Kamis, 05 November 2015
Proficiat Buat Kita Semua!
Alhamdulillah. Puji Tuhan Gusti Allah. Akhirnya, 31 hari berjalan sudah. Dan bulan blogging seri II berakhir. Pada postingan terakhir dalam rangka BBKU, semua diwajibkan memilih tiga blog terbaik serta satu honorable blog. Asalnya sih mau abstain, tapi kayaknya ndak fair juga.
Maka, inilah tiga blog yang menurut saya warbiyasak.
1. Djarwo
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Jarang sekali menulis yang cuma satu atau dua kalimat. Pokoke niat banget menulis di hampir setiap postingan.
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari.
3. Neli
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Dan bersedia menjadi admin yang luar biasa.
Honorable blog:
Apa pasal?
Jelas karena postingan Kaks Aul yang luar biasa fenomenal, Semacam Mirip. Ya Allah luar biasa banget! Seorang Dian Dwi Anisa dibilang mirip dengan Ladya Cheryl. Siapa yang nggak heran sekaligus berbungan-bunga. Secara, saya merasa paras saya jauh banget dari Mbak Ladya Cheryl. Hahaha.
Supaya meyakinkan kemiripan antara saya dan Ladya Cheryl, barangkali saya dan Mbak Aul bisa tanya langsung ke fans berat Ladya Cheril alias Kaks Jarwo. “Gimana, Wo?”
Rabu, 04 November 2015
Yang Baru Terlihat di Sekolah Pascasarjana Versi Saya
Hari ini, kebetulan saya
mendapati empat hal unik yang ada di sekitaran Sekolah Pascasarjana UGM. Apa
sajakah itu?
1. Mukena langsungan di Masjid Apung yang bertuliskan "Teruntuk Pasca Sarjana UGM"
2. Tanaman rambat yang menjuntai dan menyembul dari saluran pembuangan lantai dua.
3. Baru sadar bahwa Cafetaria Dhewe bukan bermakna kafetaria sendiri tapi singkatan dari Dharma Wanita.
4. Citra Buana Halil yang nongkrong di kampus selepas kuliah bubar. Sumpah, ini hal paling langka dan paling jarang terlihat!
Selasa, 03 November 2015
KEPOtalisme
Herbert Marcuse, dalam One Dimensional Man, berasumsi bahwa kini, masyarakat telah terdominasi oleh teknologi dan menyaru menjadi masyaraat teknokratis. Masih menurut Mas Marcuse, dominasi tersebut melahirkan empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol yang baru. Kedua, tertutupnya dunia politik. Ketiga, desublimasi represif. Dan, keempat, hilangnya fungsi kritis. (bagian ini saya ambil dari laman ini)
Saya cukup tertarik dengan dampak ketiga, yakni desublimasi represif. Sepengetuhan saya yang dangkal, dua kata terakhir dalam kalimat sebelumnya mengacu pada ketahuan diri bahwa ada penindasan yang sedang terjadi pada diri sendiri, namun kita toh tetap senang alias menikmatinya. Tentu saja, Marcuse mengaitkannya dengan sistem kapitalisme yang mengakar bumi sepanjang sejarah peradaban manusia.
Semalam, saat berkabar dengan "sahabat pena" saya yang jaraknya 1649 kilometer, saya sempat membahas tentang istilah desublimasi represif. Setelah percakapan absurd, saya lantas berkesimpulan bahwa bagi saya desublimasi represif yang paling subtil setelah kapitalisme adalah keingintahuan tentang mantan dari orang yang kita suka. Alias kepo. Yang bisa saja berujung pada "riset intensif" alias stalking. (Boleh lho baca tulisan saya yang sebelumnya, "Bahaya Laten Stalking")
Saya cukup tertarik dengan dampak ketiga, yakni desublimasi represif. Sepengetuhan saya yang dangkal, dua kata terakhir dalam kalimat sebelumnya mengacu pada ketahuan diri bahwa ada penindasan yang sedang terjadi pada diri sendiri, namun kita toh tetap senang alias menikmatinya. Tentu saja, Marcuse mengaitkannya dengan sistem kapitalisme yang mengakar bumi sepanjang sejarah peradaban manusia.
Semalam, saat berkabar dengan "sahabat pena" saya yang jaraknya 1649 kilometer, saya sempat membahas tentang istilah desublimasi represif. Setelah percakapan absurd, saya lantas berkesimpulan bahwa bagi saya desublimasi represif yang paling subtil setelah kapitalisme adalah keingintahuan tentang mantan dari orang yang kita suka. Alias kepo. Yang bisa saja berujung pada "riset intensif" alias stalking. (Boleh lho baca tulisan saya yang sebelumnya, "Bahaya Laten Stalking")
Kita semua
seharusnya sepakat bahwa mengorek informasi tentang mantan dari orang-orang
yang sedang dekat adalah menyakitkan. Tapi herannya, kok ya tetap saja
dilakoni. Berasa ada kepuasan tersendiri setelah menyakiti diri sendiri sampai
ke sumsum tulang. Padahal bikin giris hati. Di situlah inti desublimasi
represifnya.
Dan sahabat
pena saya yang cerdik bukan buatan itu kok ya serupa Archimedes yang menyeru
"Eureka" kala masuk bak mandi dan menyadari ada permukaan air yang
naik. Jika Archimedes menemukan bahwa air yang tumpah sama dengan gaya yang
diterima tubuhnya, maka sahabat pena saya itu, menemukan satu istilah baru:
kepotalisme.
Kata
kepotalisme sendiri adalah tanggapan atas desublimasi represif versi saya
perihal keingintahuan mantan dari orang yang kita suka. Tapi menurut si penemu
istilah, kepotalisme bermakna
keingintahuan berlebih atas mantan dari calon pasangan baru.
Yah, apapun
istilahnya, minumnya teh botol sosro semoga Tuhan melindungi pasangan kita
semua dari godaan para mantannya.
Senin, 02 November 2015
Sebuah Pertanyaan Tentang Etnografi
Percakapan terjadi saat mata kuliah Pengantar Cultural Studies oleh Pak Budi Irawanto yang sedang menjelaskan tentang etnografi baru.
Ito : Mengamati perilaku pacar itu termasuk etnografi bukan?
Dian : Kalau tinggal bareng kayaknya iya. Kan prinsipnya live in.
Dan kita menyetujuinya.
Dan kita menyetujuinya.
Minggu, 01 November 2015
Sabtu, 31 Oktober 2015
Senang Bersamamu
Mengutip Rocky Gerung, bahwa musik adalah kurir rindu.
Malam Minggu ini, ada rindu yang pungkas, ada rindu yang mesti menunggu.
Buat para perindu, yakinlah bahwa bersamamu adalah menumpuk kesenangan!
Jumat, 30 Oktober 2015
Kisah-Kisah yang Melayang di Udara
Seorang teman asal Klaten baru pulang dari Jerman. Selain coklat, ia bawa banyak cerita. Karenanya, tiada waktu yang cukup buat menulis panjang lebar. Saya harus dengan seksama mendengar kisahnya. Juga kisah seorang kawan yang hendak menikah dengan pacarnya yang asal Romania.
Pun mereka. Harus mendengar kisahku yang biasa-biasa saja.
Kamis, 29 Oktober 2015
Anggap Saja Ini Fiksi Mini
#Rambut
Medusa berang. Ular-ular di kepalanya seketika menghilang. Tergantikan oleh rambut tebal hitam mengkilau a la rambut para gadis Sunsilk.
#Dahi
Haji Muhidin tak menyangka. Setelah tahunan tetirah, bulatan hitam di dahinya luntur. Kini kepalanya ditumbuhi tato panah serupa milik Aang si Avatar Pengendali Air.
#Hidung
Di depan para Death Eater, Voldemort melonjak kegirangan. Akhirnya, hidungnya yang sangat pesek mulai tumbuh. Bahkan melebih-lebihi hidung Pinokio. Ketahuan, bahwa ia sebenarnya berpura-pura menjadi seorang keji.
#Mata
Mitos bilang, di antara kedua mata Dajjal tertulis kata “ka-fa-ro”. Tapi, kata itu kutemui di antara kedua mata Yang Mulia Presiden Kita yang gemar menzalimi rakyatnya.
#Bibir
Puff! Bibirnya yang tebal, ranum, dan merah menggoda meletus. Darah berleleran. Operasi bibir a la Angelina Jolie gagal total.
#Telinga
Kini, semua orang bisa memiliki telinga Vincent Willem van Gogh dengan harga yang cukup terjangkau. Rupa-rupanya, dulu, sang pelukis mengubur telinga di sebuah pot. Kini, telah berbuah.
Rabu, 28 Oktober 2015
Kombinasi Deadline dan Demam
Pagi ini dibuat oleh tenggorokan yang sakit. Barangkali karena saya selalu tidur dalam kondisi mulut menganga. Kebiasaan yang sungguh susah dihilangkan. Atau karena kelelahan. Atau karena sedang iseng saja. Lantas, segala macam kesakitan mulai menyerang kepala. Mulai dari mata yang perih, kunang-kunang, pening, sampai hidung tersumbat, dan bersin puluhan kali. Kata seorang teman, saya boros kata. Pleonasme. "Bilang saja demam," begitu katanya.
Di sisi lain, deadline sudah di ambang batas. Pekerjaan belum juga rampung. Tapi penyakit mulai berdatangan. Maka, nikmat Tuhan mana lagikah yang kamu dustakan?
Maka, saya mohon pamit mengakhiri tulisan ini. Bagi kamu-kamu yang masih sehat dan tak punya deadline, Proficiat!
Selasa, 27 Oktober 2015
deadline
Karena deadline sangat mengganggu, maka postingan ini harus dibuat sesingkat mungkin. Ada 4 tulisan menunggu rampung. Ada bos yang sebentar lagi mengaum. Ada 1 narasumber yg hilang ditelan kesibukannya sendiri. Dan ada sisa halaman 250 lembar untuk dikerjakann. semua harus selesai.
Senin, 26 Oktober 2015
Edisi Memaafkan Mantan
Pernah patah hati? Yang benar-benar patah tah tah tah? Patah hati yang sampai mengubah orientasi hidup kamu? Patah hati yang membuat kamu serupa orang kehilangan harapan hidup? Patah hati yang membuat kamu enggan menyentuh makanan berhari-hari lamanya? Patah hati yang ah sakitnya membuat perut ingin muntah?
Sekarang, apa kamu sudah bisa tersenyum jika mengingat patah hati itu?
Maka, berterima kasihlah pada si pembuat patah hati.
Bahwa ia telah membawamu pada fase terburuk. Bahwa ia telah memberikan bekal kekuatan yang lebih untuk menghadapi perpisahan selanjutnya.
Minggu, 25 Oktober 2015
Senna
Sesorean tadi, Abdul Kareem Kayana Wirasenna, keponakan paling gress menangis tak kunjung diam. Sudah diberi ASI tetap menangis. Sudah digendong masih menangis.
Saya yg tertidur, mau tak mau bangun juga. Menawarkan gendongan.
Saya gendong dan nyanyikan on the night like this punya mocca. Senna diam. Saya nyanyikan Galih dan Ratna. Lah kok diam juga.
Rasa-rasanya jd pengen belajar lullaby.
Sabtu, 24 Oktober 2015
Jumat, 23 Oktober 2015
Alergi: Musabab dan Solusinya (II)
#Hari Kesembilanbelas
Bulan Blogging KBM UGM
Lalu, saya
tertarik mengadakan “penelitian” tentang alergi yang diderita kawan-kawan saya
di jurusan Kajian Budaya dan Media. Tujuannya mulia: supaya saya tahu apa yang boleh
dan tidak boleh saya berikan pada mereka. Baiq hati sekali saya. Jadi terharu.
Karena niat
dari tulisan ini adalah membantu, maka tidak akan ada inisial atau nama alias.
Semua identitas akan ditulis secara terang benderang. Jadi, kawan-kawan lain
bisa juga membantu para penderita alergi ini.
Dari sekian
kawan yang saya tanyai, ada beberapa alergi kerap diderita. Antara lain alergi
dingin, alergi debu, alergi makanan tertentu, alergi manusia sok pintar, dan
alergi yang berkaitan urusan percintaan. Tapi ada yang lebih epic, yakni alergi kepunyaan Mbak
Sumayya perempuan random ke-arab-araban.
Mari lihat
penjabarannya di posting esok hari!
Alergi Dingin
Siapa saja penderita
alergi dingin? Salah satunya adalah Mbak Chacha yang cantik dan menggemaskan.
Ketika saya tanya via whats app dia punya alergi apa, dia jawab “Namanya
kaligata atau biduran.”
Saya syok,
ternyata perempuan cantik juga tak bisa mengelak dari nasib! Biduran pula.
Chacha mendaku pertama kali terkena biduran saat mulai kuliah S1 di Universitas
Padjadjaran yang mana adalah terletak di Bandung, Jawa Barat. Seperti kita
ketahui bersama, bumi pasundan kan dingin luar biasa. Nah, suhu dingin ini yang
membuat Chacha sering kena biduran. Maklum, sedari kecil, Chacha tinggal di
daerah pesisir yaitu Cirebon. “Jadi pas merantau ke Bandung perlu adaptasi yang
lama sama suhu di sana,” katanya.
Bagi Chacha,
salah satu solusi menghadapi alergi dingin adalah kehangatan. Ia bilang, “Aku
selalu butuh kehangatan. Salah satu cara biar ngga alergi: mencari kehangatan. Silakan dipersepsi masing-masing," kata dia.
Barangkali
yang sedang berusaha dekat dengan Chacha bisa sering-sering membawakan selimut,
mintak tawon, dan wedang jahe, beserta ubi rebus. Jaga selalu Chacha tetap
berada dalam kehangatan.
Selain Chacha,
ada juga Mbak Neli yang sama-sama menderita alergi terhadap dingin.Tapi saya haqul yakin Kaks
Dimas sudah memberinya kehangatan cinta kasih yang luar biasa. Makanya, alergi
dingin Mbak Neli jarang kambuh.
Tapi, ada
lagi yang lebih mandiri. Ialah Ni Ketut Ari. Perempuan Bali ini juga alergi
dingin. Kita harus memberi dia penghormatan tanpa akhir! Tanpa harus
dihangatkan oleh seseorang, ia berhasil menghalau kedinginan yang melanda hati
dan raganya seorang diri. Cukup dengan minyak telon atau mandi dengan air
daun sirih lantas menggosokkan garam pada badan, maka voila! Sembuhlah ia!
Alergi yang lain, kita lihat di postingan kapan-kapan!
Kamis, 22 Oktober 2015
Gendhis, Semanis Gula Buat Hidup
#Hari Kedelapanbelas Bulan Blogging KBM UGM
Namanya Gendhis. Dititipkan Tuhan kepada dunia pada 15 Juni 2013 lalu.
Saya bukan ibunya. Hanya seorang tante, adik dari ibunya. Tapi, cinta kasih buat dia seluas-luas hati. Kasih, sayang, dan cinta memang pantas dia terima. Karena dari dia, saya mengerti rindu. Saya mengerti menciptakan bahagia. Saya mengerti sedih yang menyayat karena bibir mungilnya pernah dipenuhi sariawan.
Serupa namanya, ia bagai gula. Atau manisan. Yang jelas, ia membuat hidup lebih manis. Lebih menyenangkan.
Memeluk Gendhis bagai memeluk kebahagiaan dan keriangan.
Rabu, 21 Oktober 2015
Alergi: Musabab dan Solusinya (I)
#Hari Ketujuhbelas Bulan Blogging KBM UGM
Tulisan ini dibuat dalam rangka menanggapi
tulisan spektakuler saya kemarin. Sebuah postingan yang membuat Kaks Dimas
terpesona sampai terpancing untuk kasih komentar yang juga fenomenal. Pada
postingan kemarin, saya bilang ingin berubah menjadi Pikachu. Tapi tak bisa.
Karena tak bisa itulah, saya akhirnya berhenti menulis. Mau nulis apa lagi
coba? Ya sudah, dua kalimat sudah cukup kok!
Tapi, kalau dipikir-pikir saya pernah lho
hampir serupa Pikachu! Pikachu itu 'kan Pokemon alias Pocket Monster. Tapi setidaknya
ada dua perbedaan antara Pikachu dan saya yang bertransformasi menjadi montster.
Pertama, Pikachu begitu lutju, sedangkan saya versi monster adalah sangat amit-amit
sekali. Kedua, Pikachu bisa dimasukkan ke dalam bola merah putih itu, sedangkan
saya tentu saja tidak bisa!
...
Jadi, dulu
sekali, waktu saya masih kelas 2 atau 3 SD, wajah saya pernah serupa monster. Saya
lupa apa musabab yang membuat badan saya tiba-tiba penuh benjolan. Bukan hanya
badan, muka pun mulai membengkak. Benjolan merah yang walaupun tidak gatal tapi
membuat wajah imut saya raib secara tiba-tiba. Mama saya bahkan dengan tega
bilang, saya mirip monyet (sial sial sial). Tapi sumpah, mengerikan!
Bapak saya
panik bukan kepalang. Lantas, saat Magrib datang, kami berdua segera “sowan” ke
dokter. Sampai di tempat praktik, Pak Dokter yang budiman itu sedang
bersiap-siap hendak ngibadah. Bapak
yang panik melihat anaknya bermetamorfosis menjadi seorang monster itu lantas
membentak Pak Dokter. “Pak, salatnya nanti aja! Ini anak saya gimana?”
Selasa, 20 Oktober 2015
Senin, 19 Oktober 2015
Sedikit Catatan Seorang Junior Buat Senioranya
#Hari Kelimabelas Bulan Blogging KBM UGM
Tulilulilut!
Sebuah pesan
whats app masuk ke telepon genggam saya. Ternyata dari Kaks Dimas Bunyinya, “Bagianmu
Dhini Ariesta yan (disertai emoticon tersenyum lebar tanpa dosa.)”
Jadi,
mengikuti aturan yang dibuat oleh pihak berwenang yang sewenang-wenang, alias Panitia
Bulan Blogging KBM UGM, hari ini adalah hari khusus. Semua peserta wajib
mereview tulisan peserta lain. Sesuai titah dari Kaks Dimas (salah satu piak
yang berwenang), kebetulan saya dapat jatah undian mereview teks-teks dalam
blog Kaks Dini. Saya sih khawatir. Secara dong ya! Kaks Dini ini 'kan seniora saya
di kampus. Ilmu dan kemampuan saya dipastikan lebih cetek ketimbang blio. Kok yo
aku kewanen tenan!
Tapi demi
tidak disewenang-wenangi oleh Kaks Dimas dan gerombolannya, ya sudah. Apa boleh
bikin. Jadilah tulisan yang sednag Anda baca ini.
Kalau saya diperkenankan
memberi catatan, maka beginilah jadinya:
-
Untuk tulisan Pilih Mana? Bisnis Online atau Kepentok Soal Linearitas.
Haqul yakin saya tertarik banget baca tulisan
ini. Berasa sedang mengaca pada nasib sendiri. tapi kok bisnis online-nya belum
disebut-sebut ya. Jadinya kan saya bertanya-tanya. Ini hubungannya mana ya? Kok ndak dijadikan satu bagian aja sekalian.. hmmmm.
- Saya apresiasi betul kalau Kaks Dini posting ilustrasi cerpennya Agus Noor. Blio ini
salah satu inspirasi aing dalam menulis cerita pendek. Setelah Seno Gumira
Ajidarma tentunya.
- Lewat tulisan Mreman Dulu!, saya jadi tambah ilmu. Bahwasannya kata "mreman" tak semata-mata berkaitan dengan tindakan kriminal. Tapi juga ya
ngrewangi nandur.
- Kaks Dini ini enak betul kalau menggambarkan sesuatu. Cukup detail
dan mengalir. Coba dikau baca tulisannya yang Maling Cabai. Sampai kebawa horor!
Uwis ah. Suhu
Jogja lagi panas-panasnya. Bikin pusing dan ndak bisa mikir.
Minggu, 18 Oktober 2015
Karena Menonton Konser Adalah Ibadah
#Hari Keempat Belas Bulan Blogging KBM UGM
Suatu ketika, pada suatu saat yang entah, Pakdhe saya yang haji dan konservatif serta NU tulen itu bilang, “Ngapain nonton konser. Mending di rumah. Ngaji.” Barangkali Pakdhe saya ini belum pernah sama sekali nonton konser. Tapi kok ya blio lebih suka menari jipinan yang diiringi lagu khas timur tengah sana.
“Omaygot. Omaygot. Omaygot,” desis saya waktu itu, tak berani melabrak langsung pemikiran sejenis itu. Bagi saya, konser justru semacam ibadah yang harus ditunaikan. Bila ibadah Pakdhe saya salah satunya adalah berhaji, maka saya belum mampu mengikutinya. Secara psikologis dan dana, saya belum bisa ke Mekah sana dan menciumi Kabah serta Hajar Aswad.
Saya bilang menonton konser adalah ibadah. Jika ibadah dimaksudkan untuk katarsis, semacam penyucian diri yang membawa perubahan rohani dan pelepasan dari ketegangan. Maka, menonton konser menjadi semacam katarsis yang membuat diri ini melayang-layang menuju tahap trance. Ibadah konser menjadi suatu aktivitas orgasme menikmati musik secara massal.
Sabtu, 17 Oktober 2015
Hari Minggu yang Ideal
*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.
Jika besok bisa menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12 malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua mata.
Saya akan terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.
Lalu saya bisa menjadi pemalas sepanjang hari.
Tapi, karena ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di sebuah lapangan. Sesekali push up atau sit up. Atau sekadar mencari sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan kering.
Di hari Minggu yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah itu, bolehlah kita menulis feature bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.
Siang hari, kita angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.
Lantas kita akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.
Di atas balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.
Kita bingung. hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang bikin kita mampus ketawa.
Lantas kita tiba-tiba diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor. Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas wajahmu. "Goodboy," desisku.
Karena ini hari Minggu yang impian, boleh dong saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.
Tapi saya lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang liburan.
Atau seharian menonton konser.
Hari Minggu yang Ideal
*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama
Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.
Jika besok bisa
menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12
malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit
sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis
yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya
membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan
ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan
dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua
mata.
Saya akan
terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara
begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan
Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur
yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.
Lalu saya
bisa menjadi pemalas sepanjang hari.
Tapi, karena
ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di
sebuah lapangan. Sesekali push up
atau sit up. Atau sekadar mencari
sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu
itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah
satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang
dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan
kering.
Di hari Minggu
yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu
seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput
di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan
tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu
yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah
itu, bolehlah kita menulis feature
bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.
Siang hari, kita
angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor
paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu
menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.
Lantas kita
akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu
yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan
yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena
senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.
Di atas
balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba
memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu
kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil
gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh
Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari
Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.
Kita bingung.
hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari
menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang
bikin kita mampus ketawa.
Lantas kita tiba-tiba
diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor.
Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang
rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin
dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas
wajahmu. "Goodboy," desisku.
Karena ini
hari Minggu yang impian, boleh dong
saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.
Tapi saya
lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang
liburan.
Atau seharian menonton konser.
Jumat, 16 Oktober 2015
Bahaya Laten Stalking
#Hari Keduabelas Bulan Blogging KBM UGM
Berdasarkan
survei yang asal-asalan, hampir setiap manusia ber-gadget, atau setidaknya memiliki akun media sosial, pernah
melakukan tindakan stalking. Mengapa bisa
saya simpul hasil survei berbunyi seperti itu? Barangkali karena pada dasarnya
manusia punya sifat selalu ingin tahu. Termasuk ingin tahu masa lalu orang
lain.
Lantas, apa
itu stalking? Stalking adalah daya,
upaya, dan usaha seseorang yang jatuh cinta atau putus asa atau curiga untuk mengecek
akun media sosial orang yang ia jatuh cintai atau ia curigai. Upaya ini biasanya
tak jauh-jauh dari urusan percintaan. Walaupun begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa
terkadang seseorang stalking orang yang tidak ia kenal. Para selebtweet
misalnya. Alasannya ya teuteup:
karena kita ingin tahu apa yang
dilakukan oleh orang lain. Atau ingin tahu gagasannya semata.
Ketika saya
mengecek kata dasar dari “stalking” yaitu “stalk” dalam kamus Enggres, saya justru
menemui makna “batang, tangkai, mengejar, dan mengikuti”. Kok kurang pas dengan konsep stalking yang ada di kepala saya.
Makna paling terterima barangkali makna terakhir yaitu mengikuti. Walaupun
kurang pas juga. Lantas muncullah dalam kepala saya kata “menguntit” yang
berasal dari kata “kuntit”. Rupa-rupanya kata ini, dalam KBBI, juga bermakna
mengikut (dari belakang).
Sejatinya,
menurut meme yang dibagikan oleh Mbak Fina di grup whats app, stalking sama halnya dengan intense research. Iya, stalking itu kan
semacam penelitian yang dilakukan dengan intensitas yang cukup besar. Benar
juga. Kok ya saya baru kepikiran. Kemana ajaaaa.
Ah ya sudahlah saya tetap pakai kata stalking.
Lagi pula disini tidak akan dipermasalahkan muasal kata ini kok.
Pelaku
stalking, yang biasa disebut sebagai stalker, sudah pasti adalah orang-orang
yang punya rasa ingin tahu yang begitu besar. Segala macam aktivitas gebetan,
mantan pacar, calon pacar mantan pacar, mantan pacarnya mantan pacar saja ingin
ia ketahui. Kurang kerjaan? Tidak juga! Haram bagi kita menyebut para stalker sebagai
orang yang kurang kerjaan. Nope! Mereka-mereka ini justru meluangkan waktunya
yang begitu sempit demi memuaskan rasa ingin tahu tentang pribadi seseorang. Luar
biasa bukan?
Para stalker
ini juga wajib kita beri anugerah sebagai orang bermental baja. Gimana ndak? Dengan beberapa klik saja, mereka
harus siap menghadapi kenyataan. Beruntung apabila kenyataan yang akan dihadapi
adalah kenyataan yang baik, kalau buruk? Ya nasib!
Sebenarnya
kita tahu bahwasannya stalking lebih banyak mudharatnya. Apalagi kalau urusan
percintaan bertepuk sebelah tangan. Tapi para stalker ini tetap saja rajin korek-korek
informasi demi terpuaskan rasa ingin tahunya.
Inilah yang
saya sebut sebagai bahaya laten komunis, eh salah, bahaya laten stalking. Meskipun tahu akan menyakitkan,
kita tetap memaksakan diri untuk lanjut men-scroll media sosial korban stalking.
Seperti antara sadar dan tidak sadar, kita begitu gemar menyiksa diri sendiri.
Lebih-lebih ketika melihat postingan korban stalking yang posting mesra-mesraan dengan
orang lain. Tiba-tiba saja air mata sudah menggenangi mata kaki. Perasaan
marah, sebal, dan geram akan terakumulasi dan menghasilkan pupusnya harapan.
Mana bisa hidup kalau hidup sendiri tidak diselipi dengan harapan-harapan?
Maka
kesimpulan saya satu, stalking bisa
saja mengakibatkan kematian!
Tapi tenang
dulu, para stalker tak perlu risau. Terlebih stalker yang juga merupakan adalah
seorang perempuan yang curiga dan cemburu pada pacarnya, atau yang sedang
naksir pada gebetannya. Menurut sepengetahuan saya yang seadanya, perempuan
yang sedang dirasuki keinginan stalking akan berubah menjadi intelijen yang
punya daya investigasi luar biasa. Melebihi para anggota FBI, CIA, dan juga
MOSAD. Intel dalam negeri sih bukan lawan yang sebanding. Menyingkir saja!
Mungkin ini
tawaran yang menarik buat BIN (Badan Inteligen Negara). Mereka bisa mulai melakukan
rekruitmen intelijen dengan mencari para ahli stalker dengan jam terbang
tinggi.
Kamu-kamu
yang doyan stalking, tertarik?
Kamis, 15 Oktober 2015
Memaknai Perjalanan
#Hari Kesebelas Bulan Blogging KBM UGM
Beberapa tahun lalu, saya pulang dari Jakarta menuju Tegal. Dengan bus Dewi Sri, saya duduk di bangku paling depan. Bus melaju cukup kencang membelah jalur pantura yang panjangnya tidak kepalang. Persis di depan bangku yang saya tempati, adalah bangku tambahan milik kondektur bus. Di situ, duduk seorang perempuan. Saya tak bisa melihat wajahnya. Hanya bisa melihat rambut hitam sebahunya yang tergerai. Badannya terguncang. Ia bukan lagi sesenggukan. Air matanya tumpah. Suaranya meraung-raung. Barangkali membanjiri jalan aspal. Bapaknya mati. Dan perempuan itu terancam tak bisa melihat wajah bapaknya yang harus segera masuk pekuburan.
Beberapa bulan lalu, saya berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta. Dengan bus Citra Adi Lancar, saya duduk di bangku tengah. Bus melaju lambat membelah jalur selatan yang panjangnya tidak kepalang. Dua bangku di depan saya diduduki oleh dua bocah perempuan kakak-beradik. Usia mereka mungkin sekitar 7 dan 6 tahun. Mereka tak mau diam. Duduk di sandaran kursi. Mengobrol apa saja. Lantas ketawa-ketiwi. Kemudian memanggil ayah dan bundanya yang duduk berdua di bangku seberang.
Masih beberapa tahun lalu. Sudah lama sekali. Ketika saya juga berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta menggunakan bus Citra. Masih pagi. Orang-orang sibuk dengan telepon genggamnya. Sebagian masyuk melihat barisan rumah dan pepohon berbingkai jendela bus. Sebagian lelap tertidur. Tapi saya melihat kamu yang duduk di bagian depan seberang. Bukan karena kamu tampan. Toh, saya tak bisa melihat wajahmu. Saya tak mengenalimu. Tapi, saya melihat kamu berdoa. Menyandarkan kepala di sandaran bangku depanmu. Menengadahkan tangan. Barangkali kamu berdoa minta keselamatan. Maka, dalam hati saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Mungkin, doamu begitu mangkus sampai kami semua bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat.
Setiap perjalanan punya kisah masing-masing. Tidak ada yang pernah sama. Boleh saja rute yang kita lalui sama. Atau kita tumpangi bus yang sama. Atau motor yang sama. Atau tujuan perjalanan yang sama. Atau bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi, sekali lagi, setiap perjalanan punya kisahnya masing-masing, punya kebahagian masing-masing, punya kesedihan masing-masing dalam perjalanannya masing-masing.
Maka, bagi saya, salah satu jalanan di Yogyakarta itu akan selalu punya maknanya sendiri. Saya lupa tahunnya. Sudah lama sekali, walau juga tak sampai setengah dasawarsa. Tapi saya ingat betul, saya tumpangi motor pinjaman seorang kawan. Saya tutup separuh wajah saya yang memerah padam dengan slayer bergambar strawberry. Saat itu, saya marah. Saya geram. Saya sedih. Saya takut. Tidak ada satupun perasaan bahagia yang menajuk. Suram, pikir saya waktu itu. Perjalanan kali itu tak hanya meninggalkan jejak roda semata. Barangkali ada air mata yang –biarpun hanya berapa mililiter— menggenapi jalanan yang mulus rata.
Seiring waktu, perjalanan suram itu berubah makna. Boleh jadi saya menangisinya untuk pertama kali. Bukan. Bahkan saya menangisinya untuk kedua kali, kesepuluh kali, dan barangkali ke seribu kali. Kini, air mata yang rutin keluar untuk peristiwa sebelum perjalanan itu sudah menyaru menjadi baja. Semoga ia menetapkan diri untuk benar-benar berubah menjadi baja, bukan menyamar belaka.
Kamu, terima kasih!
Rabu, 14 Oktober 2015
Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!
#Hari Kesepuluh Bulan Blogging KBM UGM
“Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!”
Ini adalah umpatan legendaris yang dilontarkan Kasino dalam salah satu film Warkop. Betapa cerdasnya penulis skenario film tersebut. Sampai-sampai monyet hingga brontosaurus pun jadi kata makian!
Lantas saya bertanya-tanya: mengapa bisa kata-kata bertema perhewanan mengisi gudang kosakata makian? Aprinus Salam dalam Kata Pengantar bunga rampai “Karnaval Caci Maki” terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi (Persma Kampus UNY) menuliskan bahwa ada tiga teori tentang kelahiran kata-kata.
Pertama, adalah teori teologis. Para penganut teori ini percaya betul bahwa kata-kata berasal langsung dari Tuhan. Bahwa kata-kata serupa wahyu yang turun begitu saja dari langit sana dan disampaikan dengan bantuan para malaikat. Bayangkan saja, betapa sibuknya para malaikat ini apabila selalu membisiki manusia dengan kata-kata yang makin hari makin bejibun. Bayangkan juga seorang malaikat dengan iseng membisiki seorang remaja dengan kata-kata gahool kekinian.
Nah, teori ini bisa saja kita persoalkan dengan mudah. Teori ini begitu saja meremehkan kemampuan manusia. Bahkan, Koentjaraningrat pun bilang kalau bahasa merupakan salah satu produk budaya. Bukankah budaya (menurut definisi Koentjaraningrat) merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia?
Selasa, 13 Oktober 2015
Mata Panda
#Hari Kesembilan Bulan Blogging KBM UGM
Ada yang
beda dari anak-anak KBM 2015 tadi pagi. Jika biasanya kami hadir dengan wajah
berbinar-binar menghadapi masa depan yang begitu cerah, maka tidak pagi ini. Seakan-akan
hari itu adalah kiamat sugra, di mana kami akan dihabisi lantas dihisab.
Jika biasanya
ada haha-hihi yang mampir sebelum kelas mulai, maka tidak pagi ini. Keluhan tak
henti-hentinya meluncur dari masing-masing kami. Beberapa kali umpatan keluar –terutama
dari mulut saya. Hampir setiap orang tiba-tiba punya kantung mata yang begitu
kentara. Mata panda yang menghiasi wajah-wajah kuyu. Belum lagi cara jalan yang
tiap anak yang limbung. Bahkan, Mbak Chacha yang tiap pagi tampil menggemaskan
pun, ikut-ikutan terlihat abstrak seperti yang lain.
Tahu kenapa?
Pagi itu
adalah hari pertaruhan! Jadi, dalam waktu kurang dari satu minggu, kami diberi
tugas mengerjakan tiga paper. Satu, meresensi sebuah buku. Dua, menulis ulang
pemikiran seorang filsuf. Tiga, mengkaji sebuah fenomena sosial. Setelahnya, kami pun harus ujian lisan. Ah betapa!
Tentu pekerjaan
yang berat buat kita mengerjakan tiga tugas itu dalam waktu yang begitu sempit.
Puncaknya adalah malam tadi. Ketika satu kelas lembur demi tugas-tugas yang rampung.
Buktinya? Ya itu tadi! Hampir semua anak punya mata panda yang begitu lucu. Yang
barangkali bisa diisi uang koin seratus rupiah seperti kantung mata Pak SBY.
Cukup beruntung
buat Dewi karena ia bisa istirahat pukul setengah dua belas malam. Tapi ia
harus membayarnya dengan membolos kuliah seharian sebelumnya dan menghadap
laptop dari jam 11 siang. Ada Ari yang berhasil tidur jam 5 pagi. Ada Ito yang
baru tidur pukul setengah 7 dan terpaksa bangkit kembali setengah jam kemudian
karena kelas dimulai pukul 8. Ada juga Wafiq yang mendaku tak tidur semalaman.
Barangkali hanya Nasa yang paling beruntung di antara kami semua. Di saat kami masih sibuk berbagi ide dan kepusingan di grup whats app pukul 9 malam, doi justru bilang bahwa tugasnya selesai. 24 halaman pulak.
Warrrbiyasah!
Hore!
#Hari Kesembilan Bulan Blogging KBM UGM
Demi merayakan berakhirnya tugas-tugas dari Pak Heru, mari kita mabuk-mabukan. Tenggelam dalam kesenangan yang nyatanya semu. Karena, besok, besok, besok, besok, dan besoknya lagi akan ada tugas serupa. Cuma beda dosen.
Ah sudahlah. Boyok saya sudah macek tidak ketulungan. Akibat enam hari memaksakan diri buat tekun belajar. Duduk. Tiduran. Berdiri. Berlari. Semua sudah dilakukan. Demi apa? Demi tugas.
Apa daya saya hanya objek yang ditekan karena ada relasi kuasa antara dosen dan mahasiswa.
Duh, saya ngomong apa sih.
Minggu, 11 Oktober 2015
spoken words fly away, written words remain
#Hari Ketujuh Bulan Blogging KBM UGM
Ini hari Minggu
Ini malam Senin
Bukannya piknik
Atau menonton film
Atau makan pizza
Atau masakan Tionghoa
Tapi makan deretan huruf dalam buku Sindhunata
Tapi saya suka
Akhirnya berhasil membaca satu buku secara bulat
Jarang-jarang buku teori bisa begitu enak dibaca
Walau akhirnya tak begitu paham juga
Selesai baca, saya maunya selesai
Maunya begitu
Ternyata urung
Saya harus menuliskannya
Tugas ini, tugas itu
Bikin mual ya?
Tapi ya begini
Katanya mau tahu?
Katanya mau pintar?
Ya baca!
Ya tulis!
Jangan hanya baca lantas meringis
Jangan hanya membacot!
Karena,
Scripta Manent Verba Volant.
Written words remain, spoken words fly away
Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan terbang bersama angin
Ini hari Minggu
Ini malam Senin
Bukannya piknik
Atau menonton film
Atau makan pizza
Atau masakan Tionghoa
Tapi makan deretan huruf dalam buku Sindhunata
Tapi saya suka
Akhirnya berhasil membaca satu buku secara bulat
Jarang-jarang buku teori bisa begitu enak dibaca
Walau akhirnya tak begitu paham juga
Selesai baca, saya maunya selesai
Maunya begitu
Ternyata urung
Saya harus menuliskannya
Tugas ini, tugas itu
Bikin mual ya?
Tapi ya begini
Katanya mau tahu?
Katanya mau pintar?
Ya baca!
Ya tulis!
Jangan hanya baca lantas meringis
Jangan hanya membacot!
Karena,
Scripta Manent Verba Volant.
Written words remain, spoken words fly away
Yang tertulis akan mengabadi, yang terucap akan terbang bersama angin
Langganan:
Postingan (Atom)