Rabu, 20 Mei 2015

(Jangan) Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!


#Katarsis
Menghasilkan duit dengan cara bersenang-senang? Semua orang pasti mau! Jadilah semua orang sepakat dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”, “Pilihlah Hobi yang Bisa Menghasilkan Duit!”, “Jadikan Hobimu Sebagai Ladang Duitmu!” Berbekal dengan keyakinan yang diimani orang banyak itu, saya pun ikut mengamini. Sejak kecil, sudah harap-harap cemas, agar nantinya bisa mencari uang hanya dengan mengerjakan sesuatu yang saya senangi. What a wonderful life!
Tak sengaja dan tak mau sombong, hobi saya yang paling kentara adalah membaca. Membaca buku, majalah, poster, koran, sampai bungkus gorengan. Makanya, jangan heran bila waktu kecil dulu, bungkus gorengan bakalan saya baca sampai-sampai lupa dibuang. Hah alasan!
Tapi memang benar, hobi saya saat zaman purba adalah membaca. Saya akan bangga betul jika ditanya, apa hobimu? Dengan senyum jumawa dan suara dikeren-kerenkan, saya akan menjawab: membaca! Saya juga bangga kalau mengingat-ingat kebiasaan ini. Tiap malam sebelum tidur, saya selalu membawa bekal ke kasur: sebuah buku. Ini kegiatan yang pasti. Ini sebuah keniscayaan.
Ritus ini sudah saya jalani selama ribuan malam. Terutama sejak pindah ke rumah Tegal tahun 2000-an silam. Waktu itu, saya masih kelas 4 SD. Ritual baca buku hampir tiap malam berlangsung. Bahkan jika baru membaca satu baris kemudian mengantuk, saya akan menaruh buku di bawah bantal. Berharap isi buku itu merayap lewat bantal kapuk dan mengendap di dasar otak saya.
Sebenarnya, koleksi buku Bapak dan Mama itu-itu saja. Jadi, buku atau majalah atau apapun yang saya baca ya itu-itu saja. Maklum, giliran niat membaca sudah ada di level yang cukup bagus, eh kondisi ekonomi keluarga nggak memungkinkan untuk rajin beli buku (Beli es krim petit yang 700 rupiah saja, saya takut uang tak cukup). Zaman SD, saya rajin meminjam buku ke teman-teman ke kelas yang kebetulan memiliki hobi yang sama. Terutama Firda. Bapaknya, kalau tidak salah, bekerja di Jakarta dan rutin membeli buku-buku bagus. Saya pernah antre dengan teman-teman kelas lain untuk membaca seri tokoh dunia dan Harry Potter.
Sayangnya, ritual membaca buku sebelum tidur berhenti kala saya dihadapkan pada skripsi. Entah kenapa, membaca buku yang dipaksakan (baca: membaca buku untuk rujukan skripsi) itu memuakkan sekali. Yang jelas, skripsi membuat saya menolak semua bacaan. Rasanya lelah jika harus terus membaca buku. Otak saya seperti kram dan meleleh. Tak bisa mikir. Bahkan buku humor pun tak bisa saya cerna. Alamak!

Kembali ke urusan hobi dan pekerjaan.
Saat kuliah saya masih percaya dengan slogan “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaamnu.” Nah, karena hobi saya membaca, maka terjunlah saya ke dunia yang tak jauh-jauh dari persoalan membaca, yakni dunia tulis menulis. Mulai produk jurnalistik, editan, sampai buku saya hasilkan. Jika dihitung, sampai sekarang saya sudah mencicipi kerja sebagai awak redaksi di tiga majalah bulanan, satu buletin, dan satu tabloid. Juga pernah bekerja di sebuah agensi naskah dan penerbitan. (Please, jangan samakan kantor saya bekerja dengan Kantor Tempo, Kompas, atau Gramedia. J)
Sebenarnya tak masalah kerja sebagai jurnalis. Saya senang bertemu orang-orang baru, mendapat informasi-informasi baru. Apalagi saya pernah wawancara Buya Syafii Maarif. Berbunga-bunga betul hati saya waktu itu. Sampai-sampai, di perjalanan berangkat, motor saya hampir menyerempet mobil pick up saking gugupnya.
Yang menjadi masalah adalah pekerjaan di agensi naskah. Berbeda dengan penulis yang independen, di agensi naskah kamu bakalan menulis sesuai dengan pesanan penerbit. Masih untung bila kamu menyukai tema buku itu. atau minimal paham dengan tema yang dimaui penerbit. Jika tidak, waaah bisa syusye. Temanya sih beragam, bisa biografi orang terkenal, pengembangan diri, sampai buku budi daya ternak lele.
Pekerjaan ini lantas membuat saya harus banyak membaca buku demi menghasilkan 150 halaman buku baru dalam waktu satu bulan saja. Coba bayangkan! Satu bulan membaca puluhan buku dan menghasilkan satu buku! Betapa “produktifnya” saya kala itu!
Sayangnya, semenjak itu, kegiatan membaca bukan lagi menjadi hobi yang menyenangkan. Saya seperti ditarget untuk membaca. Ada deadline. Ada target. Ada output. Dan yang paling mengerikan, saya dipaksa membaca buku dengan tema sesuai pesanan penerbit! Saya merasa kejadian menggarap skripsi kembali berulang. Otak saya kram jika disuruh membaca buku selain untuk buku pelengkap pekerjaan.
Saya bukan lagi seorang pembaca yang independen. Lebih-lebih, saya jadi tak punya waktu untuk membaca yang saya ingini. Ketertarikan saya pada kegiatan membaca menjadi merosot sedemikian rupa. Saya yang zaman kuliah bisa membeli buku baru atau bekas minimal dua eksempelar tiap bulan, tapi kini membaca pun enggan. Padahal uang tabungan terlampau cukup bila membeli dua buku harga @ Rp 50.000 an per bulan. Hehehe.
Saat itulah, saya merasa bahwa menjadikan hobi sebagai pekerjaan adalah kesalahan besar! Saya menyesal saudara-saudara! Ternyata, jika hobi sudah menjadi pekerjaan, menjadi ladang duit, maka siap-siaplah karena hobimu itu tak akan mengasyikan lagi seperti dulu. Karena hobi itu tak akan semembanggakan seperti dulu. Karena hobimu adalah rutinitas belaka, seperti selayaknya pekerja kantoran. Lalu kamu akan menangis di pojokan, berpura-pura senang bahwa cita-cita “Jadikan Hobimu Sebagai Pekerjaan” telah terwujud!
Tapi apa daya, satu-satunya yang bisa saya lakukan untuk menghasilkan duit adalah menulis. Saya tak punya pengalaman hitung uang, jadi marketing, kerja di bank, atau mungkin mendesain. Saya hanya bisa menulis. Itu pun pas-pasan. Ya maka dari itu, saya lanjutkan saja pekerjaan yang berhubungan dengan kegiatan baca tulis ini.
                                                                        ***
Beberapa waktu lalu, untuk menunaikan kewajiban saya di kantor (baca: setor tulisan), saya wawancara dengan Pendiri Komunitas Muslimah Backpakcer yang sudah keliling 32 negara dan punya segudang karya. Yaitu Mbak Imazahra Fatimah. Dari obrolan random sekira kurang lebih 60 menit itu, saya seperti disadarkan, diberi pencerahan, dikasih jalan taubat.
Mbak Imazahra menyebut misi perjalanannya sebagai dakwah backpakcer. Ya memang, Mbak Imazahra beserta suami, Rifyan Nurhakim, biasanya diundang untuk mengisi ceramah di negara-negara Eropa, Amerika, hingga Afrika. Setelah itu, keduanya selalu menyempatkan diri untuk traveling ke pelosok negeri terutama yang memiliki jejak sejarah Islam. (Tulisan lengkap wawancara dengan Mbak Imazahra, lain kali ya. Sedang mengejar deadline!)
Mbak Imazahra cerita banyak tentang pengalamannya. Selepas traveling, blio-nya menuliskannya di blog pribadi. Awalnya, blio menulis kisah perjalanannya bukan karena uang. Ia menulis hanya karena eman-eman tidak mengaksarakan kenangan perjalanannya sendiri. Eh tanpa disangka, Majalah Annida dan Ummi mengontaknya. Eh malah Mbak Helvy Tiana Rosa mengajak blio bikin antologi. Eh tawaran menulis buku yang lain. Eh tau-tau buku-bukunya sudah best seller saja!
Nah, di wawancara yang berlangsung lewat sambungan kabel optik itu, Mba Imazahra bilang, “Kalau menyukai sesuatu, seriusi sesuatu itu. Uang datang dengan sendirinya.”
Di tengah-tengah wawancara, saya tersentak. Saya pun sadar, saya sudah keliru besar. Selama hampir 15 tahun saya yakin betul dengan slogan “Jadikanlah Hobimu Sebagai Pekerjaanmu!”. Dengan prinsip itu, kita justru meninggalkan kepuasaan pribadi, menjauhkan diri dari proses katarsis, demi uang, demi tabungan, demi popularitas, dan demi segala yang bisa diukur materi. Padahal alur dari slogan itu seharusnya “Tekuni hobimu, kemudian kamu menjadi master di hobimu, uang mah akan mengikuti si master”. As simple as that!

Kemudian, beberapa saat, wawancara dengan Mbak Imazahra selesai. Saya taubat. Dengan langkah gontai dan penuh penyesalan (bagian ini sedikit didramatisir), saya berbaring, mengambil sebuah buku apapun yang bisa saya jangkau. Lantas, mencoba khusyuk, saya membaca kumpulan cerpen milik Eka Kurniawan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar