#Cerpen Lawasan
Aku tak lagi suka
pagi. Tidak seperti kebanyakan orang yang menunggu pagi untuk segera berebut
rezeki. Aku tak pernah suka pada sinar matari yang masuk melalui celah lubang
angin dalam kamarku. Membangunkanku dari segala kelelahan yang hinggap dari
hari-hari kemarin. Membuat segala keheninganku hilang bersamaan dengan
berisiknya bunyi tapak kaki yang lalu lalang di dalam kurabu. Bukan hanya tak suka pagi, aku bahkan membencinya. Melebihi
benciku pada Tuhan yang menuliskan garis hidupku sedemikian penuh bala.
Masih teringat
jelas sekali kala pertama aku menuju jalan mengerikan ini.Saat itu pagi. Aku
membuka mataku dari tidur yang nyenyak. Membasahi muka, merapikan amben, membuka
jendela, membiarkan sinar-sinar matahari menerangi kamarku yang sudah rapi.
Lantas tiap pagi aku akan membuatkan teh untuk Ibu, Bapak, Mas Tomo. Menaruhnya
di atas meja tamu lalu kulanjut menyapu. Rapi sudah, bersih sudah. Rasa-rasanya
bau pagi makin lekat di hidungku. Perlahan kusesap bau pagi itu. Rasa-rasanya
kemarin pun aku masih menjalankan ritual pagi. Pagi itu jelas sekali matari
cerah tanpa sedikit pun mendung menggelayut manja. Aku mencintai sayup-sayup
terang dalam pagi. Membuatku merasa begitu damai dan bersahabat.
Pukul tujuh,
seorang sipil Jawa dan tentara Jepang mengetuk pintu rumahku. Bapak membukakan
pintu itu dan merasa terkejut ada seorang Jepang bertamu sepagi ini. Bapak
kagum betul dengan Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia ini dan
mengurangi keberadaan Belanda. Ia mempersilakan tamu-tamunya masuk dan duduk.
Dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan rebus menjadi saksi obrolan mereka.
Ibu dan aku segera
mencuri-curi dengar percakapan antara bapak dan kedua tamu tadi. Sedang Mas
Tomo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kami. Ia bergegas menuju
pelataran belakang, memberi makan ayam-ayam peliharaan. Rupa-rupanya dua tamu
tadi mengabarkan bahwa pemerintah Jepang sedang mengadakan sekolah khusus untuk
perempuan-perempuan Indonesia. Menariknya, sekolah tadi bersifat gratis. Kami
tak perlu membayar sesen pun. Sekolah gratis tadi akan diselenggarakan di
Jepang, segala urusan mulai dokumen beserta uang saku menjadi urusan pemerintah
Jepang. Aku, anak perempuan satu-satunya dalam keluarga merasa berada diatas
angin. Dalam hati aku berharap, Bapak akan menunjukku untuk ikut sekolah
Jepang. Aku yakin, mereka akan bangga karena beberapa tahun setelahnya aku akan
menjabat di kantorku sendiri di daerah kabupaten.
Maka, setelah
Jepang-Jepang tadi usai bercakap dengan Bapak, aku segera merajuk pada Bapak
dan ibuku.
“Bapak, saya sudah
mendengar kabar dari Jepang tadi. Saya ingin ikut,” ujarku tanpa basa-basi.
“Iya Bapak tahu
kau pasti kepingin ikut. Bapak juga ingin kau sekolah, lebih pintar dari Bapak,
Ibu, atau Mas Tomo.”
Aku berbinar,
hampir mendapat restu.
“Tapi kau tahu
bukan resikonya? Jepang itu jauh. Kau harus mandiri, tidak boleh menggantungkan
hidupmu begitu saja,” lanjut Bapak menceramahiku.
Ibu dan Mas Tomo
hanya diam. Lantas bapak merasa enggan. “Coba kau tanya Ibu dan Mas-mu!”
Kulihat Ibu tak
berekspresi sama sekali. Dalam dua detik matanya sudah penuh genangan air.
Buru-buru ia mengusapnya, saat sadar kami semua memperhatikannya.
“Ibu, bagaimana?
Bolehkah?”
“Nduk, Ibu
khawatir. Kita tidak pernah terpisah begitu jauh. Kamu anak perempuan yang
paling Ibu sayang.”
Aku khawatir,
sepertinya Ibu tak memberi jalan. Lantas kubuat tatapan semeyakinkan mungkin.
Harap-harap cemas Ibu mampu merelakan kepergian putrinya menuju negeri matahari
terbit itu.
Mas Tomo sama
khawatirnya dengan Ibu. Ia membutuhkan waktu lama untuk memutuskan keinginanku.
Aku tahu, pasti ada perasaan berat menggelayut karena aku satu-satunya adik yang
ia punya. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang? Setamat sekolah, kerjaaanku
makin tak tentu. Hanya berdiam di rumah membantu ibu menanami sepetak tanah
kecil dengan bumbu-bumbu dapur. Menunggu pinangan datang? Zaman serba sulit,
banyak pemuda lebih mementingkan bela negara dari pada menikah dan kawin. Ayo
Bapak, segera putuskan dan ijinkan aku melanglang menuju sakura tumbuh.
****
Dengan berat hati,
Bapak Ibu dan Mas Tomo mengantarku hingga muka rumah. Seorang Jepang yang
kemarin datang telah menjemputku. Si sipil, yang akhirnya kuketahui namanya
adalah Hanada-san. Dengan montor keblak, ia segera membawakan tas
yang berisi pakaianku. Di depan pintu, air mata yang begitu melimpah segera
tumpah. Kupeluk ibu, Bapak, dan Mas Tomo. Kupandangi Bapak yang di sudut
matanya mengambang air mata. Ibu melemas dan menyandarkan diri di dinding
rumah.
Dibawa Hanada-san,
aku melaju menuju sebuah rumah. Ternyata aku tak sendirian. Di sebuah rumah
tampungan milik kawan Hanada-san, Yuriko, aku bersama sekitar 9 anak perempuan
lain. Mereka sepantaran denganku. Empat diantaranya adalah teman sepermainanku
kala kecil, Tari, Kijah, Saroh, Tarmi.
Kami bersepuluh
bercakap-cakap gembira. Membayangkan perjalanan yang panjang menuju negeri
dimana sakura-sakura tumbuh. Membayangkan repotnya kami harus kursus bahasa
Jepang dulu sebelum memasuki sekolah
impian. Membayangkan betapa cantiknya kami berkimono. Membayangkan asyiknya
bermain drama di sela-sela sekolah. Membayangkan hujan bunga sakura di
pelataran asrama. Membayangkan masa depan cerah yang tinggal beberapa langkah.
****
Rumah ini tak
pernah sepi. Tentara-tentara Jepang kerap menyambangi rumah milik Yuriko.
Mereka selalu memandang kami dengan mata-mata genit. Namun lambat laun mereka
menjadi teman mengobrol kami yang asyik. Mereka tak pernah kering dari
informasi di Jepang sana. Ada-ada saja kabar-kabar menarik yang mereka
sampaikan, mulai dari cara berkimono hinggan kehebatan Kaisar Hirohito.
(http://bit.ly/1P50HQm)
Dua minggu dalam
rumah besar ini membuat kami tidak tahu kondisi di luar. Kami layaknya tahanan,
dikurung tanpa tahu peristiwa di luar kurungan kami. Namun untungnya, kami
diberi makanan dan pakaian yang layak dan berkecukupan. Oleh Yuriko, yang biasa
kami panggil Okasan, kami diajari
bagaimana cara merawat tubuh yang baik menggunakan segala macam ramuan agar
tubuh tetap wangi dan segar. Bahkan, ia memanggilkan dokter untuk memeriksa
kesehatan kami. Okasan bilang, semua itu untuk pelengkap dokumen kesehatan.
Maka, kami hanya menurut saja ketika dokter menyuntikkan sesuatu di lengan kami
dan memeriksa organ vital kami.
Di lain waktu,
Okasan mengajari kami menuang teh atau membuat angsa dari kertas. Lantas kami
mulai terbiasa berkimono dan membungkuk saat matahari terbit. Kami serasa
tinggal selangkah menuju Jepang.
Namun, berminggu-minggu
setelah pemeriksaan kesehatan, kami tak juga diberangkatkan. Segala macam
semangat yang kami usung, perlahan meleleh menjadi mentega yang siap dilahap
bersama roti. Bayangan kesuksesan yang akan dimulai di negeri matahari itu
perlahan sesap. Gelora yang kami bawa dari kampung halaman perlahan kusut
masai.
Di suatu pagi,
Okasan dan Hanada-san meminta kami semua berkumpul. Disuruhnya kami masuk ke
dalam kamar yang sudah disulap menjadi bilik-bilik berukuran 2x3 meter. Sebelumnya
kami diharuskan bersolek seindah mungkin. Yang selanjutnya terjadi adalah
seorang demi seorang tentara masuk ke dalam masing-masing bilik. Melepas baju
mereka. Aku kaget bukan kepalang. Merasa ada sesuatu yang tidak beres segera
aku lari berlindung di pojok bilik. Tanganku mengambil kursi berusaha
melindungi diri. Namun, tangan-tangan Jepang sudah begitu mahir dalam latihan
militer. Ketakberdayaan kami menjadi senjata bagi mereka. Dilucuti pula lah
sembarang apa yang menempel pada tubuh kami.
Genap seminggu, pagi
itu aku harus segera membasuh badanku dari kepenatan yang berlebih. Membuang
sisa-sisa bau prajurit Jepang yang menempel di tubuhku. Aku tak ingin keluar
dari kamar mandi ini. Ingin rasanya berlindung seharian tanpa harus berdiam di
bilik yang sudah disediakan oleh Okasan dan Hanada-san. Menunggu
tentara-tentara Jepang yang menukarkan sen-sen mereka untuk masuk dalam
bilikku.
Aku benci tiap
kali pagi datang. Karena tiap pagi aku akan berhadapan dengan serdadu-seradadu
bermata sipit berkulit putih. Aku benci tiap kali pagi datang, karena ternyata
aku masih mampu bangun dan merasakan rahimku kesakitan. Aku benci tiap kali
pagi datang, karena segala impian menjadi sekadar impian. Tidak pernah
terlaksana. Memudar.
Aku tak pernah lagi
suka pagi.