Selasa, 17 April 2012

Dukun Rasa Internasional

Awal tahun 2012 ini, sebuah stasiun televisi meayangkan program telkshow berjudul "The Paranormal", sebuah bincang-bincang bersama dukun-dukun terkemuka di Indonesia. Dalam acara tersebut tampil empat dukun yang wajahnya sudah kerap muncul di televisi. Isi acara ini tak perlu diragukan lagi, sangat provokatif terhadap keberadaan dukun di tengah arus modernitas.Namun, ada yang cukup mengganggu di pikiran saya kala itu. Mengapa judul talkshow ini menggunakan kata paranormal? paranormal seperti apakah yang dimaksud dalam acara ini? Apakah di luar normal seperti pengertian yang saya dapatkan dari kamus bahasa Inggris atau paranormal yang berarti orang "pintar" dan berkutat dalam dunia klenik? dalam talkshow itu sendiri ternyara menampilkan tokoh-tokoh yang mampu menggunakan ilmu klenik. Adalah Ki Gendeng Pamungkas, Ki Kusumo, Ki Joko Bodo, dan Permadi.

Penggunaan kata paranormal kian hari kian marak ketimbang dukun. berbagai peristiwa pahit berkenan dengan dukun membuat kata dukun itu sendiri dipandang sebelah mata. Katakanlah, dukun cabul yang marak pada dekade 90-an. Atau kengerian dukun santet yang divisualisasikan lewat sinema horor yang dibintangi artis kawakan Suzanna. Lama-kelamaan makna dukun sendiri mengalami penyempitan. Tragisnya kata dukun akhirnya bermakna peyoratif. Bicara dulu, kata dukun digunakan sebagai varian dari kata tukang, seperti dukun pijat dan dukun bayi.

Selasa, 10 April 2012

Rintisan Rumah Baca Rumah Cerdas

Suatu kali saat mudik, saya berbincang dengan seorang kawan yang heran melihat saya begitu getol membaca sebuah buku. Kawan tadi dengan agak sinis bertanya, berapa duit yang saya habiskan untuk membeli buku itu. “Lihat sendiri di halaman depan, “ jawabku.

Dia tercengang melihat harga buku yang tertera di halaman judul. “Mahal banget bukunya. Gimana mau baca, buat beli saja tak kuat. Gaji saja masih kurang buat makan,”komentar kawan yang seorang tenaga honorer di sebuah instansi, melihat harga buku sekitar Rp.30.000,-. Kali ini giliran saya yang terhenyak. Mereka menganggap buku sehargaa 30 ribu itu adalah hal yang tidak mampu mereka beli. Padahal, saya begitu mudah membelanjakan buku itu dengan uang saku selama merantau kuliah di Yogyakarta. Maka terbesitlah sebuah keinginan untuk memilki taman baca hingga semua orang di daerah tempat saya tinggal mampu membaca apa yang mereka mau tanpa memikirkan ongkos beli buku.

Senin, 09 April 2012

Menggugat Bahasa (per)Satu(an)


*Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita.
Tanah air pasti jaya untuk slama-lamanya.
Indonesia pusaka.
Indonesia tercinta
Nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama.
*Satu Nusa, Bangsa, dan Bahasa. Ciptaan L. Manik

Tak asing dengan sebait lagu di atas? Tentu saja! Itu adalah lirik lagu nasional yang tak jarang dinyanyikan kelompok paduan suara saat upacara bendera. Lagu yang wajib dihafal oleh anak-anak Sekolah Dasar. Lagu tadi memang menumbuhkan jiwa nasionalisme yang gegap gempita. Tapi, mari jenak kita membaca ulang lirik lagu ciptaan Liberty Manik itu. Adakah Anda merasa janggal? Atau Anda justeru tak menemukan sedikitpun keanehan dalam lagu tersebut?
Liberty Manik menciptakan lagu ini sekita tahun 1940-an. Beberapa belas tahun sesudah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda. Ia seperti terinspirasi oleh pernyataan para pemuda nasionalis kala itu. Lantas, ia ciptakanlah lagu Satu Nusa Bangsa dan Bahasa itu. Namun, adakah lagu tersebut berdiri di koridor yang dicita-citakan para pemuda saat pertama kali tahun 1928? Berikut isi dari Sumpah Pemuda.