Jumat, 09 November 2012

Tentang Bapak

Lagu “Ayah” milik Seventeen terdengar cukup lantang tengah malam ini. Segera saja suasana di kamarku mendadak melankolis, mengingat suami ibuku itu. Bapak, begitu ia biasa kupanggil. Bapak, orang yang pendiam, sangat pendiam. Ia hampir tak pernah bicara jika aku tak lebih dulu mengajaknya bicara. Setelah peristiwa itu, kami tinggal terpisah. Hanya akhir pekan kami bertemu. Acap kali dalam pertemuan dua hari itu hanya ada beberapa menit percakapan. Maka wajar tak banyak yang kuingat tentang Bapak. Hanya potongan-potongan kecil ingatan tentang Bapak yang bisa dipatri. 

Benar apa yang dinyanyikan seventeen ini, “kau ajarkan aku menjadi yang terbaik”. Dalam diam yang begitu diam, Bapak selalu mengajarkan bagaimana hidup dalam keheningan dan tak sedikitpun terusik oleh hingar bingar hidup. Aku belajar, belajar menjadi orang yang mampu diam, hening, dan tenang. 

Minggu, 23 September 2012

Kota yang Tergenang Darah

Beberapa hari ini kota tempatku tinggal menjadi semakin sibuk dan semakin tidak terkendali. Dimana-mana orang berjalan dengan cepat sembari menutup hidungnya dengan setangan, sebagian orang bahkan menggunakan masker yang menutupi sebagian wajah mereka. Semua orang bersepatu boot demi menjaga pakaian mereka tetap bersih. Tak sedikit pula yang menggunakan baju rangkap yang terbuat dari plastik transparan. Itu semua mereka lakukan demi menghindar tertempelnya darah yang sudah menggenangi kota ini selama hampir sepekan. Sementara itu, lalat hijau terus mendenging di udara. Membuat kuping lekas pekak.

Kejadian ini bermula ketika seorang warga yang tinggal di blok G melapor kepada polisi bahwa dua hari itu ia mencium bau anyir dari rumah tetangganya, Pak Ben, seorang lelaki sepuh yang tinggal seorang diri. Ketika ia mencoba memanggil si empunya rumah, tak ada satu pun orang yang membuka. Bahkan menyahut pun tidak. Rumah tetangganya seakan monster yang telah melahap habis si tetangga. Semua jendela tertutup, tirainyanya terpasang rapat-rapat. Pintu keluar yang hanya satu itu pun terkunci. Bahkan keadaan rumah itu tetap tak terlihat walau hanya dari lubang kunci. Beberapa saat kemudian rembahan darah keluar dari sela-sela antara pintu dan lantai. Padahal hampir tidak ada celah diantaranya. Panik. Ia langsung menelepon kantor polisi.

Jumat, 07 September 2012

Cintaku Jauh si Segara

Ini gelembung kukirimkan kepadamu, Sam. Didalamnya sudah kuselipkan sekumpulan rindu yang diramu dengan menyesakkan. Cepat pulang, aku hampir menghunus pedang untuk dirobekkan di urat nadiku yang menegang menahan rindu dan sembilu.

Salah satu atau dua dari ribuan gelembung ini mungkin akan sampai padamu. Lantas, cobalah kau pecahkan gelembung itu dengan kuku ibu jarimu. Akan kau dapati suaraku yang terdengar bersama dengan suara pecah gelembung. Meski sekadar aku rindu kamu.

Jumat, 08 Juni 2012

Primadona Masih Enggan Mati


Perkembangan teknologi digital makin mengganas, namun Tini masih saja mengandalkan dua buah mesin tik bekasnya untuk penghidupan. 

Di suatu siang yang cukup mendung, Tini masih masyuk dengan pekerjaannya. Jari-jarinya lincah menari di atas papan mesin tik sedangkan matanya fokus membaca jilidan kertas. Sekalipun ia mengobrol dengan saya ataupun pelanggannya, irama ketikan Tini tidak sedikitpun melambat. Hasil ketikan Tini pun jarang sekali salah. Bisa dibilang, ia memiliki konsentrasi yang luar biasa bagus.
Tini, 40 tahun, adalah seorang tukang ketik manual. Kiosnya, Shinta Ketik Manual, berada di ujung perempatan Jalan Colombo. Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam. Maklumlah, rumahnya terletak di daerah Pajangan, perbatasan antara Bantul dan Kulonprogo.

Selasa, 17 April 2012

Dukun Rasa Internasional

Awal tahun 2012 ini, sebuah stasiun televisi meayangkan program telkshow berjudul "The Paranormal", sebuah bincang-bincang bersama dukun-dukun terkemuka di Indonesia. Dalam acara tersebut tampil empat dukun yang wajahnya sudah kerap muncul di televisi. Isi acara ini tak perlu diragukan lagi, sangat provokatif terhadap keberadaan dukun di tengah arus modernitas.Namun, ada yang cukup mengganggu di pikiran saya kala itu. Mengapa judul talkshow ini menggunakan kata paranormal? paranormal seperti apakah yang dimaksud dalam acara ini? Apakah di luar normal seperti pengertian yang saya dapatkan dari kamus bahasa Inggris atau paranormal yang berarti orang "pintar" dan berkutat dalam dunia klenik? dalam talkshow itu sendiri ternyara menampilkan tokoh-tokoh yang mampu menggunakan ilmu klenik. Adalah Ki Gendeng Pamungkas, Ki Kusumo, Ki Joko Bodo, dan Permadi.

Penggunaan kata paranormal kian hari kian marak ketimbang dukun. berbagai peristiwa pahit berkenan dengan dukun membuat kata dukun itu sendiri dipandang sebelah mata. Katakanlah, dukun cabul yang marak pada dekade 90-an. Atau kengerian dukun santet yang divisualisasikan lewat sinema horor yang dibintangi artis kawakan Suzanna. Lama-kelamaan makna dukun sendiri mengalami penyempitan. Tragisnya kata dukun akhirnya bermakna peyoratif. Bicara dulu, kata dukun digunakan sebagai varian dari kata tukang, seperti dukun pijat dan dukun bayi.

Selasa, 10 April 2012

Rintisan Rumah Baca Rumah Cerdas

Suatu kali saat mudik, saya berbincang dengan seorang kawan yang heran melihat saya begitu getol membaca sebuah buku. Kawan tadi dengan agak sinis bertanya, berapa duit yang saya habiskan untuk membeli buku itu. “Lihat sendiri di halaman depan, “ jawabku.

Dia tercengang melihat harga buku yang tertera di halaman judul. “Mahal banget bukunya. Gimana mau baca, buat beli saja tak kuat. Gaji saja masih kurang buat makan,”komentar kawan yang seorang tenaga honorer di sebuah instansi, melihat harga buku sekitar Rp.30.000,-. Kali ini giliran saya yang terhenyak. Mereka menganggap buku sehargaa 30 ribu itu adalah hal yang tidak mampu mereka beli. Padahal, saya begitu mudah membelanjakan buku itu dengan uang saku selama merantau kuliah di Yogyakarta. Maka terbesitlah sebuah keinginan untuk memilki taman baca hingga semua orang di daerah tempat saya tinggal mampu membaca apa yang mereka mau tanpa memikirkan ongkos beli buku.

Senin, 09 April 2012

Menggugat Bahasa (per)Satu(an)


*Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa kita.
Tanah air pasti jaya untuk slama-lamanya.
Indonesia pusaka.
Indonesia tercinta
Nusa bangsa dan bahasa kita bela bersama.
*Satu Nusa, Bangsa, dan Bahasa. Ciptaan L. Manik

Tak asing dengan sebait lagu di atas? Tentu saja! Itu adalah lirik lagu nasional yang tak jarang dinyanyikan kelompok paduan suara saat upacara bendera. Lagu yang wajib dihafal oleh anak-anak Sekolah Dasar. Lagu tadi memang menumbuhkan jiwa nasionalisme yang gegap gempita. Tapi, mari jenak kita membaca ulang lirik lagu ciptaan Liberty Manik itu. Adakah Anda merasa janggal? Atau Anda justeru tak menemukan sedikitpun keanehan dalam lagu tersebut?
Liberty Manik menciptakan lagu ini sekita tahun 1940-an. Beberapa belas tahun sesudah peristiwa bersejarah, Sumpah Pemuda. Ia seperti terinspirasi oleh pernyataan para pemuda nasionalis kala itu. Lantas, ia ciptakanlah lagu Satu Nusa Bangsa dan Bahasa itu. Namun, adakah lagu tersebut berdiri di koridor yang dicita-citakan para pemuda saat pertama kali tahun 1928? Berikut isi dari Sumpah Pemuda.