#Katarsis
Finlandia. Boro-boro belajar di sana. Mendengar namanya saja sudah tak tertarik. Tapi, semenjak sibuk cari data buat daftar beasiswa S2, diriku jadi melirik negeri kulkas ini. Ada keinginan mengambil Master Pendidikan di sana. Setelah browsing-browsing, cari info sana-sini, ternyata Finlandia itu negara yang sistem pendidikannya oke punya. Negara ini konsisten sekali menerapkan sistem pendidikan yang memang sudah jadi. Nggak kayak Endonesah yang hobi obah-obah sistem pendidikan, tergantung mood menteri. Jadilah kepengen pergi nun jauh ke sana, demi melihat langsung pola pendidikan di Finlandia.
Finlandia. Boro-boro belajar di sana. Mendengar namanya saja sudah tak tertarik. Tapi, semenjak sibuk cari data buat daftar beasiswa S2, diriku jadi melirik negeri kulkas ini. Ada keinginan mengambil Master Pendidikan di sana. Setelah browsing-browsing, cari info sana-sini, ternyata Finlandia itu negara yang sistem pendidikannya oke punya. Negara ini konsisten sekali menerapkan sistem pendidikan yang memang sudah jadi. Nggak kayak Endonesah yang hobi obah-obah sistem pendidikan, tergantung mood menteri. Jadilah kepengen pergi nun jauh ke sana, demi melihat langsung pola pendidikan di Finlandia.
Tapi
keinginan itu kadang muncul kadang tenggelam. Lebih-lebih, waktu itu, sayasedang
sibuk belajar TOEFL supaya dapat lebih dari poin 500. Demi beasiswa, apapun
akan kulakukan! Langkah pertama adalah dengan mengorbankan tabungan sebesar 1,1
juta untuk dimasukkan dalam rekening Lembaga Bahasa Sanata Dharma. Dengar punya
dengar, stok dosen bahasa Inggris milik Kampus Sadhar ini paling jago se-DIY. Ngalah-ngalahin kampusku yang ada di
sebelah baratnya. Tapi tak apalah menikung pindah kampus. Namanya juga demi
ilmu dan beasiswa.
Sebelum
kursus, semua siswa harus mengikuti placement
test dulu. Tes ini bakalan nentuin kita ditaruh di kelas kategori jelek ke
atas atau jelek ke bawah. Dalam satu kelas yang diisi sekitar 15 anak,
dimulailah ujian TOEFL-like. Waduuuh,
Anjasmara! Listening no problemo
bangetlah. Reading dikit-dikit bisa. Structure, nglambruk, nggasruk ke
lantai. Lemah tak berdaya. Pasrah dapet berapa aja. Pasrah masuk kelas mana
aja. Padahal ya diriku orang paling gengsi sedunia. Pengennya ya tentu aja
dapet kelas kategori jelek ke atas.
Setelah satu
minggu deg-degan menunggu hasil tes, akhirnya keluarlah hasilnya. Apa boleh
buat. Kemampuan saya jebot banget. Cuma dapet 450. Mayan sih sebenernya. Masih
bisa masuk S2 UGM. Tapi harus bayar sendiri. Und, das ist BIG NOPE! Akhirnya, masuklah diriku ke kelas yang
entah kategori satu atau dua karena emang nggak tau juga hasil anak kelas
sebelah.
Apapun
kelasnya, saya hanya punya satu tekad. Keluar dari lembaga bahasa, minimal
harus dapat skor TOEFL 505! Minimal sekali! Syukur-syukur dapet di atas 550.
Karena untuk dapet beasiswa di luar negeri, harus dapet minimal skor TOEFL 550.
Tapi keinginan langsung sirna seketika pada pertemuan pertama, si Mbak Dosen
yang cantik jelita, bilang bahwa sangat sedikit kemungkinan kenaikan TOEFL bisa
mencapai 100 poin. Otomatislah diriku yang hanya dapat 450, cuma memble saja. Kurang
100 point bok! Apalagi si Mbak Dosen
bilang biasanya kenaikan skor pasca kursus hanya 30an point saja. Lantas buat
apa diriku kursus TOEFL?! Kalau cuma dapat 480 aja!
Kabar
baiknya, pada tes uji coba kedua, saya dapat poin 517. Setahu saya, nilai saya ini
tertinggi di kelas. Ya iyalah, orang nggak ada temen yang ngasih tahu nilai
mereka! Tapi yang jelas, skor ini bikin diriku mabuk kepayang dan terlecut
semangat yang tinggi. Go go Dian!
Pasti bisa naikin skor jadi 550! Cetek!
Sivil! Sivilisesion!
Sesi Foto Bersama di Pertemuan Terakhir
Hari H pun
tiba! Masya Allah! Anjasmaraaaa!
Apa-apaan ini! Padahal setiap latihan soal begitu gampang. Ada apa dengan soal
TOEFL yang sebenarnya? Kemana soal yang mudah itu? Dengan ajaibnya, soal TOEFL
ITP hari itu berubah menjadi sangar dan mengerikan. Dalam hati, cuma memperbanyak
baca Bismillah. Sedangkan otak, mulai memaksimalkan soal structure yang tumben-tumbennya lebih gampil daripada listening. Tapi pada hari itu, saya
pasrah saudara-saudara! Pasrah ke haribaan Anjasmara! Eh Tuhan, maksud saya!
Tapi agak ragu juga dapat skor 500. Menebak-nebak, paling saya cuma dapat
480-an. “Bye-bye beasiswa,” pikir saya waktu itu.
Pasca tes
yang mengerikan itu, saya pulang kampung. Sekalian refreshing dan ganti kawat gigi yang sudah gatal bukan main. Lagi
pula, hasil tes baru bisa diambil sepuluh harian lagi. Ternyata, hasil tes
keluar selang beberapa hari saja. Padahal saya sedang plesir ke daerah Bumiayu
bareng simbok yang punya urusan sendiri. Jadilah memohon-mohon,
menyembah-nyembah pada wayang Kresna.
“Kamu sayang
aku nggak? Kalau sayang, kamu harus ambilin hasil TOEFL aku di Sadhar (Sanata
Dharma)! Harus! Kalau nggak, kita putus!”
Nggak ding!
Perkara
TOEFL adalah perkara penting buat saya waktu itu. Jadilah prosesi minta tolong dilakukan
dengan sangat sopan dan merengek-rengek manja begitu. Untungnya, blio baek
betul. Tanpa harus mengirim foto sujud-sujud mohon, blio bersedia membantu.
Blionya rela capek-capek bikin surat kuasa mendadak dan mampir ke Sadhar di
sela-sela tugas liputan.
Sedangkan di
belahan bumi lain, yang punya nilai terus deg-degan. Plesiran kali itu berasa
hambaaaaar sekali. Bayangan skor di bawah 500 menari-nari di kepala. Satu
persatu, hancurlah harapan saya untuk cari beasiswa. Aduuuuh. Hari itu berjalan lambat betul karena harus menunggu pegawai
Sadhar selepas jam 1. Katanya sih itu
skor baru bisa diambil selepas jam 1 siang. Kira-kira jam 2, wayang
Kresna, mengirim pesan via whats app.
“Selamat
yaaaa! Skor-nya 571!”
Keringat saya
bercucuran. Seneng bukan kepayang! Percaya nggak
percaya sih. Percaya karena tidak mungkin
blio bakalan bohong perkara TOEFL. Secara, blio tahu betul selama
berbulan-bulan saya selalu semangat sekaligus gusar tentang TOEFL. Kalau
bercanda, ya keterlaluan aja! Masak orang tidak lulus tapi dibilang lulus.
Nilainya ajib pula! Tapi ya nggak
percaya juga. Karena memang soal kemarin susah-susah. Kelewat susah, sampe
nggak bisa merasakan ademnya AC yang nyentor tepat di bawah bodi.
Akhirnya, saya
putuskanlah untuk percaya. Alamaaak!
571. Itu sudah di atas standar yang saya inginkan! Pake TOEFL dengan skor segitu,
saya bisa daftar beasiswa di luar negeri sana. Terbayanglah mengambil jurusan
di Finlandia sana. Oh God! Betapa
indah bayangan ngampus di salah satu universitas di Finlandia di otakku saat
itu.
Di sisi
lain, hati kecil ini tidak mau percaya begitu aja. Buru-buru deh minta foto sertifikatnya. Beberapa menit,
wayang Kresna akhirnya mengirim foto sertifikat TOEFL tersebut.
Dan
saudara-saudara, nilai TOEFL-ku adalah 517!
Sialaaaan!
Dasar wayang! Bayangan Finlandia hancur sudah. Berkeping-keping.
“Asemik! Ta kira 571 beneran! Udah
bayangin daftar di Finlandia aja!”
“Hihihi.
517. Kebalik!” balasnya.
Ampoooon!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar