# Katarsis
Sedang rindu
sama si bungsu. Bukan, bukan bungsu milik saya. (Jangan khawatir para pengagum
rahasia, saya belum menikah. Hahaha.) Ini bungsu milik Mama dan Bapak saya.
Alias adik saya yang paling bontot dan cuma satu-satunya itu. Sebut saja Mawar,
eh Haris. Iya, dia laki-laki. Dan kita punya selisih usia 5 tahun 1 bulan.
Selisih yang
cuma setengah lusin itu membuat kita selalu bertengkar. Beneran, selalu! Mau
kondisi perang atau gencatan senjata, ada saja pertengkarang, ada saja
pertumpahan darah. Ya minimal, sentak-sentakan. Kita jarang sekali akur. Entah
kenapa, mungkin jarak usia yang tidak seberapa, mungkin karena kita salah cara
berkomunikasi, atau memang karena saya yang tidak bisa menempatkan diri sebagai
kakak yang baik seperti kakak sulung kita, Mbak Ita.
Si Haris bisa
dengan fasih sekali memanggil saya “Dian”. Tanpa embel-embel kakak atau mbakyu. Mungkin seperti tradisi di
keluarga besar kami, anak perempuan kedua akan dipanggil nama saja oleh bungsu.
Kebetulan dua budhe dan ibu saya punya urutan anak yang sama: perempuan,
perempuan, dan laki-laki. Dan setiap anak laki-laki sekaligus bungsu ini akan
memanggil anak kedua hanya dengan sebutan nama semata.
Atau bisa
jadi karena Mama, Bapak, dan Mbak Ita tidak memanggil saya dengan tambahan
Mbak. Mereka panggil nama, jadilah, si bungsu ikut memanggil nama saja. Tapi
tak apa. Saya sih tak pernah masalah dengan panggilan nama saja. Dengan cara
panggilan seperti itu, kadang saya merasa dekat dengan si Mawar, eh Haris.
Ramadhan
tahun ini, Haris (Insya Allah) akan melepaskan diri dari Pondok Gontor secara
baik-baik. Sudah dua bulanan dia rutin menelepon Mama, minta doa supaya ujian
Pondok dan Pelajaran Umumnya berjalan lancar. Tak lupa, mama mengirim pesan
berantai ke seluruh nomor keluarga. Sama-sama meminta doa. Kalau tak ada
halangan, Haris akan “wis sudah” SMA bulan ini.
Wah cepat sekali ya melihat si bungsu ini besar.
Padahal masih ingat betul saat dia menonjok wajah saya yang kelewat iseng, saat
saya berpura-pura jadi hantu demi melihat dia nangis, saat dia kabur dari rumah
karena permintaan membeli pakaian lebaran (lagi) ditolak oleh mama, saat dia membalikkan semangkuk mie ayam yang
sudah beku di atas saya yang baru saja bangun tidur, saat setiap Maghrib
menjemputnya dari persewaan PS, saat memarahinya karena tak paham-paham
matematika, saat dia lulus TPA di kelas 1 SMP, saat dia curhat tentang
perpisahan dengan pacarnya (yang diaku pacar), saat dia diterima di SMA N 1
Slawi, saat dia lebih memilih dan juga terpaksa masuk Gontor.
Kini sudah
tujuh tahun lebih kita tidak pernah dalam satu rumah yang sama lebih dari satu
bulan. Tujuh lalu saya kuliah. Tiga tahun setelahnya, si Bungsu juga pergi
sekolah di Jawa Timur sana. Sedangkan si sulung sudah lamaaaa sekali tak
bermukim lama di rumah. Nah, Bapak sendiri bekerja di Bandung. Jadilah, kami
semua meninggalkan Mama di rumah. Seorang diri. “Tak apa Ma. Bulan depan kita
ramai-ramai lihat si Bungsu lulus dari Gontor!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar