Rabu, 12 Agustus 2015

Pagi di Suatu Pagi


#Cerpen Lawasan

Aku tak lagi suka pagi. Tidak seperti kebanyakan orang yang menunggu pagi untuk segera berebut rezeki. Aku tak pernah suka pada sinar matari yang masuk melalui celah lubang angin dalam kamarku. Membangunkanku dari segala kelelahan yang hinggap dari hari-hari kemarin. Membuat segala keheninganku hilang bersamaan dengan berisiknya bunyi tapak kaki yang lalu lalang di dalam kurabu. Bukan hanya tak suka pagi, aku bahkan membencinya. Melebihi benciku pada Tuhan yang menuliskan garis hidupku sedemikian penuh bala.
Masih teringat jelas sekali kala pertama aku menuju jalan mengerikan ini.Saat itu pagi. Aku membuka mataku dari tidur yang nyenyak. Membasahi muka, merapikan amben, membuka jendela, membiarkan sinar-sinar matahari menerangi kamarku yang sudah rapi. Lantas tiap pagi aku akan membuatkan teh untuk Ibu, Bapak, Mas Tomo. Menaruhnya di atas meja tamu lalu kulanjut menyapu. Rapi sudah, bersih sudah. Rasa-rasanya bau pagi makin lekat di hidungku. Perlahan kusesap bau pagi itu. Rasa-rasanya kemarin pun aku masih menjalankan ritual pagi. Pagi itu jelas sekali matari cerah tanpa sedikit pun mendung menggelayut manja. Aku mencintai sayup-sayup terang dalam pagi. Membuatku merasa begitu damai dan bersahabat.
Pukul tujuh, seorang sipil Jawa dan tentara Jepang mengetuk pintu rumahku. Bapak membukakan pintu itu dan merasa terkejut ada seorang Jepang bertamu sepagi ini. Bapak kagum betul dengan Jepang yang mengaku sebagai saudara tua Indonesia ini dan mengurangi keberadaan Belanda. Ia mempersilakan tamu-tamunya masuk dan duduk. Dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan rebus menjadi saksi obrolan mereka.
Ibu dan aku segera mencuri-curi dengar percakapan antara bapak dan kedua tamu tadi. Sedang Mas Tomo hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kami. Ia bergegas menuju pelataran belakang, memberi makan ayam-ayam peliharaan. Rupa-rupanya dua tamu tadi mengabarkan bahwa pemerintah Jepang sedang mengadakan sekolah khusus untuk perempuan-perempuan Indonesia. Menariknya, sekolah tadi bersifat gratis. Kami tak perlu membayar sesen pun. Sekolah gratis tadi akan diselenggarakan di Jepang, segala urusan mulai dokumen beserta uang saku menjadi urusan pemerintah Jepang. Aku, anak perempuan satu-satunya dalam keluarga merasa berada diatas angin. Dalam hati aku berharap, Bapak akan menunjukku untuk ikut sekolah Jepang. Aku yakin, mereka akan bangga karena beberapa tahun setelahnya aku akan menjabat di kantorku sendiri di daerah kabupaten.
Maka, setelah Jepang-Jepang tadi usai bercakap dengan Bapak, aku segera merajuk pada Bapak dan ibuku.
“Bapak, saya sudah mendengar kabar dari Jepang tadi. Saya ingin ikut,” ujarku tanpa basa-basi.
“Iya Bapak tahu kau pasti kepingin ikut. Bapak juga ingin kau sekolah, lebih pintar dari Bapak, Ibu, atau Mas Tomo.”
Aku berbinar, hampir mendapat restu.
“Tapi kau tahu bukan resikonya? Jepang itu jauh. Kau harus mandiri, tidak boleh menggantungkan hidupmu begitu saja,” lanjut Bapak menceramahiku.
Ibu dan Mas Tomo hanya diam. Lantas bapak merasa enggan. “Coba kau tanya Ibu dan Mas-mu!”
Kulihat Ibu tak berekspresi sama sekali. Dalam dua detik matanya sudah penuh genangan air. Buru-buru ia mengusapnya, saat sadar kami semua memperhatikannya.
“Ibu, bagaimana? Bolehkah?”
“Nduk, Ibu khawatir. Kita tidak pernah terpisah begitu jauh. Kamu anak perempuan yang paling Ibu sayang.”
Aku khawatir, sepertinya Ibu tak memberi jalan. Lantas kubuat tatapan semeyakinkan mungkin. Harap-harap cemas Ibu mampu merelakan kepergian putrinya menuju negeri matahari terbit itu.
Mas Tomo sama khawatirnya dengan Ibu. Ia membutuhkan waktu lama untuk memutuskan keinginanku. Aku tahu, pasti ada perasaan berat menggelayut karena aku satu-satunya adik yang ia punya. Tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang? Setamat sekolah, kerjaaanku makin tak tentu. Hanya berdiam di rumah membantu ibu menanami sepetak tanah kecil dengan bumbu-bumbu dapur. Menunggu pinangan datang? Zaman serba sulit, banyak pemuda lebih mementingkan bela negara dari pada menikah dan kawin. Ayo Bapak, segera putuskan dan ijinkan aku melanglang menuju sakura tumbuh.
****
Dengan berat hati, Bapak Ibu dan Mas Tomo mengantarku hingga muka rumah. Seorang Jepang yang kemarin datang telah menjemputku. Si sipil, yang akhirnya kuketahui namanya adalah Hanada-san. Dengan montor keblak, ia segera membawakan tas yang berisi pakaianku. Di depan pintu, air mata yang begitu melimpah segera tumpah. Kupeluk ibu, Bapak, dan Mas Tomo. Kupandangi Bapak yang di sudut matanya mengambang air mata. Ibu melemas dan menyandarkan diri di dinding rumah.
Dibawa Hanada-san, aku melaju menuju sebuah rumah. Ternyata aku tak sendirian. Di sebuah rumah tampungan milik kawan Hanada-san, Yuriko, aku bersama sekitar 9 anak perempuan lain. Mereka sepantaran denganku. Empat diantaranya adalah teman sepermainanku kala kecil, Tari, Kijah, Saroh, Tarmi.
Kami bersepuluh bercakap-cakap gembira. Membayangkan perjalanan yang panjang menuju negeri dimana sakura-sakura tumbuh. Membayangkan repotnya kami harus kursus bahasa Jepang  dulu sebelum memasuki sekolah impian. Membayangkan betapa cantiknya kami berkimono. Membayangkan asyiknya bermain drama di sela-sela sekolah. Membayangkan hujan bunga sakura di pelataran asrama. Membayangkan masa depan cerah yang tinggal beberapa langkah.
****
Rumah ini tak pernah sepi. Tentara-tentara Jepang kerap menyambangi rumah milik Yuriko. Mereka selalu memandang kami dengan mata-mata genit. Namun lambat laun mereka menjadi teman mengobrol kami yang asyik. Mereka tak pernah kering dari informasi di Jepang sana. Ada-ada saja kabar-kabar menarik yang mereka sampaikan, mulai dari cara berkimono hinggan kehebatan Kaisar Hirohito.
(http://bit.ly/1P50HQm)

Dua minggu dalam rumah besar ini membuat kami tidak tahu kondisi di luar. Kami layaknya tahanan, dikurung tanpa tahu peristiwa di luar kurungan kami. Namun untungnya, kami diberi makanan dan pakaian yang layak dan berkecukupan. Oleh Yuriko, yang biasa kami panggil Okasan, kami diajari bagaimana cara merawat tubuh yang baik menggunakan segala macam ramuan agar tubuh tetap wangi dan segar. Bahkan, ia memanggilkan dokter untuk memeriksa kesehatan kami. Okasan bilang, semua itu untuk pelengkap dokumen kesehatan. Maka, kami hanya menurut saja ketika dokter menyuntikkan sesuatu di lengan kami dan memeriksa organ vital kami.
Di lain waktu, Okasan mengajari kami menuang teh atau membuat angsa dari kertas. Lantas kami mulai terbiasa berkimono dan membungkuk saat matahari terbit. Kami serasa tinggal selangkah menuju Jepang.
Namun, berminggu-minggu setelah pemeriksaan kesehatan, kami tak juga diberangkatkan. Segala macam semangat yang kami usung, perlahan meleleh menjadi mentega yang siap dilahap bersama roti. Bayangan kesuksesan yang akan dimulai di negeri matahari itu perlahan sesap. Gelora yang kami bawa dari kampung halaman perlahan kusut masai.
Di suatu pagi, Okasan dan Hanada-san meminta kami semua berkumpul. Disuruhnya kami masuk ke dalam kamar yang sudah disulap menjadi bilik-bilik berukuran 2x3 meter. Sebelumnya kami diharuskan bersolek seindah mungkin. Yang selanjutnya terjadi adalah seorang demi seorang tentara masuk ke dalam masing-masing bilik. Melepas baju mereka. Aku kaget bukan kepalang. Merasa ada sesuatu yang tidak beres segera aku lari berlindung di pojok bilik. Tanganku mengambil kursi berusaha melindungi diri. Namun, tangan-tangan Jepang sudah begitu mahir dalam latihan militer. Ketakberdayaan kami menjadi senjata bagi mereka. Dilucuti pula lah sembarang apa yang menempel pada tubuh kami.
Genap seminggu, pagi itu aku harus segera membasuh badanku dari kepenatan yang berlebih. Membuang sisa-sisa bau prajurit Jepang yang menempel di tubuhku. Aku tak ingin keluar dari kamar mandi ini. Ingin rasanya berlindung seharian tanpa harus berdiam di bilik yang sudah disediakan oleh Okasan dan Hanada-san. Menunggu tentara-tentara Jepang yang menukarkan sen-sen mereka untuk masuk dalam bilikku.
Aku benci tiap kali pagi datang. Karena tiap pagi aku akan berhadapan dengan serdadu-seradadu bermata sipit berkulit putih. Aku benci tiap kali pagi datang, karena ternyata aku masih mampu bangun dan merasakan rahimku kesakitan. Aku benci tiap kali pagi datang, karena segala impian menjadi sekadar impian. Tidak pernah terlaksana.  Memudar.

Aku tak pernah lagi suka pagi. 

Liana



#Ini cerpen lawas dan masih busuk sekali. Harap maklum!
#Terinspirasi dari puisi "Gadis Kecil" miliki Sapardi Djoko Damono. 

Liana, keluar dari rumahnya yang hanya berdinding kardus. Berkaus dalam dan celana pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api. Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil menahan gempuran dingin.
Liana berjalan sepanjang stasiun kecil yang lama tak beroperasi. Sudah hampir setengah tahun ia tinggal disitu. Dulu ia memang tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sederhana. Walaupun tak ada AC dalam rumahnya, setidaknya ia, ibu dan bapaknya bisa tidur nyenyak di atas kasur berdipan.
Setahun lalu ibu bapaknya mati. Kecelakaan. Saat itu, mereka hendak membelikan Liana sebuah boneka barbie. Liana sungguh menginginkan boneka cantik itu. Setahun sudah keinginan itu ia endapkan. Ibunya selalu bilang tak ada uang untuk boneka.
Hari itu ibunya kelihatan sangat sumringah setelah pulang dari pabrik, tempat ia bekerja. Uang lembur ia terima setelah dalam seminggu bekerja lebih lama dari hari biasanya.
„Kau masih mau boneka cantik itu kan Lia?“
„Nggak Ibu. Lia nggak mau boneka itu lagi. Lia sudah punya Bela,“ jawab Liana tak sanggup melihat mata ibunya. Takut menelan kekecewaan lagi. Segera ia berlari ke kamar tidur. Mencari Bela kecil di atas kasur.
„Lihat Ibu. Bela sudah cukup buat Lia,“ Liana memperlihatkan bonekanya yang tak berbentuk .
Bela, boneka itu hanya terdiri dari buntalan kain gombal yang dibungkus dengan selembar kain dari baju bekas. Tangannya tak sama panjang. Kakinya hampir buntung satu. Wajahnya tak simetris. Matanya ia buat dari bulatan tinta pena. Liana menjahit sendiri boneka itu. Ia minta ibunya membawakan perca kain dari pabrik tempatnya bekerja.
“Jangan berbohong Lia. Kau masih mau barbie kan? Cepat mandi. Kita pergi ke pasar. Cari barbie yang kau inginkan.“ ibunya segera menjawab. Matanya tak kuat memendung kaca-kaca air. Puas karena sebentar lagi akan membelikan anak putrinya sebuah boneka barbie.
Mata kecil Liana tak kalah cerah. Ia sudah lama mengubur impian untuk bermain dengan Barbie. Kini ibunya tiba-tiba mengajaknya pergi mencari si cantik. Segera saja Liana, ibu dan bapaknya segera pergi ke pasar yang jaraknya tak lebih dari satu kilometer.
Di tengah perjalan, sebuah truk keluar lajur jalan dan berbelok tepat ke arah mereka. Menabrak deretan kios. Bapak ibunya terjepit antara runtuhan tembok dan bagian depan mobil. Saat itu Liana berlari, tak sabar hendak cepat sampai di pasar.
Badannya berbalik menemukan bapak ibunya sudah terseret jauh dengan darah bersabutan tak karuan. Ia hanya mematung. Matanya seketika basah. Ibu bapaknya tak pernah membuka mata setelah itu. Tak pernah melihat Liana lagi. Tak pernah bicara dengan Liana lagi. Tak pernah memeluk Liana. Tak pernah membelai Liana. Tak pernah memarahi Liana. Bapak ibunya mati.
Di tengah kesendirian, Liana tak tahu harus melakukan apa. Kejadian itu sudah sedikit demi sedikit meruntuhkan asa hidupnya. Sepengubur orang tuanya, ia tak pernah bicara dengan siapa pun. Hanya memandang dengan mata cekung. Bibirnya kering. Setiap bibirnya mulai bergerak, tangisnya selalu pecah. Tak bersuara. Tangis terdalam yang paling pilu.
Tak kuat dengan hidupnya saat itu, Liana mencoba kabur dari rumah tetangga yang berbaik hati telah merawatnya. Malam-malam, hanya dengan membawa tas gendong yang berisi tiga lembar baju, dua celana, satu rok-nya, ia bergegas meninggalkan rumah tetangganya itu. Berjalan terus lurus menuju terminal. Bus kota yang berhenti segera ia naiki. Takut kepergok, ia duduk di bawah bangku pojok yang tak terjangkau sinar lampu.
Mukanya tak berekspresi. Hanya terlihat seperti seorang gadis kecil yang menunggu sesuatu. Bus mulai merayap, entah kemana. Membawanya menuju kota yang tak pernah ia kunjungi. Pagi selepas subuh, bus kota yang ia tumpangi berhenti. Liana sudah terjaga dari tidurnya sejak satu jam lalu. Segera ia pergi keluar dari bis. Kaki kecilnya menyusur jalan-jalan yang asing. Terminal itu sudah mulai ramai. Bakul kopi gendong mondar-mandir menawarkan dagangannya.
Kini, sudah setengah tahun ia terdampar di stasiun kota kecil yang sudah lama tak digunakan. Stasiun itu kini hanya banguan tua hampir roboh. Lima gerbong berkarat tak terurus tergeletak sekenanya.
Liana selalu rindu pada ibu bapaknya. Tapi mereka tak pernah menengoknya, bahkan dalam mimpi sekalipun. Kenangan terakhir dengan ibu bapaknya tak pernah ia lupa. Setiap detail ia ingat. Bahkan bentuk leleran darah tak menghilang dari memorinya.

Pagi ini gerimis. Liana terbangun dari tidurnya. Ia keluar dari rumah kecil yang hanya berdinding kardus. Berkaus dalam dan bercelana pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api. Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil menahan gempuran dingin. Tangannya segera menyambar piring plastik kotor untuk memayungi kepalanya. Liana berjalan sepanjang stasiun kecil itu. Menuju pohon meranti diseberang. Ia rindu ibu bapaknya. Bibirnya lamat-lamat hampir bersuara. Bergetar. Masih selalu saja matanya yang menguarkan kata tangis. 

NAIF dan Segala Kenaifan Saya


Saya pecinta NAIF. Bukan pecinta ulung. Masih abal-abal sih. Masih amatir. Walaupun saya sudah terpana pada mereka sejak zaman SMP (usia saya sekarang 24 tahun. Hitung sendiri saja). Kenapa cinta saya pada NAIF patut dipertanyakan? Pertama, karena saya ndak tahu semua lagu mereka. Kedua, karena saya ndak paham dan tidak mau susah-susah mencari tahu sejarah band ini. Ketiga, karena saya juga ndak tahu tanggal berapa saja ulang tahun personelnya. Hehehe. Tapi saya cinta NAIF dengan segala lagunya.

Boleh dibilang, ketertarikan yang semakin menggila pada NAIF dimulai pada awal-awal SMA. Aduhai, betapa lagu “Mobil Balap” dan “Benci Untuk Mencinta” yang lawas itu begitu sering dibawakan oleh band kakak kelas saya di SMA dulu. Tapi ya begitu. Zaman dulu ‘kan susah. Untuk beli kaset NAIF saja, saya tak mampu. Beli mp3 NAIF di toko handphone, buat apa? (Dulu jarang sekali orang mendownload sendiri. Oh ya, dengan 10.000 rupiah kamu bisa dapat 3 copy-an lagu). Hape saya kan hape jadul. Poliponik. Baru saat kuliah saya aktif mendownload secara ilegal lagu-lagunya. Ini alasan keempat kenapa saya disebut pecinta NAIF abal-abal cum amatiran.

Saat kuliah juga, saya baru menuruti mimpi saya. Nonton konser NAIF!
*Sebagai catatan, seumur hidup, saya belum pernah nonton konser. Ya ampun, daif sekali saya.
**Peristiwa ini juga yang membuat saya yakin bahwa impian bukanlah hal mustahil. Ia bisa terwujud walaupun harus menunggu bertahun-tahun.

Jadi, di suatu sore di tahun 2012, tiba-tiba saya nyeletuk pada kawan baik saya yang Tionghoa cap Purwokerto campuran Singkawang itu.
Ncik, pengen ke Jakarta euy,” kata saya di sela-sela keseloan di basecamp kegiatan ekstra kampus.
“Ayo.”
“Tapi ga ada duit.”
Sekian. Percakapan berhenti di situ begitu saja.

Lantas beberapa hari setelahnya, Encik memberi tahu bahwa NAIF mengadakan konser di Jakarta. Bahwasannya, doi tahu kalau saya pecinta NAIF. Ini konser rutin NAIF setiap ulang tahun. Tahun 2012 berarti usia NAIF 18 tahun. Wah betapa senangnya saya. Tapi semangat saya meluncur seketika. Ya gimana, saya kan hanya mahasiswa dengan penghasilan (baca: kiriman orang tua) yang pas-pasan. Oh ya, saya tinggal di Jogja. Untuk makan, bisa saya serahkan pada senior-senior yang berminat menampung kami berdua di Jakarta sana. Tapi untuk tiket kereta api dan tiket masuk saja, belum tentu saya bisa nebus. Masak mau minta sama si mamah. “Mah, minta duit dong. Mau nonton NAIF di Jakarta.” Kan ndak lucu.

Waktu itu sih saya nggak berharap banyak. Takut kecewa. Eh dasar, rejeki anak solehah. Saya dipanggil oleh Pak Nurhadi, dosen FBS (Fakultas Bahasa dan Seni). Blio ngasih uang ke saya setengah juta. Ingat, uang ini bukanlah uang hadiah atau pemberian begitu saja. Uang ini merupakan hasil kerja keras meneliti satu per satu halaman roman milik Orhan Pamuk, “My Name is Red” a.ka “Namaku Merah Kirmizi” selama satu bulan lebih.

Hati ini berbunga-bunga betul mendapatkan uang tepat pada waktunya. Keluar dari jurusan, saya langsung hubungi Encik, “Ayo dah ke Jakarta nonton NAIF. Udah ada duit.” Lalu kami berdua bagi tugas. Saya mengurusi tiket masuk konser. Encik mengurusi tiket kereta api.

Hari H tiba. Malam hari, saya dan Encik menunggangi kereta kelas bisnis dari Stasiun Tugu. Harusnya kami naik kelas ekonomi. Saya sudah berkali-kali mewanti-wanti Encik supaya segera beli tiket ekonomi. Tapi dasar. Perjalanan lama sekali. Sekitar Subuh jam 5, kami baru sampai di Stasiun Senen. Waktu itu, saya sih manut saja sama Encik karena doi lebih tahu Jakarta ketimbang saya. Jadilah setelah mandi di Senen, kami jalan-jalan ke sekitaran. Melihat Kota Tua yang biasa-biasa saja. Melihat Museum Fatahilah yang masih tutup. Dan sebagainya-dan sebagainya.

Kami lantas bersepakat untuk mengunjungi Masjid Istiqlal selepas sarapan. Ealah, ternyata Encik punya misi sendiri di masjid itu. Tidur. Duh iyung. Saya yang serba gengsian ini kan gengsi juga buat tidur di masjid.

(Pagi buta di Istiqlal, masjid sekaligus tempat tidur dadakan.)


Seharian itu kami hanya jalan-jalan saja. Tidak ada tempat singgah yang bisa kami singgahi. Padahal kami butuh kasur. Remuk sekali rasanya badan yang semalaman dipaksa meringkuk di dalam kereta api. Kami berdua lantas makan es krim Ragusa yang mahal, terkenal, dan rasanya biasa saja. Kami lewati Monas. Kami ke Kantor TEMPO menemui Maya, kawan baik Encik. Sorenya, saya, Encik, dan Maya menuju Mall Indonesia. Oh ya, Konser sendiri dilangsungkan di HardRock Cafe.

Jam 8 malam sudah lewat. Punggawa NAIF belum juga masuk panggung. Saya dan penonton yang lain masih sabar. Padahal kaki sudah susah diajak kompromi. Rasanya letih sekali. Kami yang kere-kere tidak bisa duduk di kursi Hard Rock yang nyaman. Ya gimana, masak duduk aja bayar lagi, begitu kata Mbak Waitress nya. Ingat, uang kami ‘kan ngepas sekali. Nah, baru jam 10 mereka masuk. Itupun setelah teriakan “huuu” membahana di kafe yang ukurannya ndak begitu besar.

Begitu mereka masuk, saya hanya terkesima. Terpana dalam artian yang sebenarnya. Senior kami yang juga ikut nonton sampai bilang, “Ya ampun mukamu itu lho Yan!”

Malam itu, kami semua bersenang-senang. David lucu sekali di atas panggung. Kang Jarwo hanya mesem-mesem. Walau sudah beruban, doi mah tetep cool dengan muka seadanya. Emil, ya begitulah. Pepeng? Terlihat betapa Kang Pepeng begitu heboh sendiri menggebuki drumnya.
Sayangnya, “Senang Bersamamu” tidak mereka nyanyikan.

Oh ya, saya sempat berfoto dengan mereka. Itu pun setelah bilang pada panitia bahwa saya dari Pers. Mendaku bahwa nama majalah saya bernama EKSPRESI.
“Maaf yang lain nggak boleh masuk,” kata mbaknya.
“Saya dari pers mbak,” jawab saya.
“Dari mana? Kartu persnya?”
“Dari Majalah EKSPRESI.”
“Mana itu EKSPRESI.”

Saya mesam-mesem saja. Dalam hati, saya mengkoreksi perkataan saya. Iya dari majalah EKSPRESI. Salah satu lembaga pers mahasiswa milik kampus negeri di Yogyakarta. Persma tempat saya dan si Encik bernaung. Untunglah, kami diperbolehkan masuk. Daaaaaaan, untuk pertama kalinya saya melihat David, Kang Jarwo, Emil, dan Pepeng dari dekat. Subhanallah, nikmat Tuhan mana lagi yang saya dustakan? 


(Salah satu nikmat Tuhan: berfoto bareng idolak!)

Minggu, 09 Agustus 2015

Sandi dan Media, Salah Dua Alasan Untuk Kembali Ke Makassar

Akhirnya. Saya keluar pulau Jawa. Sungguh ya, betapa diri ini bagai katak dalam tempurung. Tempurung Jawa. Hanya sibuk main ke seputaran Jawa Barat sampai Jawa Timur. Itu pun sebatas kota-kota tertentu. Keluar Jawa hanya sekali, ke Bali. Itu kan sudah mainstream. Jadi tidak pantas saya sebut-sebut. 

Delapan hari ke belakang, saya menjejakkan kaki di bumi Anging Mamiri. Makassar. Amboi, panasnya. Amboi masyarakatnya. Persinggahan saya ke Makassar juga demi pengabdian terhadap persyarikatan sih. Alias demi meramaikan Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Dan nantinya saya harus setor tulisan hasil Muktamar di majalah kebanggaan tempat saya bekerja, Suara ‘Aisyiyah. 

Tanggal 31 Juli 2015, kami tiba di Bandara Adi Sucipto. Ternyata teman-teman sudah menunggu dengan sabar yang setengah-setengah. Beberapa dari mereka, terlihat kesal melihat saya yang datang selisih lima menit dari mereka. Ah, cuek ajalah cuek. Namun, saya jadi tak cuek ketika melihat apa yang mereka bawa. Agak ngeri juga melihat bawaan teman-teman. Rata-rata mereka membawa satu koper dan tas. Saya hanya tersenyum kecut. Saya cukup membawa satu ransel dan tas selempang lawas milik mamanda tercinta yang saya taksir. 

Antrian check in mengular. Padat merayap. Entah ada apalagi di bumi anging mamiri ini. Sampai-sampai antrian check in saja panjangnya tak ketulungan. Akhirnya, berkat bakat penyelundup, saya berhasil. Kebetulan kawan lain sudah mengantri di depan. Hehe. 

Bismillah, semoga perjalanan di udara ini baik-baik saja. 

Dua jam berikutnya, tahu-tahu kami sudah sampai di Bandara Hasanudin yang luasnya bikin semangat jogging hilang seketika. Di depan bandara, kami sibuk mencari penjemput yang akan mengantarkan kami ke penginapan dan pusat acara. Disitulah saya mulai “sedikit sakit hati”. Berkat ucapan penerima utusan Muktamar di bandara yang begitu kencang. “Bapak-bapak Muhammadiyah dari kontingen daerah ini ayo masuk ke bis.” “Mau kalian apa?” dan celetukan lain dengan logat khas Makassar yang benar-benar susah dimengerti. Saya maklumi kok. Nah, dari sinilah perjalanan kami selama delapan hari ke depan dimulai. 

Jika ada yang bertanya, apa yang kamu rindukan dari Makassar? Saya “yakult yakin seyakin-yakinnya” dengan dua jawaban ini: Sandi dan kawan-kawan di Media Center di lantai 2 Hotel Novotel. 

Siapa Sandi? 

Kisah awalnya bermula saat saya dan Kak Mida memutuskan bolos acara laporan pertanggungjawaban dari Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah. Tidak menarik dan tidak bisa diliput, alasan kami waktu itu. Jadilah kami turun dari lantai 2 Novotel. Minta dipanggilkan taksi oleh Mbak Satpam. Lalu iseng-iseng bertanya rute menuju Rotterdam. Ealah, dasar rejeki anak shaleh. Mbak satpam, yang belakangan kami ketahui bernama Nurjanah, bersedia meminjamkan motor maticnya pada kami. Bayangkan, kita belum tahu nama masing-masing. Namun blio sudah berani meminjamkan motor beserta STNK-nya pada kami. Apalagi blio menaruh dompetnya yang tebal di jok motor. “sinting” kagum kami saat itu. 

Syahdan, berjalan-jalanlah saya dan Kak Mida ke Rotterdam. Mulailah kami menyusuri Makassar pakai acara menyasar. Padahal kami hanya ingin ke Rotterdam yang hanya berjarak 10 menit dari Novotel. Di Rotterdam, sesi foto tentu terjadi. Tidak mungkin tidak. Tidak sah. Tidak valid jika tidak ada foto sebagai tanda bukti. Alhamdulillah-nya lagi, gambar saya di kamera Kak Mida lebih banyak. Karena Kak Mida yang pegang kamera DSLR. Hehehe. 

Selepas Maghrib, kami cabut dari Rotterdam. Menyusuri jalanan yang kebanyakan searah untuk mampir ke Losari. Barang 10 atau 20 menit untuk mencicipi pisang epe. Iya, disana kami mampir di warung pisang epe yang ramainya bukan main. Sebenarnya saya sih penasaran saja dengan pisang epe. Maklum, saya termasuk golongan pencinta pisang garis keras. Eh ternyata pisang epe semacam pisang bakar dengan topping dengan gula merah dan lain-lain. Kamu bisa memilih keju, coklat, atau susu. Rasanya? Ya biasa aja. Macam pisang bakar dikasih gula. Kalau boleh membandingkan, lebih enak pisang bakar yang mangkal depan sekolahku dulu, SMA Slawi. Apalagi dimakan selepas pulang sekolah, ramai-ramai dengan teman. 

Di sinilah, pertemuan kita dengan Sandi terjadi. Sungguh ini salah satu pertemuan menakjubkan yang terjadi pada saya setelah beberapa hari di Makassar. Namanya Sandi. Kalau ditaksir, usianya ada di sekitar angka 9-10 tahun. Ia masih sekolah. Tapi ia juga mengamen di malam hari. “Buat cari uang,” katanya. Sandi bilang, rumahnya tak jauh dari kawasan Losari. Ia kerap pulang jam 10 malam. Kalau Losari ramai sampai larut malam, ia juga ikut pulang larut. Lalu dengan gaya layaknya Bu Kost, Kak Mida meminta Sandi untuk pulang lebih awal. “Janganlah lebih dari jam 10 malam,” ujarnya. 

Nah, lantas apa yang istimewa dari Sandi?
Begini, Walaupun pengamen, Sandi adalah seorang anak yang begitu lucu dan lugu tanpa ampun. Anehnya, ia tak sadar kalau ia memang begitu lucu. Ia fasih sekali menyanyikan lagu “Kereta Malam” milik Bang Haji Oma dengan gubahan lirik sendiri. 

“Pernah sekali aku pergi. 
Dari Makassar ke Jeneponto.
Untuk menengok nenek baruku 
Mengendarai motor.
Bem bem bem motorku abis bensin
Bem bem bem motorku abis bensin.”
Selesai. (Sumpah, kata ini juga ia sebutkan di akhir lagu)

Kalau saya tuliskan tentu tak akan lucu. Lagu ini akan lebih hidup jika Sandi yang menyanyi diiringi keterampilan gitar yang entah kunci A atau D. Barangkali Sandi tak begitu peduli. Ia bahkan tak cengar-cengir saat menyanyikan gubahan lagu. Serius sekali.

Sandi, Bintang Pantai Losar, Makassar


“Yang ngganti lagunya siapa? Kok dari kereta jadi motor?” tanya saya.
“Saya Kak.”
“Sudah pernah naik kereta?”
“Belum.”
“Kalau lihat kereta?” 
“Sudah Kak.”

Malam itu, saya dan Kak Mida girang luar biasa. Kak Mida bahkan meminta Sandi menyanyi lagu yang sama lagi. Kami berdua terbahak-bahak lagi. 

Di atas, saya bilang bahwa ada dua hal yang saya kangeni dari Makassar. Yang kedua adalah kawan-kawan di Media Center lantai 2 Hotel Novotel. Di sini, saya dan kawan-kawan bekerja, makan makanan enak, menyetel youtube, dan menyanyi perempuan berkemajuan. Sungguh ya. Orang-orang Makassar punya selera humor yang besar. Kebetulan, tim media center dibantu oleh kader-kader Muhammadiyah militan. Sumpah, mereka kompak sekali. Kompak bekerja. Kompak bercanda. Kompak berkaraoke di warung Palu Basa Onta. Sampai kompak mendorong mobil yang kehabisan bensin. 

Lantai dua Hotel Novotel juga ramai dengan wartawan-wartawan nasional dan lokal. Bagi saya, mereka semua terlihat macam “relijiyes boy dan relijiyes girl”. Sebagai orang yang tidak masuk ke dalam golongan relijiyes ini, saya sungguh malu. Tapi dari mereka semua, saya belajar. Termasuk belajar mengakali redaktur yang sudah merongrong si wartawan, ujung tombak pencari berita. Ini salah satu pesan berharga dari wartawan di tenggat deadline. Bunyinya, “Ingat, bekerja sesuai gaji.” Kata salah satu relijiyes boy yang namanya tidak mau disebut, yang gajinya 25 juta per bulan. Makanya tidak usah heran kalau blio rajin sekali. 

Mungkin, barangkali benar. Bahwa orang-orang lebih bisa membuat rindu ketimbang bentang alam yang eksotis indah nian atau situs-situs mengagumkan. Ah Sandi. Ah Media Center. Hayuk lah kita Muktamar lagi!