Selasa, 26 Mei 2015

Masjid Taqwa Wonokromo / Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem


#Liputan 

Masjid Taqwa Wonokromo adalah salah satu masjid Pathoknegoro. Masjid ini terletak di Kabupaten Bantul, tepatnya Jalan Wonokromo 1, Dusun Wonokromo 1, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret, 55791.
Masjid ini didirikan pada tahun 1755 Masehi oleh K. H. Muhammad Fakih alias Kyai Welit alias Kyai Seda Laut setelah ia diangkat menjadi Penghulu Keraton oleh Sultan Hamengku Buwana I. Masjid ini berdiri di atas tanah perdikan yang masih berupa hutan yang dipenuhi pohon awar-awar sehingga terkenal dengan nama alas awar-awar.

Mulanya, kondisi masjid terbilang cukup sederhana. Bangunan induk masjid dalam berbentuk kerucut (lancip) dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan bangunan serambi berbentuk limasan dengan satu pintu di depan. Semua bahan bangunan menggunakan bambu. Atap dari welit (atap yang terbuat dari daun ilalang) dan berdindingkan gedhek. Tempat wudhu terbuat dari padasan yang ditempatkan di sebelah utara dan selatan. Ada dua sumur dan dua pohon randu untuk tempat senggot menimba air. Bentuk ini bertahan sampai tahun 1867.
Peresmian masjid ini dihadiri oleh Sultan Hamengku Buwono I. Pada momen inilah, Sultan Hamengku Buwono I memberi nama daerah alas tersebut dengan wa an-na karoo-ma yang bermakna “supaya benar-benar mulia”. Sampai sekarang, daerah ini kemudian dinamai Wonokromo.
Pada tahun 1867, masjid mengalami perubahan fisik diantaranya atap bangunan diganti menggunakan genteng dari tanah liat, tembok diganti menggunakan batu bata yang direkatkan tanah liat, dan lantai yang diganti menggunakan komposisi aci dari gamping dan tumbukan batu merah dan pasir.
Tahun 1913, masjid mengalami perombakan total. Kerangka masjid yang semula menggunakan bambu sebagian diganti menggunakan kayu nangka dan sebagian menggunakan kayu gelugu. Sementara itu, tembok diplester menggunakan komposisi pasir dan acian kapur dengan tumbukan bata merah. Di puncak atap, mustaka diganti dengan bentuk bawangan yang terbuat dari kayu nangka. Selain itu, ada penambahan bangunan di sebelah kiri dan kanan masjid sebagai tempat jamaah sholat perempuan (pawastren). Terdapat pula kolam berukuran 3x10 m di kanan kiri masjid yang membentang dari utara ke selatan. Kedalaman kolam ini sekitar setengah sampai satu meter dan dialiri air dari Sungai Belik. Semua orang yang hendak masuk masjid harus menyeberangi kolam ini untuk bersuci. Kolam ini juga sarana menghukum orang yang salam memukul kenthongan dan beduk.
Tahun 1958, kolam ini ditimbun tanah dan dijadikan sebagai halaman masjid. Hal ini mengingat perawatan kolam yang cukup sulit. Dalam hitungan hari, kolam bisa penuh lumut dan sangat licin serta kerap membuat pengunjung tergelincir. Pada tahun yang sama, perubahan fisik lain yang terjadi adalah penggantian empat tiang utama menggunakan kayu jati. Selain itu, atap masjid ditambah gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang bagian atas dan bawah. Tak hanya itu, gulu melet diberi kaca bening sehingga suasana di dalam masjid menjadi lebih terang. Lantai masjid juga diganti tegel, di mana bagian dalam masjid menggunakan tegel warna warni dengan corak ornamen kembang.

Pada tahun 1976, mustaka bawangan diganti menggunakan aluminium dan dengan ukuran yang lebih besar. Kemudian, sekitar tahun 1986 bangunan masjid dibongkar dan diperluas karena tidak cukup lagi menampung jamaah yang membludak. Dengan ijin dari keraton dan bantuan dana Banpres (Bantuan Presiden) sejumlah 25 juta, bangunan masjid dibangun total dengan kontruksi beton bertulang, namun tetap mempertahankan arsitektur masjid Jawa khas keraton. Komposisi warna hijau, kuning, merah, dan kuning emas masih menjadi dominasi di masjid ini.
Tahun 2003, Dinas Pariwisata memberikan bantuan dana yang digunakan untuk membangun gedung pertemuan yang terletak di utara serambi masjid, penambahan kanopi, pembuatan kolam di depan di sisi kanan kiri masjid serambi (namun dengan kedalaman lebih rendah). Dan perbaikan dapur untuk memasak saat pelaksanaan hari besar.
Pasca gempa tahun 2006, Masjid Taqwa Wonokromo tak mengalami kerusakan yang berarti. Kerusakan hanya berupa tembok yang retak dan kebocoran kolam di depan serambi masjid karena pergeseran tanah. Perbaikan dilakukan selama tiga bulan dengan bantuan dana dari Emirat Arab.

Sebelumnya, masjid ini tidak bernama dan hanya dikenal dengan Masjid Wonokromo. Nama Taqwa baru digunakan sekitar periode tahun 1969-1970. Pemberian nama Taqwa digadang-gadang menjadikan masjid ini sebagai tempat ibadah semua orang, baik alim ulama maupun orang awam.
Di utara masjid, terdapat komplek makam yang digunakan untuk mengebumikan para wali dan alim ulama dari Wonokromo, abdi dalem keraton, serta para pendiri dan takmir masjid sejak periode tahun 1755. Diantaranya makam K. H. Muhammad Fakih, K. H. Abdullah, K. H. Ibrahim, K. H. Muhammad Fakih II, K. H. Moh. Dahlan (K. R. T. H Badarudiningrat, dan lain-lain.

Selain digunakan sebagai tempat jamaah salat, masjid ini juga sering digunakan sebagai tempat ijab qabul, titik pemberangkatan jamaah haji, peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra Miraj, peringatan Nuzulul Quran, dan lain-lain.

*Merupakan tulisan asli sebelum diterbitkan dalam Buku Bunga rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY


Tidak ada komentar:

Posting Komentar