Minggu, 09 Agustus 2015

Sandi dan Media, Salah Dua Alasan Untuk Kembali Ke Makassar

Akhirnya. Saya keluar pulau Jawa. Sungguh ya, betapa diri ini bagai katak dalam tempurung. Tempurung Jawa. Hanya sibuk main ke seputaran Jawa Barat sampai Jawa Timur. Itu pun sebatas kota-kota tertentu. Keluar Jawa hanya sekali, ke Bali. Itu kan sudah mainstream. Jadi tidak pantas saya sebut-sebut. 

Delapan hari ke belakang, saya menjejakkan kaki di bumi Anging Mamiri. Makassar. Amboi, panasnya. Amboi masyarakatnya. Persinggahan saya ke Makassar juga demi pengabdian terhadap persyarikatan sih. Alias demi meramaikan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Dan nantinya saya harus setor tulisan hasil Muktamar di majalah kebanggaan tempat saya bekerja, Suara ‘Aisyiyah. 

Tanggal 31 Juli 2015, kami tiba di Bandara Adi Sucipto. Ternyata teman-teman sudah menunggu dengan sabar yang setengah-setengah. Beberapa dari mereka, terlihat kesal melihat saya yang datang selisih lima menit dari mereka. Ah, cuek ajalah cuek. Namun, saya jadi tak cuek ketika melihat apa yang mereka bawa. Agak ngeri juga melihat bawaan teman-teman. Rata-rata mereka membawa satu koper dan tas. Saya hanya tersenyum kecut. Saya cukup membawa satu ransel dan tas selempang lawas milik mamanda tercinta yang saya taksir. 

Antrian check in mengular. Padat merayap. Entah ada apalagi di bumi anging mamiri ini. Sampai-sampai antrian check in saja panjangnya tak ketulungan. Akhirnya, berkat bakat penyelundup, saya berhasil. Kebetulan kawan lain sudah mengantri di depan. Hehe. 

Bismillah, semoga perjalanan di udara ini baik-baik saja. 

Dua jam berikutnya, tahu-tahu kami sudah sampai di Bandara Hasanudin yang luasnya bikin semangat jogging hilang seketika. Di depan bandara, kami sibuk mencari penjemput yang akan mengantarkan kami ke penginapan dan pusat acara. Disitulah saya mulai “sedikit sakit hati”. Berkat ucapan penerima utusan Muktamar di bandara yang begitu kencang. “Bapak-bapak Muhammadiyah dari kontingen daerah ini ayo masuk ke bis.” “Mau kalian apa?” dan celetukan lain dengan logat khas Makassar yang benar-benar susah dimengerti. Saya maklumi kok. Nah, dari sinilah perjalanan kami selama delapan hari ke depan dimulai. 

Jika ada yang bertanya, apa yang kamu rindukan dari Makassar? Saya “yakult yakin seyakin-yakinnya” dengan dua jawaban ini: Sandi dan kawan-kawan di Media Center di lantai 2 Hotel Novotel. 

Siapa Sandi? 

Kisah awalnya bermula saat saya dan Kak Mida memutuskan bolos acara laporan pertanggungjawaban dari Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah. Tidak menarik dan tidak bisa diliput, alasan kami waktu itu. Jadilah kami turun dari lantai 2 Novotel. Minta dipanggilkan taksi oleh Mbak Satpam. Lalu iseng-iseng bertanya rute menuju Rotterdam. Ealah, dasar rejeki anak shaleh. Mbak satpam, yang belakangan kami ketahui bernama Nurjanah, bersedia meminjamkan motor maticnya pada kami. Bayangkan, kita belum tahu nama masing-masing. Namun blio sudah berani meminjamkan motor beserta STNK-nya pada kami. Apalagi blio menaruh dompetnya yang tebal di jok motor. “sinting” kagum kami saat itu. 

Syahdan, berjalan-jalanlah saya dan Kak Mida ke Rotterdam. Mulailah kami menyusuri Makassar pakai acara menyasar. Padahal kami hanya ingin ke Rotterdam yang hanya berjarak 10 menit dari Novotel. Di Rotterdam, sesi foto tentu terjadi. Tidak mungkin tidak. Tidak sah. Tidak valid jika tidak ada foto sebagai tanda bukti. Alhamdulillah-nya lagi, gambar saya di kamera Kak Mida lebih banyak. Karena Kak Mida yang pegang kamera DSLR. Hehehe. 

Selepas Maghrib, kami cabut dari Rotterdam. Menyusuri jalanan yang kebanyakan searah untuk mampir ke Losari. Barang 10 atau 20 menit untuk mencicipi pisang epe. Iya, disana kami mampir di warung pisang epe yang ramainya bukan main. Sebenarnya saya sih penasaran saja dengan pisang epe. Maklum, saya termasuk golongan pencinta pisang garis keras. Eh ternyata pisang epe semacam pisang bakar dengan topping dengan gula merah dan lain-lain. Kamu bisa memilih keju, coklat, atau susu. Rasanya? Ya biasa aja. Macam pisang bakar dikasih gula. Kalau boleh membandingkan, lebih enak pisang bakar yang mangkal depan sekolahku dulu, SMA Slawi. Apalagi dimakan selepas pulang sekolah, ramai-ramai dengan teman. 

Di sinilah, pertemuan kita dengan Sandi terjadi. Sungguh ini salah satu pertemuan menakjubkan yang terjadi pada saya setelah beberapa hari di Makassar. Namanya Sandi. Kalau ditaksir, usianya ada di sekitar angka 9-10 tahun. Ia masih sekolah. Tapi ia juga mengamen di malam hari. “Buat cari uang,” katanya. Sandi bilang, rumahnya tak jauh dari kawasan Losari. Ia kerap pulang jam 10 malam. Kalau Losari ramai sampai larut malam, ia juga ikut pulang larut. Lalu dengan gaya layaknya Bu Kost, Kak Mida meminta Sandi untuk pulang lebih awal. “Janganlah lebih dari jam 10 malam,” ujarnya. 

Nah, lantas apa yang istimewa dari Sandi?
Begini, Walaupun pengamen, Sandi adalah seorang anak yang begitu lucu dan lugu tanpa ampun. Anehnya, ia tak sadar kalau ia memang begitu lucu. Ia fasih sekali menyanyikan lagu “Kereta Malam” milik Bang Haji Oma dengan gubahan lirik sendiri. 

“Pernah sekali aku pergi. 
Dari Makassar ke Jeneponto.
Untuk menengok nenek baruku 
Mengendarai motor.
Bem bem bem motorku abis bensin
Bem bem bem motorku abis bensin.”
Selesai. (Sumpah, kata ini juga ia sebutkan di akhir lagu)

Kalau saya tuliskan tentu tak akan lucu. Lagu ini akan lebih hidup jika Sandi yang menyanyi diiringi keterampilan gitar yang entah kunci A atau D. Barangkali Sandi tak begitu peduli. Ia bahkan tak cengar-cengir saat menyanyikan gubahan lagu. Serius sekali.

Sandi, Bintang Pantai Losar, Makassar


“Yang ngganti lagunya siapa? Kok dari kereta jadi motor?” tanya saya.
“Saya Kak.”
“Sudah pernah naik kereta?”
“Belum.”
“Kalau lihat kereta?” 
“Sudah Kak.”

Malam itu, saya dan Kak Mida girang luar biasa. Kak Mida bahkan meminta Sandi menyanyi lagu yang sama lagi. Kami berdua terbahak-bahak lagi. 

Di atas, saya bilang bahwa ada dua hal yang saya kangeni dari Makassar. Yang kedua adalah kawan-kawan di Media Center lantai 2 Hotel Novotel. Di sini, saya dan kawan-kawan bekerja, makan makanan enak, menyetel youtube, dan menyanyi perempuan berkemajuan. Sungguh ya. Orang-orang Makassar punya selera humor yang besar. Kebetulan, tim media center dibantu oleh kader-kader Muhammadiyah militan. Sumpah, mereka kompak sekali. Kompak bekerja. Kompak bercanda. Kompak berkaraoke di warung Palu Basa Onta. Sampai kompak mendorong mobil yang kehabisan bensin. 

Lantai dua Hotel Novotel juga ramai dengan wartawan-wartawan nasional dan lokal. Bagi saya, mereka semua terlihat macam “relijiyes boy dan relijiyes girl”. Sebagai orang yang tidak masuk ke dalam golongan relijiyes ini, saya sungguh malu. Tapi dari mereka semua, saya belajar. Termasuk belajar mengakali redaktur yang sudah merongrong si wartawan, ujung tombak pencari berita. Ini salah satu pesan berharga dari wartawan di tenggat deadline. Bunyinya, “Ingat, bekerja sesuai gaji.” Kata salah satu relijiyes boy yang namanya tidak mau disebut, yang gajinya 25 juta per bulan. Makanya tidak usah heran kalau blio rajin sekali. 

Mungkin, barangkali benar. Bahwa orang-orang lebih bisa membuat rindu ketimbang bentang alam yang eksotis indah nian atau situs-situs mengagumkan. Ah Sandi. Ah Media Center. Hayuk lah kita Muktamar lagi!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar