#Ini cerpen lawas dan masih busuk sekali. Harap maklum!
#Terinspirasi dari puisi "Gadis Kecil" miliki Sapardi Djoko Damono.
Liana, keluar dari rumahnya yang hanya berdinding kardus.
Berkaus dalam dan celana
pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api. Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil
menahan gempuran dingin.
Liana berjalan sepanjang stasiun kecil yang lama tak
beroperasi. Sudah hampir setengah tahun ia tinggal disitu. Dulu ia memang
tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sederhana. Walaupun tak ada AC dalam
rumahnya, setidaknya ia, ibu dan bapaknya bisa tidur nyenyak di atas kasur
berdipan.
Setahun lalu ibu bapaknya mati. Kecelakaan. Saat itu,
mereka hendak membelikan Liana sebuah boneka barbie. Liana sungguh menginginkan
boneka cantik itu. Setahun sudah keinginan itu ia endapkan. Ibunya selalu
bilang tak ada uang untuk boneka.
Hari itu ibunya kelihatan sangat sumringah setelah pulang
dari pabrik, tempat ia bekerja. Uang lembur ia terima setelah dalam seminggu
bekerja lebih lama dari hari biasanya.
„Kau masih mau boneka cantik itu kan Lia?“
„Nggak Ibu. Lia nggak mau boneka itu lagi. Lia sudah punya Bela,“ jawab Liana tak sanggup melihat
mata ibunya. Takut menelan
kekecewaan lagi. Segera ia berlari ke kamar tidur. Mencari Bela kecil di atas
kasur.
„Lihat Ibu. Bela sudah cukup buat Lia,“ Liana
memperlihatkan bonekanya yang tak berbentuk .
Bela, boneka itu hanya terdiri dari buntalan kain gombal
yang dibungkus dengan selembar kain dari baju bekas. Tangannya tak sama
panjang. Kakinya hampir buntung satu. Wajahnya tak simetris. Matanya ia buat dari bulatan tinta pena. Liana
menjahit sendiri boneka itu. Ia minta ibunya membawakan perca kain dari pabrik
tempatnya bekerja.
“Jangan berbohong Lia. Kau masih mau barbie kan? Cepat mandi. Kita pergi ke pasar. Cari barbie yang kau
inginkan.“ ibunya segera menjawab. Matanya tak kuat memendung kaca-kaca air. Puas
karena sebentar lagi akan membelikan anak putrinya sebuah boneka barbie.
Mata kecil Liana tak kalah
cerah. Ia sudah lama mengubur impian untuk bermain dengan Barbie. Kini ibunya
tiba-tiba mengajaknya pergi mencari si cantik. Segera saja Liana, ibu dan bapaknya
segera pergi ke pasar yang jaraknya tak lebih dari satu kilometer.
Di tengah perjalan, sebuah truk keluar lajur jalan dan
berbelok tepat ke arah mereka. Menabrak deretan kios. Bapak ibunya terjepit
antara runtuhan tembok dan bagian depan mobil. Saat itu Liana berlari, tak
sabar hendak cepat sampai di pasar.
Badannya berbalik menemukan bapak ibunya sudah terseret
jauh dengan darah bersabutan tak karuan. Ia hanya mematung. Matanya seketika
basah. Ibu bapaknya tak pernah membuka mata setelah itu. Tak pernah melihat Liana lagi. Tak pernah bicara
dengan Liana lagi. Tak pernah memeluk Liana. Tak pernah membelai Liana. Tak
pernah memarahi Liana. Bapak ibunya mati.
Di tengah kesendirian, Liana
tak tahu harus melakukan apa. Kejadian itu sudah sedikit demi sedikit
meruntuhkan asa hidupnya. Sepengubur orang tuanya, ia tak pernah bicara dengan
siapa pun. Hanya memandang dengan mata cekung. Bibirnya kering. Setiap bibirnya
mulai bergerak, tangisnya selalu pecah. Tak bersuara. Tangis terdalam yang
paling pilu.
Tak kuat dengan hidupnya
saat itu, Liana mencoba kabur dari rumah tetangga yang berbaik hati telah merawatnya.
Malam-malam, hanya dengan membawa tas gendong yang berisi tiga lembar baju, dua
celana, satu rok-nya, ia bergegas meninggalkan rumah tetangganya itu. Berjalan
terus lurus menuju terminal. Bus kota yang berhenti segera ia naiki. Takut kepergok,
ia duduk di bawah bangku pojok yang tak terjangkau sinar lampu.
Mukanya tak berekspresi.
Hanya terlihat seperti seorang gadis kecil yang menunggu sesuatu. Bus mulai
merayap, entah kemana. Membawanya menuju kota yang tak pernah ia kunjungi. Pagi
selepas subuh, bus kota yang ia tumpangi berhenti. Liana sudah terjaga dari
tidurnya sejak satu jam lalu. Segera ia pergi keluar dari bis. Kaki kecilnya
menyusur jalan-jalan yang asing. Terminal itu sudah mulai ramai. Bakul kopi
gendong mondar-mandir menawarkan dagangannya.
Kini, sudah setengah tahun ia
terdampar di stasiun kota kecil yang sudah lama tak digunakan. Stasiun itu kini
hanya banguan tua hampir roboh. Lima gerbong berkarat tak terurus tergeletak
sekenanya.
Liana selalu rindu pada ibu bapaknya. Tapi mereka tak
pernah menengoknya, bahkan dalam mimpi sekalipun. Kenangan terakhir dengan ibu
bapaknya tak pernah ia lupa. Setiap detail ia ingat. Bahkan bentuk leleran
darah tak menghilang dari memorinya.
Pagi ini gerimis. Liana terbangun dari tidurnya. Ia keluar
dari rumah kecil yang hanya berdinding kardus. Berkaus dalam dan bercelana
pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api.
Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil menahan gempuran dingin.
Tangannya segera menyambar piring plastik kotor untuk memayungi kepalanya.
Liana berjalan sepanjang stasiun kecil itu. Menuju pohon meranti diseberang. Ia
rindu ibu bapaknya. Bibirnya lamat-lamat hampir bersuara. Bergetar. Masih selalu
saja matanya yang menguarkan kata tangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar