Selasa, 26 Mei 2015

Masjid Agung Kauman Pleret / Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem

#Liputan 

Masjid Agung Kauman Pleret merupakan sebuah masjid utama saat Keraton berada di wilayah Pleret, Kabupaten Bantul. Masjid ini persisnya terletak di dusun Kauman, kecamatan Pleret. Sayangnya, kini wujud Masjid Agung Kauman Pleret tinggal puing reruntuhan tak berbentuk sama sekali.
Masjid ini sendiri didirikan pada tahun 1571 J atau 1649 Masehi. Dilihat dari tahun pembangunannya, masjid ini dibuat mendesak di masa awal pemerintahan Susuhanan Amangkurat I atau Susuhanan Amangkurat Agung pada tahun 1646 hingga 1677.

Tahun 1677, saat penyerangan Trunojoyo ke Pleret terjadi, bangunan masjid masih berdiri utuh dan tidak ikut dihancurkan. Pasca tahun 1677, informasi mengenai Masjid Agung Kauman Pleret tak diketahui. Keberadaan masjid ini baru diketahui kemudian pada kunjungan Lons pada tahun 1733.
Menurut catatan Lons, Masjid Agung Kauman Pleret dibangun dengan ukuran besar dan bentuk bangunan yang cukup megah. Catatan Lons seperti ditulis oleh Leemans bahwa kunjungannya pada tanggal 13 Agustus mencatatkan bahwa Masjid Agung Kauman Pleret berukuran besar, berbentuk segi empat, tetapi sudah rusak. Ada 3 pintu di sebelah timur dan mempunyai serambi depan yang besar. Selain itu, masjid juga dikelilingi oleh tembok tebal dan tinggi.

Dalam survei arkeologis tahun 1976 dan 1978 ditemukan sisa-sisa Masjid Agung Kauman Pleret. Reruntuhan yang ditemukan di situs ini antara lain sebagian dinding sisi utara, sebagian dinding sisi timur, dan sudut timur laut. Berdasarkan pengukuran diketahui bahwa ukuran masjid ini adalah 41 m (sisi barat) x 40,45 m (sisi utara). Dinding sisi timur dan sisi barat memiliki lebar 70-80 cm, sedangkan bagian utara dan selatan selebar 100 cm. Bagian bangunan tersebut terbuat dari balok-balok batu kapur berukuran 38x24x7 cm.
Selain itu, ditemukan pula struktur ruang mihrab. Bagian ini tersusun atas pasangan bata dan batu putih tanpa menggunakan spesi dan tanpa plesteran. Di situs ini juga ditemukan bak air dan sumur yang juga dibuat dari batu kapur.
Selain itu, juga ditemukan umpak khas Masjid Agung Kauman Pleret yang berbentuk bundar dan limas dan terbuat dari batu andesit. Dari hasil rekonstruksi tahun 2014, diperkirakan masjid ini memiliki saka dan umpak bundar sejumlah 36 buah. Sayangnya, sampai tahun 2012, baru 23 buah umpah yang ditemukan. Kemungkinan, sisa umpak berada di bawah Masjid Al-Mubarok yang dibangun di atas tanah situs tersebut berdiri.
Umpak bundar ditemukan dalam berbagai ukuran. Berdasarkan ukuran dan dugaan posisi letak, 23 buah umpak dapat dikategorikan menjadi tiga jenis yaitu umpak saka guru dengan diameter 70-77 cm, umpak saka penanggap dengan ukuran diameter 62-68 cm dan umpak saka penitih dengan ukuran 55-58.

Selain keberadaan umpak bundar yang khas, ditemukan pula landasampak. Landasan umpak ini diperkirakan berfungsi sebagai pondasi untuk menstabilkan umpak karena beban dari saka dan komponen atap. Berdasarkan bentuknya landasan umpak terbagi menjadi dua bentuk yaitu persegi dan bulat. Sedangkan berdasarkan bahannya dapat dibedakan menjadi landasan umpak berbahan batu putih, batu andesit, dan bata.

Di situs Masjid Agung Kauman Pleret ini juga terdapat kawasan makam. Diantaranya makam Ratu (P)labuhan yang merupakan salah satu istri dan Susuhanan Amangkurat I dan makan Kyai Abdul Khadir (Narakusuma) yang diyakini merupakan imam pertama Masjid Agung Kauman Pleret.

*Merupakan tulisan asli sebelum diterbitkan dalam Buku Bunga rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY.


Masjid Taqwa Wonokromo / Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem


#Liputan 

Masjid Taqwa Wonokromo adalah salah satu masjid Pathoknegoro. Masjid ini terletak di Kabupaten Bantul, tepatnya Jalan Wonokromo 1, Dusun Wonokromo 1, Kelurahan Wonokromo, Kecamatan Pleret, 55791.
Masjid ini didirikan pada tahun 1755 Masehi oleh K. H. Muhammad Fakih alias Kyai Welit alias Kyai Seda Laut setelah ia diangkat menjadi Penghulu Keraton oleh Sultan Hamengku Buwana I. Masjid ini berdiri di atas tanah perdikan yang masih berupa hutan yang dipenuhi pohon awar-awar sehingga terkenal dengan nama alas awar-awar.

Mulanya, kondisi masjid terbilang cukup sederhana. Bangunan induk masjid dalam berbentuk kerucut (lancip) dengan mustaka dari kuwali yang terbuat dari tanah liat. Sedangkan bangunan serambi berbentuk limasan dengan satu pintu di depan. Semua bahan bangunan menggunakan bambu. Atap dari welit (atap yang terbuat dari daun ilalang) dan berdindingkan gedhek. Tempat wudhu terbuat dari padasan yang ditempatkan di sebelah utara dan selatan. Ada dua sumur dan dua pohon randu untuk tempat senggot menimba air. Bentuk ini bertahan sampai tahun 1867.
Peresmian masjid ini dihadiri oleh Sultan Hamengku Buwono I. Pada momen inilah, Sultan Hamengku Buwono I memberi nama daerah alas tersebut dengan wa an-na karoo-ma yang bermakna “supaya benar-benar mulia”. Sampai sekarang, daerah ini kemudian dinamai Wonokromo.
Pada tahun 1867, masjid mengalami perubahan fisik diantaranya atap bangunan diganti menggunakan genteng dari tanah liat, tembok diganti menggunakan batu bata yang direkatkan tanah liat, dan lantai yang diganti menggunakan komposisi aci dari gamping dan tumbukan batu merah dan pasir.
Tahun 1913, masjid mengalami perombakan total. Kerangka masjid yang semula menggunakan bambu sebagian diganti menggunakan kayu nangka dan sebagian menggunakan kayu gelugu. Sementara itu, tembok diplester menggunakan komposisi pasir dan acian kapur dengan tumbukan bata merah. Di puncak atap, mustaka diganti dengan bentuk bawangan yang terbuat dari kayu nangka. Selain itu, ada penambahan bangunan di sebelah kiri dan kanan masjid sebagai tempat jamaah sholat perempuan (pawastren). Terdapat pula kolam berukuran 3x10 m di kanan kiri masjid yang membentang dari utara ke selatan. Kedalaman kolam ini sekitar setengah sampai satu meter dan dialiri air dari Sungai Belik. Semua orang yang hendak masuk masjid harus menyeberangi kolam ini untuk bersuci. Kolam ini juga sarana menghukum orang yang salam memukul kenthongan dan beduk.
Tahun 1958, kolam ini ditimbun tanah dan dijadikan sebagai halaman masjid. Hal ini mengingat perawatan kolam yang cukup sulit. Dalam hitungan hari, kolam bisa penuh lumut dan sangat licin serta kerap membuat pengunjung tergelincir. Pada tahun yang sama, perubahan fisik lain yang terjadi adalah penggantian empat tiang utama menggunakan kayu jati. Selain itu, atap masjid ditambah gulu melet sebagai penyela antara atap tumpang bagian atas dan bawah. Tak hanya itu, gulu melet diberi kaca bening sehingga suasana di dalam masjid menjadi lebih terang. Lantai masjid juga diganti tegel, di mana bagian dalam masjid menggunakan tegel warna warni dengan corak ornamen kembang.

Pada tahun 1976, mustaka bawangan diganti menggunakan aluminium dan dengan ukuran yang lebih besar. Kemudian, sekitar tahun 1986 bangunan masjid dibongkar dan diperluas karena tidak cukup lagi menampung jamaah yang membludak. Dengan ijin dari keraton dan bantuan dana Banpres (Bantuan Presiden) sejumlah 25 juta, bangunan masjid dibangun total dengan kontruksi beton bertulang, namun tetap mempertahankan arsitektur masjid Jawa khas keraton. Komposisi warna hijau, kuning, merah, dan kuning emas masih menjadi dominasi di masjid ini.
Tahun 2003, Dinas Pariwisata memberikan bantuan dana yang digunakan untuk membangun gedung pertemuan yang terletak di utara serambi masjid, penambahan kanopi, pembuatan kolam di depan di sisi kanan kiri masjid serambi (namun dengan kedalaman lebih rendah). Dan perbaikan dapur untuk memasak saat pelaksanaan hari besar.
Pasca gempa tahun 2006, Masjid Taqwa Wonokromo tak mengalami kerusakan yang berarti. Kerusakan hanya berupa tembok yang retak dan kebocoran kolam di depan serambi masjid karena pergeseran tanah. Perbaikan dilakukan selama tiga bulan dengan bantuan dana dari Emirat Arab.

Sebelumnya, masjid ini tidak bernama dan hanya dikenal dengan Masjid Wonokromo. Nama Taqwa baru digunakan sekitar periode tahun 1969-1970. Pemberian nama Taqwa digadang-gadang menjadikan masjid ini sebagai tempat ibadah semua orang, baik alim ulama maupun orang awam.
Di utara masjid, terdapat komplek makam yang digunakan untuk mengebumikan para wali dan alim ulama dari Wonokromo, abdi dalem keraton, serta para pendiri dan takmir masjid sejak periode tahun 1755. Diantaranya makam K. H. Muhammad Fakih, K. H. Abdullah, K. H. Ibrahim, K. H. Muhammad Fakih II, K. H. Moh. Dahlan (K. R. T. H Badarudiningrat, dan lain-lain.

Selain digunakan sebagai tempat jamaah salat, masjid ini juga sering digunakan sebagai tempat ijab qabul, titik pemberangkatan jamaah haji, peringatan Maulid Nabi, peringatan Isra Miraj, peringatan Nuzulul Quran, dan lain-lain.

*Merupakan tulisan asli sebelum diterbitkan dalam Buku Bunga rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY


Kamis, 21 Mei 2015

Masjid Sulthonain Taqorrub / Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem

#Liputan 

Saat keraton Mataram Islam berada di kawasan Pleret, sebuah kompleks masjid berdiri di tidak jauh darinya. Ialah Masjid Sulthonain Taqorrub. Masjid ini, persisnya, terletak di RT 07, dusun Kanggotan, kecamatan Pleret, kelurahan Pleret, Bantul, kode pos 55791.
Saat pemberontakan terjadi di kawasan Keraton Mataram Islam, banyak bangunan yang turut terkena imbas. Sebagian bangunan hancur saat pemberontakan, sebagian lagi hancur karena tak terurus dan terpendam di dalam tanah. Beruntung Masjid Sulthonain Taqorrub Kanggotan berada di luar kawasan keraton, sehingga sampai saat ini masjid masih terawat walau sudah mengalami perbaikan di sana sini.
Tampak Depan Masjid Taqorrub

Sayangnya, tidak ada keterangan pasti tentang kapan Masjid Sulthonain Taqorrub Kanggotan dibangun. Namun, ada bukti otentik yang dapat ditemui di kawasan masjid. Pada dinding masjid, terdapat prasasti asli yang masih dipertahankan hingga saat ini. Dua prasasti berada di bagian depan kanan kiri masjid. Salah satu prasasti bertuliskan huruf jawa dan prasasti lain bertuliskan huruf arab dan berbahasa jawa. Dari prasasti yang berhuruf Jawa dapat diketahui bahwa Masjid Sulthonain Taqorrub Kanggotan pernah direnovasi pada tahun 1901 oleh Kanjeng Raden Adipati Danurejan.
Isi lengkap prasasti kurang lebih bermakna bahwa Masjid Shultonain Taqorrub telah dimakmurkan oleh pejabat Keraton, Kanjeng Adipati Danurejo, punggawa Keraton yang mengatur masalah perkantoran dari Sultan Ngayogyakarta. Dan masjid ini selesai dibangun dari pembangunannya di hari Jumat Kliwon atau tanggal 28, bulam Jumadil Akhir 1319 H. Nabi yang Mulia SAW.
Prasasti yang Ternyata Hanya Replika

Prasasti Menempel di Dinding Masjid

Sampai tahun 2014, Masjid Sulthonain Taqorrub Kanggotan telah mengalami beberapa kali renovasi dan perubahan hingga hampir merubah semua bentuk aslinya. Renovasi kedua dilakukan pada tahun 1974. Saat itu, pintu masjid diganti dan lantai diberi tegel bercorak kembang.
Mulanya, di depan masjid terdapat dua pohon kepel dan empat pohon sawon. Sekitar tahun 1980-an masyarakat meminta ijin pada keraton untuk menebang pohon kepel demi pelebaran serambi masjid. Mengingat semakin hari, jamaah masjid semakin membludak. Selain itu, pewastren masjid (tempat jamaah perempuan) juga dibongkar untuk pelebaran masjid.
Renovasi total dilakukan pada tahun 2001. Saat itu, masyarakat menyepakati untuk meninggikan atap. Hal ini mengingat, volume masjid yang terlalu kecil sehingga terkesan tidak ada sirkulasi udara yang baik.
Sampai saat ini, bagian yang masih dipertahankan keberadaannya adalah empat saka guru yang berada di tengah, kubah, dan mustaka. Sedangkan 12 buah saka di serambi dialihfungsikan menjadi kayu usuk.
Selain itu, di sisi utara halaman masjid terdapat duplikat batu lingga patok. Lingga tersebut beraksara dan berbahasa Jawa kuna dan berisi tentang perdikan di wihara milik Rakrya Banu Wwah dengan penanda waktu saka 796 srawana masa.
Yang menarik, setiap menjelang salat Jumat, adzan dikumandangkan sebanyak dua kali. Satu kali berfungsi memanggil jamaah ke masjid. Adzan kedua dikumandangkan pada saat khotib hendak memberikan khutbah. Sementara itu, semenjak kedatangan Muhammadiyah wilayah ini, maka berangsur-angsur kegiatan berbau tradisi keraton mulai menghilang.
Di Tiap Masjid Kagungan Dalem Pasti Ada Komplek Makam

Di kawasan masjid terdapat makam Kyai Kategan yang merupakan penghulu Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo. Ada pula makam Ki Ageng Suryomentaram dan kakak beradik Sastrowijono dan Sastrowinoto yang merupakan kerabat keraton. Makam ini juga diisi oleh trah keluarga R. T. Nitinegoro I, R. T. Nitinegoro II, Keluarga Besar MR. R. M. Djody Gondokusumo, dan punggawa keraton lain.
*Merupakan tulisan asli sebelum diterbitkan dalam Buku Bunga rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY.



Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh Jejeran / Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem

#Liputan 

Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh adalah salah satu masjid kagungan dalem. Masjid ini persisnya terletak di dusun Jejeran, kelurahan Wonokromo, kecamatan Pleret, Bantul. Dusun Jejeran sendiri dikenal sebagai dusun santri sejak K. H. Nawawi membangun pesantren sejak tahun 1901. Sampai tahun 2014, jumlah pondok pesantren berkembang menjadi 8 buah. Kedelapan masjid ini adalah tempat belajar dari kurang lebih 1.100-an santri. Walau terkenal sebagai dusun santri, namun dusun Jejeran hanya memiliki satu masjid yakni Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh. Selebihnya, banyak bertebaran mushola-mushola.
Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh merupakan salah satu satu masjid kagungan dalem yang berdiri di atas tanah keraton Yogyakarta. Masjid ini berdiri sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono III pada akhir abad 16. Di atas tanah seluas 220 meter persegi menjadi, bangunan masjid ini berdiri. Posisi masjid berada hampir di tengah-tengah dusun dan memiliki arsitektur khas Jawa klasik.
Masjid Kuno yang Tampak Modern, Perhatikan Mustikanya


Pada mulanya, bangunan Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh hanya seluas 6x6 meter dan berbentuk limasan. Kemudian, bangunan mengalami perluasan menjadi 8x8 meter dan 10x6 meter. Beberapa perubahan kembali terjadi – terutama pasca gempa 2006— sehingga kini masjid terlihat lebih seperti masjid modern. Padahal, bangunan utama masjid masih kental dengan arsitektur khas Keraton.
Saat gempa 2006 terjadi, dusun Jejeran luluh lantak. Kawasan ini dinilai merupakan salah satu kawasan rawan gempa. Bisa dibilang, pasca gempa dusun Jejeran berubah menjadi hutan yang sempat ditempati. Jaringan listrik padam berpuluh-puluh hari. Di lain waktu, hujan lebat membanjiri tenda pengungsian. Rumah-rumah penduduk ambruk, dan puluhan korban jiwa melayang.
Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh  mengalami nasib serupa. Ia jadi tak layak pakai. Pada kondisi kritis demikian, masyarakat dimintai bantuan dana demi membetulkan bangunan masjid yang tampak payah. Perbaikan ini dilakukan segera mengingat bantuan dari luar tak segera datang. Maka, disepakatilah untuk merehab bagian utama masjid saja. Pada perundingan setelahnya, disepakati masjid akan tetap dibangun dengan mempertahankan kondisi arsitektur Jawa klasik.
Tempat Imam dan Mimbar Masjid Jejeran

Barisan Tempat Makmum Masjid Jejeran

Bedug Zaman Lawas Masih Terlihat Oke 

Kini, luas bangunan Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh tercatat menjadi 12x12 meter dan ukuran serambi 18x18 meter. Jarak antara masjid dan serambi 3,80x18 m. Dan memiliki luas total sekitar 630an meter persegi. Masjid juga mengalami perubahan ketinggian. Saka guru yang masih asli dinaikkan setinggi 2 meter dengan harapan kubah bagian utama masjid lebih tinggi ketimbang bagian serambi.
Di kawasan Masjid Mi’roojul-Muttaqiinalloh, terdapat makam istri Sultan Hamengku Buwono III. Selain itu, terdapat pula makam Kyai Jejer yang punya hubungan dekat dengan Sultan Agung Hanyorokusumah. 
Komplek Makam di Masjid Jejeran

Kyai Jejer adalah ayah dari Kanjeng Ratu Kilen yang menjadi istri dari Sultan Agung. Selain itu Kyai Jejer merupakan cucu dari Sunan Drajad yang bernama Syekh Syarifudin dan Sunan Bonang yang bernama Maulana Makdum Ibrahim. Kyai Jejeran juga merupakan cucu-cicit dari Sunan Ampel (Raden Ahmad Rahmatulloh). Oleh keraton Mataram, Kyai Jejeran dijuluki juru Suroprobo.

*Merupakan tulisan asli sebelum diterbitkan dalam Buku Bunga rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan DIY.

Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem

#Liputan

Medio tahun 2014 lalu, saya dihubungi oleh mantan bos saya di Warta Pasar, Mas Wahyu namanya. Ia meminta saya untuk ikut terlibat di Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem. (Kata ekspedisi sengaja dipakai demi efek dramatisasi). Sesuai namanya, ekspedisi ini memang bertujuan mengunjungi situs-situs masjid milik Karaton Ngayogyakarta. Sebenarnya, ekspedisi ini bermuara menjadi sebuah bunga rampai tentang masjid-masjid kagungan dalem yang memiliki sejarah tersendiri. Ekpedisi ini sendiri didanai Kementrian Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya mungkin memenuhi LPJ Dana Keistimewaan.
Hasil Akhir Desain Bunga Rampai Masjid Kagungan Dalem 

Sebelum liputan langsung, kami diajak untuk ikut serta pada acara sarasehan yang mengundang beberapa pembicara. Sayangnya, saya lupa mencatat dan ingatan saya untuk scene ini buruk. Terlebih, saya datang telat. Hehehe. Yang jelas, ada beberapa narasumber dari Karaton dan tokoh ulama DIY.
Buku ini rencananya akan digarap oleh tujuh orang, antara lain saya, Mas Cahyo dari beritajogja.id, Mbak Ina Florencys, Mas Wahyu, Mas Hamid dari Harian Jogja, Mas Wibi (Saya tidak tahu nama aslinya, tapi dia budayawan sekaligus penyiar radio), dan mas-mas anak pesantren (Sumpah, ingatan saya buruk).
Daerah liputan dibagi menjadi beberapa tempat. Waktu itu, saya dan Mas Cahyo berduet untuk menjelajah masjid-masjid Kagungan Dalem yang berada di pelosok Bantul, DIY sana. Kami berdua mendapat jatah untuk mencari sumber sebanyak-banyaknya tentang Masjid Banyusumurup, Masjid Giriloyo, Masjid Jejeran, Masjid Kauman Pleret, Masjid Pajimatan Imogiri, Masjid Taqorrub Kanggotan, dan Masjid Taqwa Wonokromo.
Kalau tidak salah, waktu itu hari-hari pertama bulan Ramadhan. Dan hari pertama liputan berjalan dengan sangat indah berkat ulah Mas Cahyo yang agak pekok. Waktu itu, pagi menjelang siang, kami berdua sudah bermotor ria puluhan kilometer dengan badan yang separuh lemas separuh bersemangat. Kami sudah mengaspali daratan Bantul yang naik turun. Harap-harap cemas tak akan batal puasa di hari pertama.
Di tengah perjalanan, saya meminta Mas Cahyo menepi karena di kejauhan sana terlihat landskap Masjid Pajimatan dan kompleks makam raja-raja Mataram. “Mas-mas, itu Pajimatan kan? Ambil fotonya geh!” pinta saya. Saat itu, saya memang mengandalkan kamera DSLR milik beliau-nya.
Dan saudara-saudara, beliau lupa membawa kamera! Mas Cahyo, dengan pedenya, hanya membawa tas ransel berisikan tas kamera! Ladalah!
Mau tak mau, sepanjang jalan saya harus mendengar Mas Cahyo menggoblok-gobloki dirinya sendiri. Tapi kami tetap melanjutkan perjalanan mencari lokasi masjid-masjid kagungan dalem di Bantul. Kami sadar, tanpa kamera, kami akan kembali tanpa hasil foto. Tak apalah! Kita selo kok.
Untungnya, hari berikutnya, perjalanan berlangsung cukup sempurna. Saya senang bertemu banyak orang, bertemu takmir masjid yang tahu asal-usul masjidnya, bertemu kiai yang paham sejarah, bertemu juru kunci, bertemu abdi dalem keraton, bertemu jamaah salat, dan bertemu masjid yang usianya ratusan tahun. Jelas, itu salah satu pengalaman paling mengasyikan di sepanjang kehidupan Ramadhan saya yang sudah 23 kali berulang.
Hari terakhir reportase, Masjid Pajimatan Imogiri menjadi tujuan paling bontot Di sana, kami tiba saat senja sudah benar-benar menggantung. Kami duduk di pelataran, mengajak berbincang seorang juru kunci makam raja-raja. Namanya Pak R. Daldiri. Sudah sepuh sekali. Beliau fasih sekali bercerita, malah seperti mendongengi kami saja. (Hal yang paling saya ingat, simbah ini fans berat Pak Soeharto.) Setelah puas berbincang, kami berdua pamit hendak keliling kompleks masjid. Sayangnya kompleks makam ditutup selama satu bulan penuh karena Ramadhan.
Mbah Daldiri, Fans Berat Pak Harto



Beberapa menit kemudian bunyi bedug terdengar. Ah Magrib! Ah buka puasa! Saat itulah, untuk pertama kalinya selama 6 tahun di Yogyakarta, saya berbuka puasa dengan jamaah masjid. Lebih-lebih, di masjid bersejarah yang di atasnya penuh dengan makam raja-raja Mataram. Saya senang!
Buka Puasa Pertama di Masjid Pajimatan Imogiri 


*Karena kepentingan diterbitkan sebagai buku bunga rampai, tulisan hasil reportase Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem dibuat model profil yang straight dan amat sangat kaku. Harus diakui, hasil tulisan hanya berisi fakta dan ditulis dengan gaya membosankan. Padahal asyik sekali kalau dibuat feature. Sayangnya, saya sedang kumat malas. Lagi pula, suasananya sudah agak-agak samar. Nanti, kalau sedang berkontemplasi dan tidak dikejar deadline, saya buat versi feature-nya.

**Saya hanya menulis 4 profil masjid. Tiga masjid lain di Bantul ditulis oleh Mas Cahyo. Sedangkan tulisan lengkap buku rampai, mungkin ada di rak buku Dinas Kebudayaan DIY .


***Bagi yang ingin mewawancarai narasumber tentang masjid-masjid di atas, saya punya beberapa kontaknya lho. Sila hubungi saya. 

Rabu, 20 Mei 2015

Hadiah Bogem Mentah dari Si Bungsu

#Katarsis

Satu-satunya orang yang pernah memberi hadiah bogem mentah kepada saya adalah adik semata wayang saya sendiri. Iya, adik semata wayang saya itu. Yang laki-laki itu! Yang hanya selisih usia 5 tahun 1 bulan itu! Yang namanya Haris itu!
Jadi begini, saya dilahirkan dengan selera humor yang buruk. Amat. Sangat. Buruk. Saya tak bisa melucu yang memang lucu jenaka. Kalau melucu ngece sih bisa. Bisa dikit. Nah, di samping diciptakan dengan selera humor yang payah, Gusti Allah juga menganugerahkan saya sifat iseng yang luar biasa. Ajaibnya, sifat iseng ini hanya keluar di depan si Haris, si adik saya yang cuma satu itu. (Mungkin suatu hari, jika saya sudah siap dengan jawabannya, saya akan bertanya pada Haris: bagaimana perasaan dia memiliki kakak seperti saya ini?)
Suatu hari, seperti hari-hari biasa, saya meledeknya. Kalau tidak salah saya SMP kelas 1 atau 2. Adik saya kelas 1 SD. Karena kami tinggal di Tegal, percakapan berlangsung menggunakan bahasa Tegalan dan logat Margasari. Demi alasan praktis, demikian terjemahan bebas dari isi ledekan saya: “Eh Ris, kamu kan anak nemu. Bukan anak Mama sama Bapak. Jadi aku, Mama, Bapak, sama Mbak Ita pergi ke pelabuhan. Eh terus ada bayi di laut, di bawah jembatan. Kita ambil deh.”
Sebenarnya ledekan itu sudah sering saya lontarkan. Tapi reaksi Haris paling marah-marah tak jelas, bahkan pernah saya dicueki begitu saja. Kalau sudah dicueki, saya hanya akan mencari guyonan mengerikan yang lain lagi.
Namun, sore itu berbeda. Di kamar tengah, saya, Mama, dan Haris sedang tidur-tiduran malas. Mulut saya yang kelewat iseng ini menyembur lagi, “Eh Ris, kamu kan anak nemu. Bukan anak Mama sama Bapak. Jadi aku, Mama, Bapak, sama Mbak Ita pergi ke pelabuhan. Eh terus ada bayi di laut, di bawah jembatan. Kita ambil deh.”
Tanpa ancang-ancang, tangan Haris mengepal dan meninju persis di pipi saya. Alamak! Kaget bukan kepalang. Sakit sih tak seberapa. Kaget, iya! Dan entah kenapa, saya malah menangis hebat. Memarah-marahi Haris dan minta ditinggal sendiri di kamar.
Sekarang, saya selalu cengar-cengir mengingat kejadian itu. Rasanya, adegan itu masih menempel segar di salah satu batang otak. Harusnya dulu saya terima saja dibogem adik sendiri, lha wong saya juga keterlaluan kok! Duh saya versi remaja itu nggak keren babar blas ya. Sudah payah, iseng kelewat batas, tukang marah-marah. Nggak jelas!
Sekarang, saya sudah jarang meledek si Bungsu. Ini sih murni karena kita jarang bertemu saja. Hehe. Maklum, saya di Yogyakarta, dia di Ponorogo. Bisa bertemu kalau saya menjenguknya di Gontor atau saat dia liburan ke Tegal dan Yogyakarta. Jika sudah kumpul satu ruangan ya sudah, dimulailah ronde pertama. Kalau sudah begini, Mama cuma bisa komentar, “Bocah loro ribut bae.” (Anak dua, ribut mulu.)
Kini, si Haris sudah besar, sudah makin pintar. Dia sudah bisa mengece saya habis-habisan. Di suatu sore yang acak, wajah si bungsu yang sudah 19 tahun itu mesam-mesem, tiba-tiba dia bilang, “Kamu kawinnya nanti aja. Aku duluan.”

Sialan.

Perihal Si Tengah dan Bungsu



# Katarsis 

Sedang rindu sama si bungsu. Bukan, bukan bungsu milik saya. (Jangan khawatir para pengagum rahasia, saya belum menikah. Hahaha.) Ini bungsu milik Mama dan Bapak saya. Alias adik saya yang paling bontot dan cuma satu-satunya itu. Sebut saja Mawar, eh Haris. Iya, dia laki-laki. Dan kita punya selisih usia 5 tahun 1 bulan.
Selisih yang cuma setengah lusin itu membuat kita selalu bertengkar. Beneran, selalu! Mau kondisi perang atau gencatan senjata, ada saja pertengkarang, ada saja pertumpahan darah. Ya minimal, sentak-sentakan. Kita jarang sekali akur. Entah kenapa, mungkin jarak usia yang tidak seberapa, mungkin karena kita salah cara berkomunikasi, atau memang karena saya yang tidak bisa menempatkan diri sebagai kakak yang baik seperti kakak sulung kita, Mbak Ita.
Si Haris bisa dengan fasih sekali memanggil saya “Dian”. Tanpa embel-embel kakak atau mbakyu. Mungkin seperti tradisi di keluarga besar kami, anak perempuan kedua akan dipanggil nama saja oleh bungsu. Kebetulan dua budhe dan ibu saya punya urutan anak yang sama: perempuan, perempuan, dan laki-laki. Dan setiap anak laki-laki sekaligus bungsu ini akan memanggil anak kedua hanya dengan sebutan nama semata.
Atau bisa jadi karena Mama, Bapak, dan Mbak Ita tidak memanggil saya dengan tambahan Mbak. Mereka panggil nama, jadilah, si bungsu ikut memanggil nama saja. Tapi tak apa. Saya sih tak pernah masalah dengan panggilan nama saja. Dengan cara panggilan seperti itu, kadang saya merasa dekat dengan si Mawar, eh Haris.
Ramadhan tahun ini, Haris (Insya Allah) akan melepaskan diri dari Pondok Gontor secara baik-baik. Sudah dua bulanan dia rutin menelepon Mama, minta doa supaya ujian Pondok dan Pelajaran Umumnya berjalan lancar. Tak lupa, mama mengirim pesan berantai ke seluruh nomor keluarga. Sama-sama meminta doa. Kalau tak ada halangan, Haris akan “wis sudah” SMA bulan ini.
Wah cepat sekali ya melihat si bungsu ini besar. Padahal masih ingat betul saat dia menonjok wajah saya yang kelewat iseng, saat saya berpura-pura jadi hantu demi melihat dia nangis, saat dia kabur dari rumah karena permintaan membeli pakaian lebaran (lagi) ditolak oleh mama,  saat dia membalikkan semangkuk mie ayam yang sudah beku di atas saya yang baru saja bangun tidur, saat setiap Maghrib menjemputnya dari persewaan PS, saat memarahinya karena tak paham-paham matematika, saat dia lulus TPA di kelas 1 SMP, saat dia curhat tentang perpisahan dengan pacarnya (yang diaku pacar), saat dia diterima di SMA N 1 Slawi, saat dia lebih memilih dan juga terpaksa masuk Gontor.
Kini sudah tujuh tahun lebih kita tidak pernah dalam satu rumah yang sama lebih dari satu bulan. Tujuh lalu saya kuliah. Tiga tahun setelahnya, si Bungsu juga pergi sekolah di Jawa Timur sana. Sedangkan si sulung sudah lamaaaa sekali tak bermukim lama di rumah. Nah, Bapak sendiri bekerja di Bandung. Jadilah, kami semua meninggalkan Mama di rumah. Seorang diri. “Tak apa Ma. Bulan depan kita ramai-ramai lihat si Bungsu lulus dari Gontor!”


TOEFL-KU! Finland oh Finland!


#Katarsis

Finlandia. Boro-boro belajar di sana. Mendengar namanya saja sudah tak tertarik. Tapi, semenjak sibuk cari data buat daftar beasiswa S2, diriku jadi melirik negeri kulkas ini. Ada keinginan mengambil Master Pendidikan di sana. Setelah browsing-browsing, cari info sana-sini, ternyata Finlandia itu negara yang sistem pendidikannya oke punya. Negara ini konsisten sekali menerapkan sistem pendidikan yang memang sudah jadi. Nggak kayak Endonesah yang hobi obah-obah sistem pendidikan, tergantung mood menteri. Jadilah kepengen pergi nun jauh ke sana, demi melihat langsung pola pendidikan di Finlandia.
Tapi keinginan itu kadang muncul kadang tenggelam. Lebih-lebih, waktu itu, sayasedang sibuk belajar TOEFL supaya dapat lebih dari poin 500. Demi beasiswa, apapun akan kulakukan! Langkah pertama adalah dengan mengorbankan tabungan sebesar 1,1 juta untuk dimasukkan dalam rekening Lembaga Bahasa Sanata Dharma. Dengar punya dengar, stok dosen bahasa Inggris milik Kampus Sadhar ini paling jago se-DIY. Ngalah-ngalahin kampusku yang ada di sebelah baratnya. Tapi tak apalah menikung pindah kampus. Namanya juga demi ilmu dan beasiswa.
Sebelum kursus, semua siswa harus mengikuti placement test dulu. Tes ini bakalan nentuin kita ditaruh di kelas kategori jelek ke atas atau jelek ke bawah. Dalam satu kelas yang diisi sekitar 15 anak, dimulailah ujian TOEFL-like. Waduuuh, Anjasmara! Listening no problemo bangetlah. Reading dikit-dikit bisa. Structure, nglambruk, nggasruk ke lantai. Lemah tak berdaya. Pasrah dapet berapa aja. Pasrah masuk kelas mana aja. Padahal ya diriku orang paling gengsi sedunia. Pengennya ya tentu aja dapet kelas kategori jelek ke atas.
Setelah satu minggu deg-degan menunggu hasil tes, akhirnya keluarlah hasilnya. Apa boleh buat. Kemampuan saya jebot banget. Cuma dapet 450. Mayan sih sebenernya. Masih bisa masuk S2 UGM. Tapi harus bayar sendiri. Und, das ist BIG NOPE! Akhirnya, masuklah diriku ke kelas yang entah kategori satu atau dua karena emang nggak tau juga hasil anak kelas sebelah.
Apapun kelasnya, saya hanya punya satu tekad. Keluar dari lembaga bahasa, minimal harus dapat skor TOEFL 505! Minimal sekali! Syukur-syukur dapet di atas 550. Karena untuk dapet beasiswa di luar negeri, harus dapet minimal skor TOEFL 550. Tapi keinginan langsung sirna seketika pada pertemuan pertama, si Mbak Dosen yang cantik jelita, bilang bahwa sangat sedikit kemungkinan kenaikan TOEFL bisa mencapai 100 poin. Otomatislah diriku yang hanya dapat 450, cuma memble saja. Kurang 100 point bok! Apalagi si Mbak Dosen bilang biasanya kenaikan skor pasca kursus hanya 30an point saja. Lantas buat apa diriku kursus TOEFL?! Kalau cuma dapat 480 aja!

Kabar baiknya, pada tes uji coba kedua, saya dapat poin 517. Setahu saya, nilai saya ini tertinggi di kelas. Ya iyalah, orang nggak ada temen yang ngasih tahu nilai mereka! Tapi yang jelas, skor ini bikin diriku mabuk kepayang dan terlecut semangat yang tinggi. Go go Dian! Pasti bisa naikin skor jadi 550! Cetek! Sivil! Sivilisesion!
Satu bulan berikutnya, program kursus rampung sudah. Karena mengejar daftar beasiswa dengan segera, maka segeralah saya mendaftar test TOEFL ITP di Kampus Sanata Dharma. Kira-kira selisih satu minggu dari hari terakhir kursus. Alhamdulillah masih dapet jatah kuota yang tinggal sisa tiga saja. Dalam satu kelas kursus, cuma saya dan Mbak Nelda yang ambil ujian TOEFL sebenarnya.
Sesi Foto Bersama di Pertemuan Terakhir

Hari H pun tiba! Masya Allah! Anjasmaraaaa! Apa-apaan ini! Padahal setiap latihan soal begitu gampang. Ada apa dengan soal TOEFL yang sebenarnya? Kemana soal yang mudah itu? Dengan ajaibnya, soal TOEFL ITP hari itu berubah menjadi sangar dan mengerikan. Dalam hati, cuma memperbanyak baca Bismillah. Sedangkan otak, mulai memaksimalkan soal structure yang tumben-tumbennya lebih gampil daripada listening. Tapi pada hari itu, saya pasrah saudara-saudara! Pasrah ke haribaan Anjasmara! Eh Tuhan, maksud saya! Tapi agak ragu juga dapat skor 500. Menebak-nebak, paling saya cuma dapat 480-an. “Bye-bye beasiswa,” pikir saya waktu itu.
Pasca tes yang mengerikan itu, saya pulang kampung. Sekalian refreshing dan ganti kawat gigi yang sudah gatal bukan main. Lagi pula, hasil tes baru bisa diambil sepuluh harian lagi. Ternyata, hasil tes keluar selang beberapa hari saja. Padahal saya sedang plesir ke daerah Bumiayu bareng simbok yang punya urusan sendiri. Jadilah memohon-mohon, menyembah-nyembah pada wayang Kresna.
“Kamu sayang aku nggak? Kalau sayang, kamu harus ambilin hasil TOEFL aku di Sadhar (Sanata Dharma)! Harus! Kalau nggak, kita putus!”
Nggak ding!
Perkara TOEFL adalah perkara penting buat saya waktu itu. Jadilah prosesi minta tolong dilakukan dengan sangat sopan dan merengek-rengek manja begitu. Untungnya, blio baek betul. Tanpa harus mengirim foto sujud-sujud mohon, blio bersedia membantu. Blionya rela capek-capek bikin surat kuasa mendadak dan mampir ke Sadhar di sela-sela tugas liputan.
Sedangkan di belahan bumi lain, yang punya nilai terus deg-degan. Plesiran kali itu berasa hambaaaaar sekali. Bayangan skor di bawah 500 menari-nari di kepala. Satu persatu, hancurlah harapan saya untuk cari beasiswa. Aduuuuh. Hari itu berjalan lambat betul karena harus menunggu pegawai Sadhar selepas jam 1. Katanya sih itu skor baru bisa diambil selepas jam 1 siang. Kira-kira jam 2, wayang Kresna, mengirim pesan via whats app.
“Selamat yaaaa! Skor-nya 571!”
Keringat saya bercucuran. Seneng bukan kepayang! Percaya nggak percaya sih. Percaya karena tidak mungkin blio bakalan bohong perkara TOEFL. Secara, blio tahu betul selama berbulan-bulan saya selalu semangat sekaligus gusar tentang TOEFL. Kalau bercanda, ya keterlaluan aja! Masak orang tidak lulus tapi dibilang lulus. Nilainya ajib pula! Tapi ya nggak percaya juga. Karena memang soal kemarin susah-susah. Kelewat susah, sampe nggak bisa merasakan ademnya AC yang nyentor tepat di bawah bodi.
Akhirnya, saya putuskanlah untuk percaya. Alamaaak! 571. Itu sudah di atas standar yang saya inginkan! Pake TOEFL dengan skor segitu, saya bisa daftar beasiswa di luar negeri sana. Terbayanglah mengambil jurusan di Finlandia sana. Oh God! Betapa indah bayangan ngampus di salah satu universitas di Finlandia di otakku saat itu.
Di sisi lain, hati kecil ini tidak mau percaya begitu aja. Buru-buru deh minta foto sertifikatnya. Beberapa menit, wayang Kresna akhirnya mengirim foto sertifikat TOEFL tersebut.
Dan saudara-saudara, nilai TOEFL-ku adalah 517!
Sialaaaan! Dasar wayang! Bayangan Finlandia hancur sudah. Berkeping-keping.
Asemik! Ta kira 571 beneran! Udah bayangin daftar di Finlandia aja!”
“Hihihi. 517. Kebalik!” balasnya.

Ampoooon!

(Jangan) Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!


#Katarsis
Menghasilkan duit dengan cara bersenang-senang? Semua orang pasti mau! Jadilah semua orang sepakat dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”, “Pilihlah Hobi yang Bisa Menghasilkan Duit!”, “Jadikan Hobimu Sebagai Ladang Duitmu!” Berbekal dengan keyakinan yang diimani orang banyak itu, saya pun ikut mengamini. Sejak kecil, sudah harap-harap cemas, agar nantinya bisa mencari uang hanya dengan mengerjakan sesuatu yang saya senangi. What a wonderful life!
Tak sengaja dan tak mau sombong, hobi saya yang paling kentara adalah membaca. Membaca buku, majalah, poster, koran, sampai bungkus gorengan. Makanya, jangan heran bila waktu kecil dulu, bungkus gorengan bakalan saya baca sampai-sampai lupa dibuang. Hah alasan!
Tapi memang benar, hobi saya saat zaman purba adalah membaca. Saya akan bangga betul jika ditanya, apa hobimu? Dengan senyum jumawa dan suara dikeren-kerenkan, saya akan menjawab: membaca! Saya juga bangga kalau mengingat-ingat kebiasaan ini. Tiap malam sebelum tidur, saya selalu membawa bekal ke kasur: sebuah buku. Ini kegiatan yang pasti. Ini sebuah keniscayaan.
Ritus ini sudah saya jalani selama ribuan malam. Terutama sejak pindah ke rumah Tegal tahun 2000-an silam. Waktu itu, saya masih kelas 4 SD. Ritual baca buku hampir tiap malam berlangsung. Bahkan jika baru membaca satu baris kemudian mengantuk, saya akan menaruh buku di bawah bantal. Berharap isi buku itu merayap lewat bantal kapuk dan mengendap di dasar otak saya.
Sebenarnya, koleksi buku Bapak dan Mama itu-itu saja. Jadi, buku atau majalah atau apapun yang saya baca ya itu-itu saja. Maklum, giliran niat membaca sudah ada di level yang cukup bagus, eh kondisi ekonomi keluarga nggak memungkinkan untuk rajin beli buku (Beli es krim petit yang 700 rupiah saja, saya takut uang tak cukup). Zaman SD, saya rajin meminjam buku ke teman-teman ke kelas yang kebetulan memiliki hobi yang sama. Terutama Firda. Bapaknya, kalau tidak salah, bekerja di Jakarta dan rutin membeli buku-buku bagus. Saya pernah antre dengan teman-teman kelas lain untuk membaca seri tokoh dunia dan Harry Potter.
Sayangnya, ritual membaca buku sebelum tidur berhenti kala saya dihadapkan pada skripsi. Entah kenapa, membaca buku yang dipaksakan (baca: membaca buku untuk rujukan skripsi) itu memuakkan sekali. Yang jelas, skripsi membuat saya menolak semua bacaan. Rasanya lelah jika harus terus membaca buku. Otak saya seperti kram dan meleleh. Tak bisa mikir. Bahkan buku humor pun tak bisa saya cerna. Alamak!

Kembali ke urusan hobi dan pekerjaan.
Saat kuliah saya masih percaya dengan slogan “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaamnu.” Nah, karena hobi saya membaca, maka terjunlah saya ke dunia yang tak jauh-jauh dari persoalan membaca, yakni dunia tulis menulis. Mulai produk jurnalistik, editan, sampai buku saya hasilkan. Jika dihitung, sampai sekarang saya sudah mencicipi kerja sebagai awak redaksi di tiga majalah bulanan, satu buletin, dan satu tabloid. Juga pernah bekerja di sebuah agensi naskah dan penerbitan. (Please, jangan samakan kantor saya bekerja dengan Kantor Tempo, Kompas, atau Gramedia. J)
Sebenarnya tak masalah kerja sebagai jurnalis. Saya senang bertemu orang-orang baru, mendapat informasi-informasi baru. Apalagi saya pernah wawancara Buya Syafii Maarif. Berbunga-bunga betul hati saya waktu itu. Sampai-sampai, di perjalanan berangkat, motor saya hampir menyerempet mobil pick up saking gugupnya.
Yang menjadi masalah adalah pekerjaan di agensi naskah. Berbeda dengan penulis yang independen, di agensi naskah kamu bakalan menulis sesuai dengan pesanan penerbit. Masih untung bila kamu menyukai tema buku itu. atau minimal paham dengan tema yang dimaui penerbit. Jika tidak, waaah bisa syusye. Temanya sih beragam, bisa biografi orang terkenal, pengembangan diri, sampai buku budi daya ternak lele.
Pekerjaan ini lantas membuat saya harus banyak membaca buku demi menghasilkan 150 halaman buku baru dalam waktu satu bulan saja. Coba bayangkan! Satu bulan membaca puluhan buku dan menghasilkan satu buku! Betapa “produktifnya” saya kala itu!
Sayangnya, semenjak itu, kegiatan membaca bukan lagi menjadi hobi yang menyenangkan. Saya seperti ditarget untuk membaca. Ada deadline. Ada target. Ada output. Dan yang paling mengerikan, saya dipaksa membaca buku dengan tema sesuai pesanan penerbit! Saya merasa kejadian menggarap skripsi kembali berulang. Otak saya kram jika disuruh membaca buku selain untuk buku pelengkap pekerjaan.
Saya bukan lagi seorang pembaca yang independen. Lebih-lebih, saya jadi tak punya waktu untuk membaca yang saya ingini. Ketertarikan saya pada kegiatan membaca menjadi merosot sedemikian rupa. Saya yang zaman kuliah bisa membeli buku baru atau bekas minimal dua eksempelar tiap bulan, tapi kini membaca pun enggan. Padahal uang tabungan terlampau cukup bila membeli dua buku harga @ Rp 50.000 an per bulan. Hehehe.
Saat itulah, saya merasa bahwa menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah kesalahan besar! Saya menyesal saudara-saudara! Ternyata, jika hobi sudah menjadi pekerjaan, menjadi ladang duit, maka siap-siaplah karena hobimu itu tak akan mengasyikan lagi seperti dulu. Karena hobi itu tak akan semembanggakan seperti dulu. Karena hobimu adalah rutinitas belaka, seperti selayaknya pekerja kantoran. Lalu kamu akan menangis di pojokan, berpura-pura senang bahwa cita-cita “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaan” telah terwujud!
Tapi apa daya, satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk menghasilkan duit adalah menulis. Saya tak punya pengalaman hitung uang, jadi marketing, kerja di bank, atau mungkin mendesain. Saya hanya bisa menulis. Itu pun pas-pasan. Ya maka dari itu, saya lanjutkan saja pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan baca tulis ini.
                                                                        ***
Beberapa waktu lalu, untuk menunaikan kewajiban saya di kantor (baca: setor tulisan), saya wawancara dengan Pendiri Komunitas Muslimah Backpakcer yang sudah keliling 32 negara dan punya segudang karya. Yaitu Mbak Imazahra Fatimah. Dari obrolan random sekira kurang lebih 60 menit itu, saya seperti disadarkan, diberi pencerahan, dikasih jalan taubat.
Mbak Imazahra menyebut misi perjalanannya sebagai dakwah backpakcer. Ya memang, Mbak Imazahra beserta suami, Rifyan Nurhakim, biasanya diundang untuk mengisi ceramah di negara-negara Eropa, Amerika, hingga Afrika. Setelah itu, keduanya selalu menyempatkan diri untuk traveling ke pelosok negeri terutama yang memiliki jejak sejarah Islam. (Tulisan lengkap wawancara dengan Mbak Imazahra, lain kali ya. Sedang mengejar deadline!)
Mbak Imazahra cerita banyak tentang pengalamannya. Selepas traveling, blio-nya menuliskannya di blog pribadi. Awalnya, blio menulis kisah perjalanannya bukan karena uang. Ia menulis hanya karena eman-eman tidak mengaksarakan kenangan perjalanannya sendiri. Eh tanpa disangka, Majalah Annida dan Ummi mengontaknya. Eh malah Mbak Helvy Tiana Rosa mengajak blio bikin antologi. Eh tawaran menulis buku yang lain. Eh tau-tau buku-bukunya sudah best seller saja!
Nah, di wawancara yang berlangsung lewat sambungan kabel optik itu, Mba Imazahra bilang, “Kalau menyukai sesuatu, seriusi sesuatu itu. Uang datang dengan sendirinya.”
Di tengah-tengah wawancara, saya tersentak. Saya pun sadar, saya sudah keliru besar. Selama hampir 15 tahun saya yakin betul dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”. Dengan prinsip itu, kita justru meninggalkan kepuasaan pribadi, menjauhkan diri dari proses katarsis, demi uang, demi tabungan, demi popularitas, dan demi segala yang bisa diukur materi. Padahal alur dari slogan itu seharusnya “Tekuni hobimu, kemudian kamu menjadi master di hobimu, uang mah akan mengikuti si master”. As simple as that!

Kemudian, beberapa saat, wawancara dengan Mbak Imazahra selesai. Saya taubat. Dengan langkah gontai dan penuh penyesalan (bagian ini sedikit didramatisir), saya berbaring, mengambil sebuah buku apapun yang bisa saya jangkau. Lantas, mencoba khusyuk, saya membaca kumpulan cerpen milik Eka Kurniawan.