Rabu, 20 Mei 2015

TOEFL-KU! Finland oh Finland!


#Katarsis

Finlandia. Boro-boro belajar di sana. Mendengar namanya saja sudah tak tertarik. Tapi, semenjak sibuk cari data buat daftar beasiswa S2, diriku jadi melirik negeri kulkas ini. Ada keinginan mengambil Master Pendidikan di sana. Setelah browsing-browsing, cari info sana-sini, ternyata Finlandia itu negara yang sistem pendidikannya oke punya. Negara ini konsisten sekali menerapkan sistem pendidikan yang memang sudah jadi. Nggak kayak Endonesah yang hobi obah-obah sistem pendidikan, tergantung mood menteri. Jadilah kepengen pergi nun jauh ke sana, demi melihat langsung pola pendidikan di Finlandia.
Tapi keinginan itu kadang muncul kadang tenggelam. Lebih-lebih, waktu itu, sayasedang sibuk belajar TOEFL supaya dapat lebih dari poin 500. Demi beasiswa, apapun akan kulakukan! Langkah pertama adalah dengan mengorbankan tabungan sebesar 1,1 juta untuk dimasukkan dalam rekening Lembaga Bahasa Sanata Dharma. Dengar punya dengar, stok dosen bahasa Inggris milik Kampus Sadhar ini paling jago se-DIY. Ngalah-ngalahin kampusku yang ada di sebelah baratnya. Tapi tak apalah menikung pindah kampus. Namanya juga demi ilmu dan beasiswa.
Sebelum kursus, semua siswa harus mengikuti placement test dulu. Tes ini bakalan nentuin kita ditaruh di kelas kategori jelek ke atas atau jelek ke bawah. Dalam satu kelas yang diisi sekitar 15 anak, dimulailah ujian TOEFL-like. Waduuuh, Anjasmara! Listening no problemo bangetlah. Reading dikit-dikit bisa. Structure, nglambruk, nggasruk ke lantai. Lemah tak berdaya. Pasrah dapet berapa aja. Pasrah masuk kelas mana aja. Padahal ya diriku orang paling gengsi sedunia. Pengennya ya tentu aja dapet kelas kategori jelek ke atas.
Setelah satu minggu deg-degan menunggu hasil tes, akhirnya keluarlah hasilnya. Apa boleh buat. Kemampuan saya jebot banget. Cuma dapet 450. Mayan sih sebenernya. Masih bisa masuk S2 UGM. Tapi harus bayar sendiri. Und, das ist BIG NOPE! Akhirnya, masuklah diriku ke kelas yang entah kategori satu atau dua karena emang nggak tau juga hasil anak kelas sebelah.
Apapun kelasnya, saya hanya punya satu tekad. Keluar dari lembaga bahasa, minimal harus dapat skor TOEFL 505! Minimal sekali! Syukur-syukur dapet di atas 550. Karena untuk dapet beasiswa di luar negeri, harus dapet minimal skor TOEFL 550. Tapi keinginan langsung sirna seketika pada pertemuan pertama, si Mbak Dosen yang cantik jelita, bilang bahwa sangat sedikit kemungkinan kenaikan TOEFL bisa mencapai 100 poin. Otomatislah diriku yang hanya dapat 450, cuma memble saja. Kurang 100 point bok! Apalagi si Mbak Dosen bilang biasanya kenaikan skor pasca kursus hanya 30an point saja. Lantas buat apa diriku kursus TOEFL?! Kalau cuma dapat 480 aja!

Kabar baiknya, pada tes uji coba kedua, saya dapat poin 517. Setahu saya, nilai saya ini tertinggi di kelas. Ya iyalah, orang nggak ada temen yang ngasih tahu nilai mereka! Tapi yang jelas, skor ini bikin diriku mabuk kepayang dan terlecut semangat yang tinggi. Go go Dian! Pasti bisa naikin skor jadi 550! Cetek! Sivil! Sivilisesion!
Satu bulan berikutnya, program kursus rampung sudah. Karena mengejar daftar beasiswa dengan segera, maka segeralah saya mendaftar test TOEFL ITP di Kampus Sanata Dharma. Kira-kira selisih satu minggu dari hari terakhir kursus. Alhamdulillah masih dapet jatah kuota yang tinggal sisa tiga saja. Dalam satu kelas kursus, cuma saya dan Mbak Nelda yang ambil ujian TOEFL sebenarnya.
Sesi Foto Bersama di Pertemuan Terakhir

Hari H pun tiba! Masya Allah! Anjasmaraaaa! Apa-apaan ini! Padahal setiap latihan soal begitu gampang. Ada apa dengan soal TOEFL yang sebenarnya? Kemana soal yang mudah itu? Dengan ajaibnya, soal TOEFL ITP hari itu berubah menjadi sangar dan mengerikan. Dalam hati, cuma memperbanyak baca Bismillah. Sedangkan otak, mulai memaksimalkan soal structure yang tumben-tumbennya lebih gampil daripada listening. Tapi pada hari itu, saya pasrah saudara-saudara! Pasrah ke haribaan Anjasmara! Eh Tuhan, maksud saya! Tapi agak ragu juga dapat skor 500. Menebak-nebak, paling saya cuma dapat 480-an. “Bye-bye beasiswa,” pikir saya waktu itu.
Pasca tes yang mengerikan itu, saya pulang kampung. Sekalian refreshing dan ganti kawat gigi yang sudah gatal bukan main. Lagi pula, hasil tes baru bisa diambil sepuluh harian lagi. Ternyata, hasil tes keluar selang beberapa hari saja. Padahal saya sedang plesir ke daerah Bumiayu bareng simbok yang punya urusan sendiri. Jadilah memohon-mohon, menyembah-nyembah pada wayang Kresna.
“Kamu sayang aku nggak? Kalau sayang, kamu harus ambilin hasil TOEFL aku di Sadhar (Sanata Dharma)! Harus! Kalau nggak, kita putus!”
Nggak ding!
Perkara TOEFL adalah perkara penting buat saya waktu itu. Jadilah prosesi minta tolong dilakukan dengan sangat sopan dan merengek-rengek manja begitu. Untungnya, blio baek betul. Tanpa harus mengirim foto sujud-sujud mohon, blio bersedia membantu. Blionya rela capek-capek bikin surat kuasa mendadak dan mampir ke Sadhar di sela-sela tugas liputan.
Sedangkan di belahan bumi lain, yang punya nilai terus deg-degan. Plesiran kali itu berasa hambaaaaar sekali. Bayangan skor di bawah 500 menari-nari di kepala. Satu persatu, hancurlah harapan saya untuk cari beasiswa. Aduuuuh. Hari itu berjalan lambat betul karena harus menunggu pegawai Sadhar selepas jam 1. Katanya sih itu skor baru bisa diambil selepas jam 1 siang. Kira-kira jam 2, wayang Kresna, mengirim pesan via whats app.
“Selamat yaaaa! Skor-nya 571!”
Keringat saya bercucuran. Seneng bukan kepayang! Percaya nggak percaya sih. Percaya karena tidak mungkin blio bakalan bohong perkara TOEFL. Secara, blio tahu betul selama berbulan-bulan saya selalu semangat sekaligus gusar tentang TOEFL. Kalau bercanda, ya keterlaluan aja! Masak orang tidak lulus tapi dibilang lulus. Nilainya ajib pula! Tapi ya nggak percaya juga. Karena memang soal kemarin susah-susah. Kelewat susah, sampe nggak bisa merasakan ademnya AC yang nyentor tepat di bawah bodi.
Akhirnya, saya putuskanlah untuk percaya. Alamaaak! 571. Itu sudah di atas standar yang saya inginkan! Pake TOEFL dengan skor segitu, saya bisa daftar beasiswa di luar negeri sana. Terbayanglah mengambil jurusan di Finlandia sana. Oh God! Betapa indah bayangan ngampus di salah satu universitas di Finlandia di otakku saat itu.
Di sisi lain, hati kecil ini tidak mau percaya begitu aja. Buru-buru deh minta foto sertifikatnya. Beberapa menit, wayang Kresna akhirnya mengirim foto sertifikat TOEFL tersebut.
Dan saudara-saudara, nilai TOEFL-ku adalah 517!
Sialaaaan! Dasar wayang! Bayangan Finlandia hancur sudah. Berkeping-keping.
Asemik! Ta kira 571 beneran! Udah bayangin daftar di Finlandia aja!”
“Hihihi. 517. Kebalik!” balasnya.

Ampoooon!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar