumsum tulang. Padahal bikin giris hati. Di situlah inti desublimasi represifnya.

Dan sahabat pena saya yang cerdik bukan buatan itu kok ya serupa Archimedes yang menyeru "Eureka" kala masuk bak mandi dan menyadari ada permukaan air yang naik. Jika Archimedes menemukan bahwa air yang tumpah sama dengan gaya yang diterima tubuhnya, maka sahabat pena saya itu, menemukan satu istilah baru: kepotalisme.

Kata kepotalisme sendiri adalah tanggapan atas desublimasi represif versi saya perihal keingintahuan mantan dari orang yang kita suka. Tapi menurut si penemu istilah,  kepotalisme bermakna keingintahuan berlebih atas mantan dari calon pasangan baru.


Yah, apapun istilahnya, minumnya teh botol sosro semoga Tuhan melindungi pasangan kita semua dari godaan para mantannya.

Senin, 02 November 2015

Sebuah Pertanyaan Tentang Etnografi

Percakapan terjadi saat mata kuliah Pengantar Cultural Studies oleh Pak Budi Irawanto yang sedang menjelaskan tentang etnografi baru.

Ito : Mengamati perilaku pacar itu termasuk etnografi bukan? 

Dian : Kalau tinggal bareng kayaknya iya.  Kan prinsipnya live in.

Dan kita menyetujuinya.  

Minggu, 01 November 2015

Sabtu, 31 Oktober 2015

Senang Bersamamu

Mengutip Rocky Gerung, bahwa musik adalah kurir rindu. 

Malam Minggu ini, ada rindu yang pungkas, ada rindu yang mesti menunggu.

Buat para perindu, yakinlah bahwa bersamamu adalah menumpuk kesenangan!


Jumat, 30 Oktober 2015

Kisah-Kisah yang Melayang di Udara

Seorang teman asal Klaten baru pulang dari Jerman. Selain coklat, ia bawa banyak cerita. Karenanya, tiada waktu yang cukup buat menulis panjang lebar. Saya harus dengan seksama mendengar kisahnya. Juga kisah seorang kawan yang hendak menikah dengan pacarnya yang asal Romania. 
Pun mereka. Harus mendengar kisahku yang biasa-biasa saja. 

Kamis, 29 Oktober 2015

Anggap Saja Ini Fiksi Mini

#Rambut 
Medusa berang. Ular-ular di kepalanya seketika menghilang. Tergantikan oleh rambut tebal hitam mengkilau a la rambut para gadis Sunsilk. 

#Dahi 
Haji Muhidin tak menyangka. Setelah tahunan tetirah, bulatan hitam di dahinya luntur. Kini kepalanya ditumbuhi tato panah serupa milik Aang si Avatar Pengendali Air. 

#Hidung
Di depan para Death Eater, Voldemort melonjak kegirangan. Akhirnya, hidungnya yang sangat pesek mulai tumbuh. Bahkan melebih-lebihi hidung Pinokio. Ketahuan, bahwa ia sebenarnya berpura-pura menjadi seorang keji. 

#Mata
Mitos bilang, di antara kedua mata Dajjal tertulis kata “ka-fa-ro”. Tapi, kata itu kutemui di antara kedua mata Yang Mulia Presiden Kita yang gemar menzalimi rakyatnya. 

#Bibir
Puff! Bibirnya yang tebal, ranum, dan merah menggoda meletus. Darah berleleran. Operasi bibir a la Angelina Jolie gagal total. 

#Telinga 
Kini, semua orang bisa memiliki telinga Vincent Willem van Gogh dengan harga yang cukup terjangkau. Rupa-rupanya, dulu, sang pelukis mengubur telinga di sebuah pot. Kini, telah berbuah. 

Rabu, 28 Oktober 2015

Kombinasi Deadline dan Demam

Pagi ini dibuat oleh tenggorokan yang sakit. Barangkali karena saya selalu tidur dalam kondisi mulut menganga. Kebiasaan yang sungguh susah dihilangkan.  Atau karena kelelahan. Atau karena sedang iseng saja. Lantas, segala macam kesakitan mulai menyerang kepala. Mulai dari mata yang perih, kunang-kunang, pening, sampai hidung tersumbat, dan bersin puluhan kali. Kata seorang teman, saya boros kata. Pleonasme. "Bilang saja demam," begitu katanya. 

Di sisi lain, deadline sudah di ambang batas. Pekerjaan belum juga rampung. Tapi penyakit mulai berdatangan. Maka, nikmat Tuhan mana lagikah yang kamu dustakan?

Maka, saya mohon pamit mengakhiri tulisan ini. Bagi kamu-kamu yang masih sehat dan tak punya deadline, Proficiat!

Selasa, 27 Oktober 2015

deadline

Karena deadline sangat mengganggu,  maka postingan ini harus dibuat sesingkat mungkin. Ada 4 tulisan menunggu rampung. Ada bos yang sebentar lagi mengaum. Ada 1 narasumber yg hilang ditelan kesibukannya sendiri. Dan ada sisa halaman 250 lembar untuk dikerjakann. semua harus selesai.

Senin, 26 Oktober 2015

Edisi Memaafkan Mantan

Pernah patah hati? Yang benar-benar patah tah tah tah? Patah hati yang sampai mengubah orientasi hidup kamu? Patah hati yang membuat kamu serupa orang kehilangan harapan hidup? Patah hati yang membuat kamu enggan menyentuh makanan berhari-hari lamanya? Patah hati yang ah sakitnya membuat perut ingin muntah?

Sekarang, apa kamu sudah bisa tersenyum jika mengingat patah hati itu?

Maka, berterima kasihlah pada si pembuat patah hati. 

Bahwa ia telah membawamu pada fase terburuk. Bahwa ia telah memberikan bekal kekuatan yang lebih untuk menghadapi perpisahan selanjutnya. 

Minggu, 25 Oktober 2015

Senna



Sesorean tadi,  Abdul Kareem Kayana Wirasenna,  keponakan paling gress menangis tak kunjung diam. Sudah diberi ASI tetap menangis. Sudah digendong masih menangis.

Saya yg tertidur,  mau tak mau bangun juga.  Menawarkan gendongan.
Saya gendong dan nyanyikan on the night like this punya mocca. Senna diam. Saya nyanyikan Galih dan Ratna.  Lah kok diam juga.

Rasa-rasanya jd pengen belajar lullaby.

Jumat, 23 Oktober 2015

Alergi: Musabab dan Solusinya (II)

#Hari Kesembilanbelas Bulan Blogging KBM UGM

Lalu, saya tertarik mengadakan “penelitian” tentang alergi yang diderita kawan-kawan saya di jurusan Kajian Budaya dan Media. Tujuannya mulia: supaya saya tahu apa yang boleh dan tidak boleh saya berikan pada mereka. Baiq hati sekali saya. Jadi terharu.

Karena niat dari tulisan ini adalah membantu, maka tidak akan ada inisial atau nama alias. Semua identitas akan ditulis secara terang benderang. Jadi, kawan-kawan lain bisa juga membantu para penderita alergi ini.

Dari sekian kawan yang saya tanyai, ada beberapa alergi kerap diderita. Antara lain alergi dingin, alergi debu, alergi makanan tertentu, alergi manusia sok pintar, dan alergi yang berkaitan urusan percintaan. Tapi ada yang lebih epic, yakni alergi kepunyaan Mbak Sumayya perempuan random ke-arab-araban.

Mari lihat penjabarannya di posting esok hari!

Alergi Dingin

Siapa saja penderita alergi dingin? Salah satunya adalah Mbak Chacha yang cantik dan menggemaskan. Ketika saya tanya via whats app dia punya alergi apa, dia jawab “Namanya kaligata atau biduran.”

Saya syok, ternyata perempuan cantik juga tak bisa mengelak dari nasib! Biduran pula. Chacha mendaku pertama kali terkena biduran saat mulai kuliah S1 di Universitas Padjadjaran yang mana adalah terletak di Bandung, Jawa Barat. Seperti kita ketahui bersama, bumi pasundan kan dingin luar biasa. Nah, suhu dingin ini yang membuat Chacha sering kena biduran. Maklum, sedari kecil, Chacha tinggal di daerah pesisir yaitu Cirebon. “Jadi pas merantau ke Bandung perlu adaptasi yang lama sama suhu di sana,” katanya.

Bagi Chacha, salah satu solusi menghadapi alergi dingin adalah kehangatan. Ia bilang, “Aku selalu butuh kehangatan. Salah satu cara biar ngga alergi: mencari kehangatan. Silakan dipersepsi masing-masing," kata dia. 

Barangkali yang sedang berusaha dekat dengan Chacha bisa sering-sering membawakan selimut, mintak tawon, dan wedang jahe, beserta ubi rebus. Jaga selalu Chacha tetap berada dalam kehangatan.

Selain Chacha, ada juga Mbak Neli yang sama-sama menderita alergi terhadap dingin.Tapi saya haqul yakin Kaks Dimas sudah memberinya kehangatan cinta kasih yang luar biasa. Makanya, alergi dingin Mbak Neli jarang kambuh.


Tapi, ada lagi yang lebih mandiri. Ialah Ni Ketut Ari. Perempuan Bali ini juga alergi dingin. Kita harus memberi dia penghormatan tanpa akhir! Tanpa harus dihangatkan oleh seseorang, ia berhasil menghalau kedinginan yang melanda hati dan raganya seorang diri. Cukup dengan minyak telon atau mandi dengan air daun sirih lantas menggosokkan garam pada badan, maka voila! Sembuhlah ia!

Alergi yang lain, kita lihat di postingan kapan-kapan!

Kamis, 22 Oktober 2015

Gendhis, Semanis Gula Buat Hidup


#Hari Kedelapanbelas Bulan Blogging KBM UGM 


Namanya Gendhis. Dititipkan Tuhan kepada dunia pada 15 Juni 2013 lalu. 

Saya bukan ibunya. Hanya seorang tante, adik dari ibunya. Tapi, cinta kasih buat dia seluas-luas hati. Kasih, sayang, dan cinta memang pantas dia terima. Karena dari dia, saya mengerti rindu. Saya mengerti menciptakan bahagia. Saya mengerti sedih yang menyayat karena bibir mungilnya pernah dipenuhi sariawan. 

Serupa namanya, ia bagai gula. Atau manisan. Yang jelas, ia membuat hidup lebih manis. Lebih menyenangkan. 

Memeluk Gendhis bagai memeluk kebahagiaan dan keriangan. 


Rabu, 21 Oktober 2015

Alergi: Musabab dan Solusinya (I)

#Hari Ketujuhbelas Bulan Blogging KBM UGM

Tulisan ini dibuat dalam rangka menanggapi tulisan spektakuler saya kemarin. Sebuah postingan yang membuat Kaks Dimas terpesona sampai terpancing untuk kasih komentar yang juga fenomenal. Pada postingan kemarin, saya bilang ingin berubah menjadi Pikachu. Tapi tak bisa. Karena tak bisa itulah, saya akhirnya berhenti menulis. Mau nulis apa lagi coba? Ya sudah, dua kalimat sudah cukup kok!

Tapi, kalau dipikir-pikir saya pernah lho hampir serupa Pikachu! Pikachu itu 'kan Pokemon alias Pocket Monster. Tapi setidaknya ada dua perbedaan antara Pikachu dan saya yang bertransformasi menjadi montster. Pertama, Pikachu begitu lutju, sedangkan saya versi monster adalah sangat amit-amit sekali. Kedua, Pikachu bisa dimasukkan ke dalam bola merah putih itu, sedangkan saya tentu saja tidak bisa!
...
Jadi, dulu sekali, waktu saya masih kelas 2 atau 3 SD, wajah saya pernah serupa monster. Saya lupa apa musabab yang membuat badan saya tiba-tiba penuh benjolan. Bukan hanya badan, muka pun mulai membengkak. Benjolan merah yang walaupun tidak gatal tapi membuat wajah imut saya raib secara tiba-tiba. Mama saya bahkan dengan tega bilang, saya mirip monyet (sial sial sial). Tapi sumpah, mengerikan!

Bapak saya panik bukan kepalang. Lantas, saat Magrib datang, kami berdua segera “sowan” ke dokter. Sampai di tempat praktik, Pak Dokter yang budiman itu sedang bersiap-siap hendak ngibadah. Bapak yang panik melihat anaknya bermetamorfosis menjadi seorang monster itu lantas membentak Pak Dokter. “Pak, salatnya nanti aja! Ini anak saya gimana?”

Selasa, 20 Oktober 2015

Senin, 19 Oktober 2015

Sedikit Catatan Seorang Junior Buat Senioranya

#Hari Kelimabelas Bulan Blogging KBM UGM 

Tulilulilut!

Sebuah pesan whats app masuk ke telepon genggam saya. Ternyata dari Kaks Dimas Bunyinya, “Bagianmu Dhini Ariesta yan (disertai emoticon tersenyum lebar tanpa dosa.)”

Jadi, mengikuti aturan yang dibuat oleh pihak berwenang yang sewenang-wenang, alias Panitia Bulan Blogging KBM UGM, hari ini adalah hari khusus. Semua peserta wajib mereview tulisan peserta lain. Sesuai titah dari Kaks Dimas (salah satu piak yang berwenang), kebetulan saya dapat jatah undian mereview teks-teks dalam blog Kaks Dini. Saya sih khawatir. Secara dong ya! Kaks Dini ini 'kan seniora saya di kampus. Ilmu dan kemampuan saya dipastikan lebih cetek ketimbang blio. Kok yo aku kewanen tenan!

Tapi demi tidak disewenang-wenangi oleh Kaks Dimas dan gerombolannya, ya sudah. Apa boleh bikin. Jadilah tulisan yang sednag Anda baca ini.

Kalau saya diperkenankan memberi catatan, maka beginilah jadinya:
Haqul yakin saya tertarik banget baca tulisan ini. Berasa sedang mengaca pada nasib sendiri. tapi kok bisnis online-nya belum disebut-sebut ya. Jadinya kan saya bertanya-tanya. Ini hubungannya mana ya? Kok ndak dijadikan satu bagian aja sekalian.. hmmmm. 

-    Saya apresiasi betul kalau Kaks Dini posting ilustrasi cerpennya Agus Noor. Blio ini salah satu inspirasi aing dalam menulis cerita pendek. Setelah Seno Gumira Ajidarma tentunya.

-   Lewat tulisan Mreman Dulu!, saya jadi tambah ilmu. Bahwasannya kata "mreman" tak semata-mata berkaitan dengan tindakan kriminal. Tapi juga ya ngrewangi nandur.

-  Kaks Dini ini enak betul kalau menggambarkan sesuatu. Cukup detail dan mengalir. Coba dikau baca tulisannya yang Maling Cabai. Sampai kebawa horor!


Uwis ah. Suhu Jogja lagi panas-panasnya. Bikin pusing dan ndak bisa mikir. 

Minggu, 18 Oktober 2015

Karena Menonton Konser Adalah Ibadah

#Hari Keempat Belas Bulan Blogging KBM UGM

Suatu ketika, pada suatu saat yang entah, Pakdhe saya yang haji dan konservatif serta NU tulen itu bilang, “Ngapain nonton konser. Mending di rumah. Ngaji.” Barangkali Pakdhe saya ini belum pernah sama sekali nonton konser. Tapi kok ya blio lebih suka menari jipinan yang diiringi lagu khas timur tengah sana. 

“Omaygot. Omaygot. Omaygot,” desis saya waktu itu, tak berani melabrak langsung pemikiran sejenis itu. Bagi saya, konser justru semacam ibadah yang harus ditunaikan. Bila ibadah Pakdhe saya salah satunya adalah berhaji, maka saya belum mampu mengikutinya. Secara psikologis dan dana, saya belum bisa ke Mekah sana dan menciumi Kabah serta Hajar Aswad.

Saya bilang menonton konser adalah ibadah. Jika ibadah dimaksudkan untuk katarsis, semacam penyucian diri yang membawa perubahan rohani dan pelepasan dari ketegangan. Maka, menonton konser menjadi semacam katarsis yang membuat diri ini melayang-layang menuju tahap trance. Ibadah konser menjadi suatu aktivitas orgasme menikmati musik secara massal. 

Sabtu, 17 Oktober 2015

Hari Minggu yang Ideal


*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.

Jika besok bisa menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12 malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua mata.

Saya akan terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.

Lalu saya bisa menjadi pemalas sepanjang hari.

Tapi, karena ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di sebuah lapangan. Sesekali push up atau sit up. Atau sekadar mencari sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan kering.

Di hari Minggu yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah itu, bolehlah kita menulis feature bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.

Siang hari, kita angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.

Lantas kita akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.

Di atas balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.

Kita bingung. hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang bikin kita mampus ketawa.

Lantas kita tiba-tiba diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor. Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas wajahmu. "Goodboy," desisku. 

Karena ini hari Minggu yang impian, boleh dong saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.


Tapi saya lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang liburan. 

Atau seharian menonton konser. 

Hari Minggu yang Ideal


*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.

Jika besok bisa menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12 malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua mata.

Saya akan terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.

Lalu saya bisa menjadi pemalas sepanjang hari.

Tapi, karena ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di sebuah lapangan. Sesekali push up atau sit up. Atau sekadar mencari sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan kering.

Di hari Minggu yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah itu, bolehlah kita menulis feature bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.

Siang hari, kita angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.

Lantas kita akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.

Di atas balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.

Kita bingung. hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang bikin kita mampus ketawa.

Lantas kita tiba-tiba diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor. Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas wajahmu. "Goodboy," desisku. 

Karena ini hari Minggu yang impian, boleh dong saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.


Tapi saya lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang liburan. 

Atau seharian menonton konser. 

Jumat, 16 Oktober 2015

Bahaya Laten Stalking

#Hari Keduabelas Bulan Blogging KBM UGM 

Berdasarkan survei yang asal-asalan, hampir setiap manusia ber-gadget, atau setidaknya memiliki akun media sosial, pernah melakukan tindakan stalking. Mengapa bisa saya simpul hasil survei berbunyi seperti itu? Barangkali karena pada dasarnya manusia punya sifat selalu ingin tahu. Termasuk ingin tahu masa lalu orang lain.

Lantas, apa itu stalking? Stalking adalah daya, upaya, dan usaha seseorang yang jatuh cinta atau putus asa atau curiga untuk mengecek akun media sosial orang yang ia jatuh cintai atau ia curigai. Upaya ini biasanya tak jauh-jauh dari urusan percintaan. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang seseorang stalking orang yang tidak ia kenal. Para selebtweet misalnya. Alasannya ya teuteup: karena kita ingin tahu apa yang dilakukan oleh orang lain. Atau ingin tahu gagasannya semata.

Ketika saya mengecek kata dasar dari “stalking” yaitu “stalk” dalam kamus Enggres, saya justru menemui makna “batang, tangkai, mengejar, dan mengikuti”. Kok kurang pas dengan konsep stalking yang ada di kepala saya. Makna paling terterima barangkali makna terakhir yaitu mengikuti. Walaupun kurang pas juga. Lantas muncullah dalam kepala saya kata “menguntit” yang berasal dari kata “kuntit”. Rupa-rupanya kata ini, dalam KBBI, juga bermakna mengikut (dari belakang).

Sejatinya, menurut meme yang dibagikan oleh Mbak Fina di grup whats app, stalking sama halnya dengan intense research. Iya, stalking itu kan semacam penelitian yang dilakukan dengan intensitas yang cukup besar. Benar juga. Kok ya saya baru kepikiran. Kemana ajaaaa.

Ah ya sudahlah saya tetap pakai kata stalking. Lagi pula disini tidak akan dipermasalahkan muasal kata ini kok.

Pelaku stalking, yang biasa disebut sebagai stalker, sudah pasti adalah orang-orang yang punya rasa ingin tahu yang begitu besar. Segala macam aktivitas gebetan, mantan pacar, calon pacar mantan pacar, mantan pacarnya mantan pacar saja ingin ia ketahui. Kurang kerjaan? Tidak juga! Haram bagi kita menyebut para stalker sebagai orang yang kurang kerjaan. Nope! Mereka-mereka ini justru meluangkan waktunya yang begitu sempit demi memuaskan rasa ingin tahu tentang pribadi seseorang. Luar biasa bukan?

Para stalker ini juga wajib kita beri anugerah sebagai orang bermental baja. Gimana ndak? Dengan beberapa klik saja, mereka harus siap menghadapi kenyataan. Beruntung apabila kenyataan yang akan dihadapi adalah kenyataan yang baik, kalau buruk? Ya nasib!

Sebenarnya kita tahu bahwasannya stalking lebih banyak mudharatnya. Apalagi kalau urusan percintaan bertepuk sebelah tangan. Tapi para stalker ini tetap saja rajin korek-korek informasi demi terpuaskan rasa ingin tahunya.

Inilah yang saya sebut sebagai bahaya laten komunis, eh salah, bahaya laten stalking. Meskipun tahu akan menyakitkan, kita tetap memaksakan diri untuk lanjut men-scroll media sosial korban stalking. Seperti antara sadar dan tidak sadar, kita begitu gemar menyiksa diri sendiri. Lebih-lebih ketika melihat postingan korban stalking yang posting mesra-mesraan dengan orang lain. Tiba-tiba saja air mata sudah menggenangi mata kaki. Perasaan marah, sebal, dan geram akan terakumulasi dan menghasilkan pupusnya harapan. Mana bisa hidup kalau hidup sendiri tidak diselipi dengan harapan-harapan?

Maka kesimpulan saya satu, stalking bisa saja mengakibatkan kematian!

Tapi tenang dulu, para stalker tak perlu risau. Terlebih stalker yang juga merupakan adalah seorang perempuan yang curiga dan cemburu pada pacarnya, atau yang sedang naksir pada gebetannya. Menurut sepengetahuan saya yang seadanya, perempuan yang sedang dirasuki keinginan stalking akan berubah menjadi intelijen yang punya daya investigasi luar biasa. Melebihi para anggota FBI, CIA, dan juga MOSAD. Intel dalam negeri sih bukan lawan yang sebanding. Menyingkir saja!

Mungkin ini tawaran yang menarik buat BIN (Badan Inteligen Negara). Mereka bisa mulai melakukan rekruitmen intelijen dengan mencari para ahli stalker dengan jam terbang tinggi.


Kamu-kamu yang doyan stalking, tertarik?

Kamis, 15 Oktober 2015

Memaknai Perjalanan

#Hari Kesebelas Bulan Blogging KBM UGM

Beberapa tahun lalu, saya pulang dari Jakarta menuju Tegal. Dengan bus Dewi Sri, saya duduk di bangku paling depan. Bus melaju cukup kencang membelah jalur pantura yang panjangnya tidak kepalang. Persis di depan bangku yang saya tempati, adalah bangku tambahan milik kondektur bus. Di situ, duduk seorang perempuan. Saya tak bisa melihat wajahnya. Hanya bisa melihat rambut hitam sebahunya yang tergerai. Badannya terguncang. Ia bukan lagi sesenggukan. Air matanya tumpah. Suaranya meraung-raung. Barangkali membanjiri jalan aspal. Bapaknya mati. Dan perempuan itu terancam tak bisa melihat wajah bapaknya yang harus segera masuk pekuburan. 

Beberapa bulan lalu, saya berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta. Dengan bus Citra Adi Lancar, saya duduk di bangku tengah. Bus melaju lambat membelah jalur selatan yang panjangnya tidak kepalang. Dua bangku di depan saya diduduki oleh dua bocah perempuan kakak-beradik. Usia mereka mungkin sekitar 7 dan 6 tahun. Mereka tak mau diam. Duduk di sandaran kursi. Mengobrol apa saja. Lantas ketawa-ketiwi. Kemudian memanggil ayah dan bundanya yang duduk berdua di bangku seberang. 

Masih beberapa tahun lalu. Sudah lama sekali. Ketika saya juga berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta menggunakan bus Citra. Masih pagi. Orang-orang sibuk dengan telepon genggamnya. Sebagian masyuk melihat barisan rumah dan pepohon berbingkai jendela bus. Sebagian lelap tertidur. Tapi saya melihat kamu yang duduk di bagian depan seberang. Bukan karena kamu tampan. Toh, saya tak bisa melihat wajahmu. Saya tak mengenalimu. Tapi, saya melihat kamu berdoa. Menyandarkan kepala di sandaran bangku depanmu. Menengadahkan tangan. Barangkali kamu berdoa minta keselamatan. Maka, dalam hati saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Mungkin, doamu begitu mangkus sampai kami semua bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat. 

Setiap perjalanan punya kisah masing-masing. Tidak ada yang pernah sama. Boleh saja rute yang kita lalui sama. Atau kita tumpangi bus yang sama. Atau motor yang sama. Atau tujuan perjalanan yang sama. Atau bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi, sekali lagi, setiap perjalanan punya kisahnya masing-masing, punya kebahagian masing-masing, punya kesedihan masing-masing dalam perjalanannya masing-masing.

Maka, bagi saya, salah satu jalanan di Yogyakarta itu akan selalu punya maknanya sendiri. Saya lupa tahunnya. Sudah lama sekali, walau juga tak sampai setengah dasawarsa. Tapi saya ingat betul, saya tumpangi motor pinjaman seorang kawan. Saya tutup separuh wajah saya yang memerah padam dengan slayer bergambar strawberry. Saat itu, saya marah. Saya geram. Saya sedih. Saya takut. Tidak ada satupun perasaan bahagia yang menajuk. Suram, pikir saya waktu itu. Perjalanan kali itu tak hanya meninggalkan jejak roda semata. Barangkali ada air mata yang –biarpun hanya berapa mililiter— menggenapi jalanan yang mulus rata. 

Seiring waktu, perjalanan suram itu berubah makna. Boleh jadi saya menangisinya untuk pertama kali. Bukan. Bahkan saya menangisinya untuk kedua kali, kesepuluh kali, dan barangkali ke seribu kali. Kini, air mata yang rutin keluar untuk peristiwa sebelum perjalanan itu sudah menyaru menjadi baja. Semoga ia menetapkan diri untuk benar-benar berubah menjadi baja, bukan menyamar belaka.

Kamu, terima kasih!

Rabu, 14 Oktober 2015

Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!

#Hari Kesepuluh Bulan Blogging KBM UGM

“Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!”

Ini adalah umpatan legendaris yang dilontarkan Kasino dalam salah satu film Warkop. Betapa cerdasnya penulis skenario film tersebut. Sampai-sampai monyet hingga brontosaurus pun jadi kata makian!

Lantas saya bertanya-tanya: mengapa bisa kata-kata bertema perhewanan mengisi gudang kosakata makian? Aprinus Salam dalam Kata Pengantar bunga rampai “Karnaval Caci Maki” terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi (Persma Kampus UNY) menuliskan bahwa ada tiga teori tentang kelahiran kata-kata. 

Pertama, adalah teori teologis. Para penganut teori ini percaya betul bahwa kata-kata berasal langsung dari Tuhan. Bahwa kata-kata serupa wahyu yang turun begitu saja dari langit sana dan disampaikan dengan bantuan para malaikat. Bayangkan saja, betapa sibuknya para malaikat ini apabila selalu membisiki manusia dengan kata-kata yang makin hari makin bejibun. Bayangkan juga seorang malaikat dengan iseng membisiki seorang remaja dengan kata-kata gahool kekinian. 

Nah, teori ini bisa saja kita persoalkan dengan mudah. Teori ini begitu saja meremehkan kemampuan manusia. Bahkan, Koentjaraningrat pun bilang kalau bahasa merupakan salah satu produk budaya. Bukankah budaya (menurut definisi Koentjaraningrat) merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia? 

Selasa, 13 Oktober 2015

Mata Panda



#Hari Kesembilan Bulan Blogging KBM UGM 

Ada yang beda dari anak-anak KBM 2015 tadi pagi. Jika biasanya kami hadir dengan wajah berbinar-binar menghadapi masa depan yang begitu cerah, maka tidak pagi ini. Seakan-akan hari itu adalah kiamat sugra, di mana kami akan dihabisi lantas dihisab.
Jika biasanya ada haha-hihi yang mampir sebelum kelas mulai, maka tidak pagi ini. Keluhan tak henti-hentinya meluncur dari masing-masing kami. Beberapa kali umpatan keluar –terutama dari mulut saya. Hampir setiap orang tiba-tiba punya kantung mata yang begitu kentara. Mata panda yang menghiasi wajah-wajah kuyu. Belum lagi cara jalan yang tiap anak yang limbung. Bahkan, Mbak Chacha yang tiap pagi tampil menggemaskan pun, ikut-ikutan terlihat abstrak seperti yang lain.
Tahu kenapa?
Pagi itu adalah hari pertaruhan! Jadi, dalam waktu kurang dari satu minggu, kami diberi tugas mengerjakan tiga paper. Satu, meresensi sebuah buku. Dua, menulis ulang pemikiran seorang filsuf. Tiga, mengkaji sebuah fenomena sosial. Setelahnya, kami pun harus ujian lisan. Ah betapa!
Tentu pekerjaan yang berat buat kita mengerjakan tiga tugas itu dalam waktu yang begitu sempit. Puncaknya adalah malam tadi. Ketika satu kelas lembur demi tugas-tugas yang rampung. Buktinya? Ya itu tadi! Hampir semua anak punya mata panda yang begitu lucu. Yang barangkali bisa diisi uang koin seratus rupiah seperti kantung mata Pak SBY.

Cukup beruntung buat Dewi karena ia bisa istirahat pukul setengah dua belas malam. Tapi ia harus membayarnya dengan membolos kuliah seharian sebelumnya dan menghadap laptop dari jam 11 siang. Ada Ari yang berhasil tidur jam 5 pagi. Ada Ito yang baru tidur pukul setengah 7 dan terpaksa bangkit kembali setengah jam kemudian karena kelas dimulai pukul 8. Ada juga Wafiq yang mendaku tak tidur semalaman. 
Barangkali hanya Nasa yang paling beruntung di antara kami semua. Di saat kami masih sibuk berbagi ide dan kepusingan di grup whats app pukul 9 malam, doi justru bilang bahwa tugasnya selesai. 24 halaman pulak. 
Warrrbiyasah!

Hore!

#Hari Kesembilan Bulan Blogging KBM UGM

Demi merayakan berakhirnya tugas-tugas dari Pak Heru, mari kita mabuk-mabukan. Tenggelam dalam kesenangan yang nyatanya semu. Karena, besok, besok, besok, besok, dan besoknya lagi akan ada tugas serupa. Cuma beda dosen. 

Ah sudahlah. Boyok saya sudah macek tidak ketulungan. Akibat enam hari memaksakan diri buat tekun belajar. Duduk. Tiduran. Berdiri. Berlari. Semua sudah dilakukan. Demi apa? Demi tugas. 

Apa daya saya hanya objek yang ditekan karena ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa. 

Duh, saya ngomong apa sih. 

Minggu, 11 Oktober 2015

spoken words fly away, written words remain

#Hari Ketujuh Bulan Blogging KBM UGM

Ini hari Minggu

Ini malam Senin

Bukannya piknik

Atau menonton film

Atau makan pizza

Atau masakan Tionghoa

Tapi makan deretan huruf dalam buku Sindhunata

Tapi saya suka

Akhirnya berhasil membaca satu buku secara bulat

Jarang-jarang buku teori bisa begitu enak dibaca

Walau akhirnya tak begitu paham juga

Selesai baca, saya maunya selesai

Maunya begitu

Ternyata urung

Saya harus menuliskannya

Tugas ini, tugas itu

Bikin mual ya?

Tapi ya begini

Katanya mau tahu?

Katanya mau pintar?

Ya baca!

Ya tulis!

Jangan hanya baca lantas meringis

Jangan hanya membacot!

Karena,

Scripta Manent Verba Volant. 

Written words remain, spoken words fly away

Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan terbang bersama angin