Senin, 09 April 2012

Menggugat Bahasa (per)Satu(an)


*Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita.
Tanah air pasti jaya untuk slama-lamanya.
Indonesia pusaka.
Indonesia tercinta
Nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama.
*Satu Nusa, Bangsa, dan Bahasa. Ciptaan L. Manik

Tak asing dengan sebait lagu di atas? Tentu saja! Itu adalah lirik lagu nasional yang tak jarang dinyanyikan kelompok paduan suara saat upacara bendera. Lagu yang wajib dihafal oleh anak-anak Sekolah Dasar. Lagu tadi memang menumbuhkan jiwa nasionalisme yang gegap gempita. Tapi, mari jenak kita membaca ulang lirik lagu ciptaan Liberty Manik itu. Adakah Anda merasa janggal? Atau Anda justeru tak menemukan sedikitpun keanehan dalam lagu tersebut?
Liberty Manik menciptakan lagu ini sekita tahun 1940-an. Beberapa belas tahun sesudah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda. Ia seperti terinspirasi oleh pernyataan para pemuda nasionalis kala itu. Lantas, ia ciptakanlah lagu Satu Nusa Bangsa dan Bahasa itu. Namun, adakah lagu tersebut berdiri di koridor yang dicita-citakan para pemuda saat pertama kali tahun 1928? Berikut isi dari Sumpah Pemuda.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjundjung bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.

Memang, para pemuda nasionalis jaman itu mencita-citakan tanah dan bangsa yang satu, Tanah Air dan Bangsa Indonesia. Namun tidak dengan bahasa Indonesia. Tampaknya, para pemuda begitu sadar akan bahasa di wilayah Indonesia yang luar biasa banyak. Mereka tidak menutup mata bahwa akan menjadi pekerjaan yang sulit untuk menyatukan (baca: menyeragamkan) seluruh warga negara Indonesia dalam berbahasa Indonesia. Maka dibuatlah butir ketiga, menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Bahasa yang digadang-gadang mampu mempersatukan seluruh rakyat Indonesia dengan segala kemajemukan bahasanya.
                Namun, butir ketiga dari Sumpah Pemuda tampaknya mengalami banyak kekeliruan penafsiran. Bukan hanya dalam lagu Satu Nusa Satu Bangsa, bahkan tokoh bahasa yang begitu terkenal telah memelintir (entah dengan sengaja atau tidak) isi butir ketiga. Adalah Sutan Takdir Alisjahbana, penggagas majalah Pudjangga Baru, yang juga menafsirkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sebagai bahasa yang satu.
“Tetapi dua tahun sesudah itu, jaitu pada tanggal 28 Oktober 1928 pada Konggres Pemuda di Djakarta, pemuda-pemuda Indonesia telah bersumpah, bahwa berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu, bahasa Indonesia”
Fatalnya, Presiden Soeharto juga membuat kekeliruan perihal penafsiran butir ketiga Sumpah Pemuda. Dalam Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia, di depan Sidang DPR pada 16 agustus 1972 ia berujar:
Sungguh, kita dan generasi-generasi jang akan datang berterima kasih kepada pemimpin-pemimpin dan generasi-generasi terdahulu jang telah melahirkan Sumpah Pemuda pada tahun 1928:
-          Mengaku berbangsa satu, Bangsa Indonesia.
-          Mengaku bertanah air satu, Tanah Air Indonesia.
-          Mengaku berbahasa satu, Bahasa Indonesia.

Dalam pidato yang sama, Soeharto juga berujar bahwa diperlukan adanya pembakuan bahasa Indonesia sebagai proses pembinaan bahasa.
Memiliki bahasa nasional mengharuskan adanja ketjintaan kepada bahasa nasional itu; dan ketjintaan kepada bahasa nasional mengharuskan adanja pembinaan jang teratur. Bahasa itu hidup dan berkembang. Tanpa pembinaan, hidupnja tanpa arah. Melalaikan pembinaan sama buruknja dengan membiarkan bahasa jang kita tjintai ini rusak.
Tidak perlu disangsikan lagi, pembinaan bahasa nasional kita adalah mutlak; malahan, ia merupakan bahagian daripada pembinaan bangsa kita. Pembinaan Bahasa Indonesia adalah tanggung jawab nasional; bukan hanja mendjadi beban pemikiran ahli-ahli bahasa, bukan hanja urusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Langkah-langkah jang penting adalah pembakuan bahasa kita; jang meliputi pembakuan tata bahasa, pembakuan : peristilahan dan pembakuan edjaan. Pembakuan edjaan kita dahulukan, karena pembakuan edjaan ini merupakan landasan bagi pembakuan tata bahasa dan pembakuan peristilahan.
Pembakuan ini merupakan langkah yang diambil pemerintahan kala itu untuk pembinaan bahasa Indonesia. Namun anehnya, mengapa pembinaan ini harus berwujud pada pembakuan sistem tata bahasa (ejaan dan peristilahan)? Karena ini bukan perkara gampang! Merubah sistem di sebuah negara yang besar bukanlah pekerjaan membalikkan tangan, walau kenyataannya pekerjaan ini berhasil.  Pembakuan yang kita kenal sekarang dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) melahirkan kecurigaan pada beberapa pihak. Maka tak salah jika terlahir praduga adanya rencana besar dibalik pengubahan ejaan ini. Menurut Benedict Anderson lewat Retno Iswandari, pembakuan ejaan adalah bagian dari rencana besar pemerintah rezim Orde Baru untuk menyebarkan virus amnesia nasional.
Dengan penggantian ejaan menjadi EYD maka kita akan menjadi tidak terbiasa dengan ejaan yang digunakan dalam sejumlah dokumen lama, aset sejarah sebelum orde baru. Generasi mendatang secara perlahan akan buta terhadap sejarah-sejarah bangsa. Selain itu, banyak dokumen ataupun buku-buku lawas berejaan Soewandi dan edjaan Van Ophuijsen yang terancam tidak mengalami cetak ulang. Bahkan Soeharto dalam pidatonya menyebutkan bahwa tidak ada anggaran khusus dalam menyelenggarakan Edjaan Yang Disempurnakan. Dokumen-dokumen ini lama kelamaan hanya akan menjadi kitab kuno nan usang, yang tak memiliki nilai ketertarikan untuk dibaca.
Maka adalah benar cita-cita Soeharto untuk hidup tertib dan sejahtera bermodal bahasa Indonesia dengan EYD yang baik dan benar. Karena masyarakat akan terbiasa lupa pada sejarahnya, sejarah yang memuat keboborokan dan kemajuan rezim-rezim Orde Baru dan sebelumnya.


**Tulisan ini memacu pada tulisan-tulisan yang dimuat di majalah Basis Nomor 05-06, Tahun Ke-60, 2011, antara lain: Wahyu Adi Putra Ginting dan Wahmuji: Paridogma Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, Retno Iswandari: Jejak Bahasa Indonesia, dan Wahyu Adi Putra Ginting: Kamus Kita Orang Punya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar