Kamis, 05 November 2015
Proficiat Buat Kita Semua!
Alhamdulillah. Puji Tuhan Gusti Allah. Akhirnya, 31 hari berjalan sudah. Dan bulan blogging seri II berakhir. Pada postingan terakhir dalam rangka BBKU, semua diwajibkan memilih tiga blog terbaik serta satu honorable blog. Asalnya sih mau abstain, tapi kayaknya ndak fair juga.
Maka, inilah tiga blog yang menurut saya warbiyasak.
1. Djarwo
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Jarang sekali menulis yang cuma satu atau dua kalimat. Pokoke niat banget menulis di hampir setiap postingan.
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari.
3. Neli
Apa pasal?
Konsisten posting selama 31 hari. Dan bersedia menjadi admin yang luar biasa.
Honorable blog:
Apa pasal?
Jelas karena postingan Kaks Aul yang luar biasa fenomenal, Semacam Mirip. Ya Allah luar biasa banget! Seorang Dian Dwi Anisa dibilang mirip dengan Ladya Cheryl. Siapa yang nggak heran sekaligus berbungan-bunga. Secara, saya merasa paras saya jauh banget dari Mbak Ladya Cheryl. Hahaha.
Supaya meyakinkan kemiripan antara saya dan Ladya Cheryl, barangkali saya dan Mbak Aul bisa tanya langsung ke fans berat Ladya Cheril alias Kaks Jarwo. “Gimana, Wo?”
Rabu, 04 November 2015
Yang Baru Terlihat di Sekolah Pascasarjana Versi Saya
Hari ini, kebetulan saya
mendapati empat hal unik yang ada di sekitaran Sekolah Pascasarjana UGM. Apa
sajakah itu?
1. Mukena langsungan di Masjid Apung yang bertuliskan "Teruntuk Pasca Sarjana UGM"
2. Tanaman rambat yang menjuntai dan menyembul dari saluran pembuangan lantai dua.
3. Baru sadar bahwa Cafetaria Dhewe bukan bermakna kafetaria sendiri tapi singkatan dari Dharma Wanita.
4. Citra Buana Halil yang nongkrong di kampus selepas kuliah bubar. Sumpah, ini hal paling langka dan paling jarang terlihat!
Selasa, 03 November 2015
KEPOtalisme
Herbert Marcuse, dalam One Dimensional Man, berasumsi bahwa kini, masyarakat telah terdominasi oleh teknologi dan menyaru menjadi masyaraat teknokratis. Masih menurut Mas Marcuse, dominasi tersebut melahirkan empat dampak bagi masyarakat. Pertama, muncul bentuk-bentuk kontrol yang baru. Kedua, tertutupnya dunia politik. Ketiga, desublimasi represif. Dan, keempat, hilangnya fungsi kritis. (bagian ini saya ambil dari laman ini)
Saya cukup tertarik dengan dampak ketiga, yakni desublimasi represif. Sepengetuhan saya yang dangkal, dua kata terakhir dalam kalimat sebelumnya mengacu pada ketahuan diri bahwa ada penindasan yang sedang terjadi pada diri sendiri, namun kita toh tetap senang alias menikmatinya. Tentu saja, Marcuse mengaitkannya dengan sistem kapitalisme yang mengakar bumi sepanjang sejarah peradaban manusia.
Semalam, saat berkabar dengan "sahabat pena" saya yang jaraknya 1649 kilometer, saya sempat membahas tentang istilah desublimasi represif. Setelah percakapan absurd, saya lantas berkesimpulan bahwa bagi saya desublimasi represif yang paling subtil setelah kapitalisme adalah keingintahuan tentang mantan dari orang yang kita suka. Alias kepo. Yang bisa saja berujung pada "riset intensif" alias stalking. (Boleh lho baca tulisan saya yang sebelumnya, "Bahaya Laten Stalking")
Saya cukup tertarik dengan dampak ketiga, yakni desublimasi represif. Sepengetuhan saya yang dangkal, dua kata terakhir dalam kalimat sebelumnya mengacu pada ketahuan diri bahwa ada penindasan yang sedang terjadi pada diri sendiri, namun kita toh tetap senang alias menikmatinya. Tentu saja, Marcuse mengaitkannya dengan sistem kapitalisme yang mengakar bumi sepanjang sejarah peradaban manusia.
Semalam, saat berkabar dengan "sahabat pena" saya yang jaraknya 1649 kilometer, saya sempat membahas tentang istilah desublimasi represif. Setelah percakapan absurd, saya lantas berkesimpulan bahwa bagi saya desublimasi represif yang paling subtil setelah kapitalisme adalah keingintahuan tentang mantan dari orang yang kita suka. Alias kepo. Yang bisa saja berujung pada "riset intensif" alias stalking. (Boleh lho baca tulisan saya yang sebelumnya, "Bahaya Laten Stalking")
Kita semua
seharusnya sepakat bahwa mengorek informasi tentang mantan dari orang-orang
yang sedang dekat adalah menyakitkan. Tapi herannya, kok ya tetap saja
dilakoni. Berasa ada kepuasan tersendiri setelah menyakiti diri sendiri sampai
ke sumsum tulang. Padahal bikin giris hati. Di situlah inti desublimasi
represifnya.
Dan sahabat
pena saya yang cerdik bukan buatan itu kok ya serupa Archimedes yang menyeru
"Eureka" kala masuk bak mandi dan menyadari ada permukaan air yang
naik. Jika Archimedes menemukan bahwa air yang tumpah sama dengan gaya yang
diterima tubuhnya, maka sahabat pena saya itu, menemukan satu istilah baru:
kepotalisme.
Kata
kepotalisme sendiri adalah tanggapan atas desublimasi represif versi saya
perihal keingintahuan mantan dari orang yang kita suka. Tapi menurut si penemu
istilah, kepotalisme bermakna
keingintahuan berlebih atas mantan dari calon pasangan baru.
Yah, apapun
istilahnya, minumnya teh botol sosro semoga Tuhan melindungi pasangan kita
semua dari godaan para mantannya.
Senin, 02 November 2015
Sebuah Pertanyaan Tentang Etnografi
Percakapan terjadi saat mata kuliah Pengantar Cultural Studies oleh Pak Budi Irawanto yang sedang menjelaskan tentang etnografi baru.
Ito : Mengamati perilaku pacar itu termasuk etnografi bukan?
Dian : Kalau tinggal bareng kayaknya iya. Kan prinsipnya live in.
Dan kita menyetujuinya.
Dan kita menyetujuinya.
Minggu, 01 November 2015
Langganan:
Postingan (Atom)