Rabu, 12 Agustus 2015

Liana



#Ini cerpen lawas dan masih busuk sekali. Harap maklum!
#Terinspirasi dari puisi "Gadis Kecil" miliki Sapardi Djoko Damono. 

Liana, keluar dari rumahnya yang hanya berdinding kardus. Berkaus dalam dan celana pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api. Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil menahan gempuran dingin.
Liana berjalan sepanjang stasiun kecil yang lama tak beroperasi. Sudah hampir setengah tahun ia tinggal disitu. Dulu ia memang tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sederhana. Walaupun tak ada AC dalam rumahnya, setidaknya ia, ibu dan bapaknya bisa tidur nyenyak di atas kasur berdipan.
Setahun lalu ibu bapaknya mati. Kecelakaan. Saat itu, mereka hendak membelikan Liana sebuah boneka barbie. Liana sungguh menginginkan boneka cantik itu. Setahun sudah keinginan itu ia endapkan. Ibunya selalu bilang tak ada uang untuk boneka.
Hari itu ibunya kelihatan sangat sumringah setelah pulang dari pabrik, tempat ia bekerja. Uang lembur ia terima setelah dalam seminggu bekerja lebih lama dari hari biasanya.
„Kau masih mau boneka cantik itu kan Lia?“
„Nggak Ibu. Lia nggak mau boneka itu lagi. Lia sudah punya Bela,“ jawab Liana tak sanggup melihat mata ibunya. Takut menelan kekecewaan lagi. Segera ia berlari ke kamar tidur. Mencari Bela kecil di atas kasur.
„Lihat Ibu. Bela sudah cukup buat Lia,“ Liana memperlihatkan bonekanya yang tak berbentuk .
Bela, boneka itu hanya terdiri dari buntalan kain gombal yang dibungkus dengan selembar kain dari baju bekas. Tangannya tak sama panjang. Kakinya hampir buntung satu. Wajahnya tak simetris. Matanya ia buat dari bulatan tinta pena. Liana menjahit sendiri boneka itu. Ia minta ibunya membawakan perca kain dari pabrik tempatnya bekerja.
“Jangan berbohong Lia. Kau masih mau barbie kan? Cepat mandi. Kita pergi ke pasar. Cari barbie yang kau inginkan.“ ibunya segera menjawab. Matanya tak kuat memendung kaca-kaca air. Puas karena sebentar lagi akan membelikan anak putrinya sebuah boneka barbie.
Mata kecil Liana tak kalah cerah. Ia sudah lama mengubur impian untuk bermain dengan Barbie. Kini ibunya tiba-tiba mengajaknya pergi mencari si cantik. Segera saja Liana, ibu dan bapaknya segera pergi ke pasar yang jaraknya tak lebih dari satu kilometer.
Di tengah perjalan, sebuah truk keluar lajur jalan dan berbelok tepat ke arah mereka. Menabrak deretan kios. Bapak ibunya terjepit antara runtuhan tembok dan bagian depan mobil. Saat itu Liana berlari, tak sabar hendak cepat sampai di pasar.
Badannya berbalik menemukan bapak ibunya sudah terseret jauh dengan darah bersabutan tak karuan. Ia hanya mematung. Matanya seketika basah. Ibu bapaknya tak pernah membuka mata setelah itu. Tak pernah melihat Liana lagi. Tak pernah bicara dengan Liana lagi. Tak pernah memeluk Liana. Tak pernah membelai Liana. Tak pernah memarahi Liana. Bapak ibunya mati.
Di tengah kesendirian, Liana tak tahu harus melakukan apa. Kejadian itu sudah sedikit demi sedikit meruntuhkan asa hidupnya. Sepengubur orang tuanya, ia tak pernah bicara dengan siapa pun. Hanya memandang dengan mata cekung. Bibirnya kering. Setiap bibirnya mulai bergerak, tangisnya selalu pecah. Tak bersuara. Tangis terdalam yang paling pilu.
Tak kuat dengan hidupnya saat itu, Liana mencoba kabur dari rumah tetangga yang berbaik hati telah merawatnya. Malam-malam, hanya dengan membawa tas gendong yang berisi tiga lembar baju, dua celana, satu rok-nya, ia bergegas meninggalkan rumah tetangganya itu. Berjalan terus lurus menuju terminal. Bus kota yang berhenti segera ia naiki. Takut kepergok, ia duduk di bawah bangku pojok yang tak terjangkau sinar lampu.
Mukanya tak berekspresi. Hanya terlihat seperti seorang gadis kecil yang menunggu sesuatu. Bus mulai merayap, entah kemana. Membawanya menuju kota yang tak pernah ia kunjungi. Pagi selepas subuh, bus kota yang ia tumpangi berhenti. Liana sudah terjaga dari tidurnya sejak satu jam lalu. Segera ia pergi keluar dari bis. Kaki kecilnya menyusur jalan-jalan yang asing. Terminal itu sudah mulai ramai. Bakul kopi gendong mondar-mandir menawarkan dagangannya.
Kini, sudah setengah tahun ia terdampar di stasiun kota kecil yang sudah lama tak digunakan. Stasiun itu kini hanya banguan tua hampir roboh. Lima gerbong berkarat tak terurus tergeletak sekenanya.
Liana selalu rindu pada ibu bapaknya. Tapi mereka tak pernah menengoknya, bahkan dalam mimpi sekalipun. Kenangan terakhir dengan ibu bapaknya tak pernah ia lupa. Setiap detail ia ingat. Bahkan bentuk leleran darah tak menghilang dari memorinya.

Pagi ini gerimis. Liana terbangun dari tidurnya. Ia keluar dari rumah kecil yang hanya berdinding kardus. Berkaus dalam dan bercelana pendek, ia memandangi hujan yang riciknya mulai memenuhi lajur rel kereta api. Pipinya bersemu merah. Bukan malu, tapi karena gigil menahan gempuran dingin. Tangannya segera menyambar piring plastik kotor untuk memayungi kepalanya. Liana berjalan sepanjang stasiun kecil itu. Menuju pohon meranti diseberang. Ia rindu ibu bapaknya. Bibirnya lamat-lamat hampir bersuara. Bergetar. Masih selalu saja matanya yang menguarkan kata tangis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar