#Katarsis
Menghasilkan duit dengan cara bersenang-senang? Semua orang pasti mau! Jadilah semua orang sepakat dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”, “Pilihlah Hobi yang Bisa Menghasilkan Duit!”, “Jadikan Hobimu Sebagai Ladang Duitmu!” Berbekal dengan keyakinan yang diimani orang banyak itu, saya pun ikut mengamini. Sejak kecil, sudah harap-harap cemas, agar nantinya bisa mencari uang hanya dengan mengerjakan sesuatu yang saya senangi. What a wonderful life!
Menghasilkan duit dengan cara bersenang-senang? Semua orang pasti mau! Jadilah semua orang sepakat dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”, “Pilihlah Hobi yang Bisa Menghasilkan Duit!”, “Jadikan Hobimu Sebagai Ladang Duitmu!” Berbekal dengan keyakinan yang diimani orang banyak itu, saya pun ikut mengamini. Sejak kecil, sudah harap-harap cemas, agar nantinya bisa mencari uang hanya dengan mengerjakan sesuatu yang saya senangi. What a wonderful life!
Tak sengaja dan
tak mau sombong, hobi saya yang paling kentara adalah membaca. Membaca
buku, majalah, poster, koran, sampai bungkus gorengan. Makanya, jangan heran
bila waktu kecil dulu, bungkus gorengan bakalan saya baca sampai-sampai lupa dibuang.
Hah alasan!
Tapi memang
benar, hobi saya saat zaman purba adalah membaca. Saya akan bangga betul jika
ditanya, apa hobimu? Dengan senyum jumawa dan suara dikeren-kerenkan, saya akan
menjawab: membaca! Saya juga bangga kalau mengingat-ingat kebiasaan ini. Tiap
malam sebelum tidur, saya selalu membawa bekal ke kasur: sebuah buku. Ini kegiatan
yang pasti. Ini sebuah keniscayaan.
Ritus ini sudah
saya jalani selama ribuan malam. Terutama sejak pindah ke rumah Tegal tahun
2000-an silam. Waktu itu, saya masih kelas 4 SD. Ritual baca buku hampir tiap
malam berlangsung. Bahkan jika baru membaca satu baris kemudian mengantuk, saya
akan menaruh buku di bawah bantal. Berharap isi buku itu merayap lewat bantal kapuk
dan mengendap di dasar otak saya.
Sebenarnya,
koleksi buku Bapak dan Mama itu-itu saja. Jadi, buku atau majalah atau apapun
yang saya baca ya itu-itu saja. Maklum, giliran niat membaca sudah ada di level
yang cukup bagus, eh kondisi ekonomi
keluarga nggak memungkinkan untuk rajin beli buku (Beli es krim petit yang 700
rupiah saja, saya takut uang tak cukup). Zaman SD, saya rajin meminjam buku ke
teman-teman ke kelas yang kebetulan memiliki hobi yang sama. Terutama Firda.
Bapaknya, kalau tidak salah, bekerja di Jakarta dan rutin membeli buku-buku
bagus. Saya pernah antre dengan teman-teman kelas lain untuk membaca seri tokoh
dunia dan Harry Potter.
Sayangnya,
ritual membaca buku sebelum tidur berhenti kala saya dihadapkan pada skripsi.
Entah kenapa, membaca buku yang dipaksakan (baca: membaca buku untuk rujukan
skripsi) itu memuakkan sekali. Yang jelas, skripsi membuat saya menolak semua
bacaan. Rasanya lelah jika harus terus membaca buku. Otak saya seperti kram dan
meleleh. Tak bisa mikir. Bahkan buku
humor pun tak bisa saya cerna. Alamak!
Kembali ke urusan hobi dan pekerjaan.
Saat kuliah
saya masih percaya dengan slogan “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaamnu.” Nah, karena hobi saya membaca, maka
terjunlah saya ke dunia yang tak jauh-jauh dari persoalan membaca, yakni dunia
tulis menulis. Mulai produk jurnalistik, editan, sampai buku saya hasilkan.
Jika dihitung, sampai sekarang saya sudah mencicipi kerja sebagai awak redaksi
di tiga majalah bulanan, satu buletin, dan satu tabloid. Juga pernah bekerja di
sebuah agensi naskah dan penerbitan. (Please,
jangan samakan kantor saya bekerja dengan Kantor Tempo, Kompas, atau Gramedia. J)
Sebenarnya
tak masalah kerja sebagai jurnalis. Saya senang bertemu orang-orang baru,
mendapat informasi-informasi baru. Apalagi saya pernah wawancara Buya Syafii
Maarif. Berbunga-bunga betul hati saya waktu itu. Sampai-sampai, di perjalanan
berangkat, motor saya hampir menyerempet mobil pick up saking gugupnya.
Yang menjadi
masalah adalah pekerjaan di agensi naskah. Berbeda dengan penulis yang
independen, di agensi naskah kamu bakalan menulis sesuai dengan pesanan
penerbit. Masih untung bila kamu menyukai tema buku itu. atau minimal paham
dengan tema yang dimaui penerbit. Jika tidak, waaah bisa syusye. Temanya
sih beragam, bisa biografi orang terkenal, pengembangan diri, sampai buku budi
daya ternak lele.
Pekerjaan
ini lantas membuat saya harus banyak membaca buku demi menghasilkan 150 halaman
buku baru dalam waktu satu bulan saja. Coba bayangkan! Satu bulan membaca
puluhan buku dan menghasilkan satu buku! Betapa “produktifnya” saya kala itu!
Sayangnya, semenjak
itu, kegiatan membaca bukan lagi menjadi hobi yang menyenangkan. Saya seperti
ditarget untuk membaca. Ada deadline.
Ada target. Ada output. Dan yang
paling mengerikan, saya dipaksa membaca buku dengan tema sesuai pesanan
penerbit! Saya merasa kejadian menggarap skripsi kembali berulang. Otak saya
kram jika disuruh membaca buku selain untuk buku pelengkap pekerjaan.
Saya bukan
lagi seorang pembaca yang independen. Lebih-lebih, saya jadi tak punya waktu
untuk membaca yang saya ingini. Ketertarikan saya pada kegiatan membaca menjadi
merosot sedemikian rupa. Saya yang zaman kuliah bisa membeli buku baru atau
bekas minimal dua eksempelar tiap bulan, tapi kini membaca pun enggan. Padahal
uang tabungan terlampau cukup bila membeli dua buku harga @ Rp 50.000 an per
bulan. Hehehe.
Saat itulah,
saya merasa bahwa menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah kesalahan besar! Saya
menyesal saudara-saudara! Ternyata, jika hobi sudah menjadi pekerjaan, menjadi
ladang duit, maka siap-siaplah karena hobimu itu tak akan mengasyikan lagi
seperti dulu. Karena hobi itu tak akan semembanggakan seperti dulu. Karena hobimu
adalah rutinitas belaka, seperti selayaknya pekerja kantoran. Lalu kamu akan menangis
di pojokan, berpura-pura senang bahwa cita-cita “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaan”
telah terwujud!
Tapi apa
daya, satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk menghasilkan duit adalah menulis.
Saya tak punya pengalaman hitung uang, jadi marketing, kerja di bank, atau mungkin
mendesain. Saya hanya bisa menulis. Itu pun pas-pasan. Ya maka dari itu, saya
lanjutkan saja pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan baca tulis ini.
***
Beberapa
waktu lalu, untuk menunaikan kewajiban saya di kantor (baca: setor tulisan), saya
wawancara dengan Pendiri Komunitas Muslimah Backpakcer yang sudah keliling 32
negara dan punya segudang karya. Yaitu Mbak Imazahra Fatimah. Dari obrolan random sekira
kurang lebih 60 menit itu, saya seperti disadarkan, diberi pencerahan, dikasih
jalan taubat.
Mbak
Imazahra menyebut misi perjalanannya sebagai dakwah backpakcer. Ya memang, Mbak Imazahra beserta suami, Rifyan
Nurhakim, biasanya diundang untuk mengisi ceramah di negara-negara Eropa,
Amerika, hingga Afrika. Setelah itu, keduanya selalu menyempatkan diri untuk traveling ke pelosok negeri terutama
yang memiliki jejak sejarah Islam. (Tulisan lengkap wawancara dengan Mbak
Imazahra, lain kali ya. Sedang mengejar deadline!)
Mbak
Imazahra cerita banyak tentang pengalamannya. Selepas traveling, blio-nya menuliskannya di blog pribadi. Awalnya, blio menulis
kisah perjalanannya bukan karena uang. Ia menulis hanya karena eman-eman tidak mengaksarakan kenangan
perjalanannya sendiri. Eh tanpa disangka, Majalah Annida dan Ummi mengontaknya.
Eh malah Mbak Helvy Tiana Rosa mengajak blio bikin antologi. Eh tawaran menulis
buku yang lain. Eh tau-tau buku-bukunya
sudah best seller saja!
Nah, di wawancara yang berlangsung lewat
sambungan kabel optik itu, Mba Imazahra bilang, “Kalau menyukai sesuatu,
seriusi sesuatu itu. Uang datang dengan sendirinya.”
Di
tengah-tengah wawancara, saya tersentak. Saya pun sadar, saya sudah keliru
besar. Selama hampir 15 tahun saya yakin betul dengan slogan “Jadikanlah Hobimu
Sebagai Pekerjaanmu!”. Dengan prinsip itu, kita justru meninggalkan kepuasaan
pribadi, menjauhkan diri dari proses katarsis, demi uang, demi tabungan, demi
popularitas, dan demi segala yang bisa diukur materi. Padahal alur dari slogan
itu seharusnya “Tekuni hobimu, kemudian kamu menjadi master di hobimu, uang mah akan mengikuti si master”. As simple as that!
Kemudian,
beberapa saat, wawancara dengan Mbak Imazahra selesai. Saya taubat. Dengan
langkah gontai dan penuh penyesalan (bagian ini sedikit didramatisir), saya
berbaring, mengambil sebuah buku apapun yang bisa saya jangkau. Lantas, mencoba
khusyuk, saya membaca kumpulan cerpen milik Eka Kurniawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar