Rabu, 20 Mei 2015

Hadiah Bogem Mentah dari Si Bungsu

#Katarsis

Satu-satunya orang yang pernah memberi hadiah bogem mentah kepada saya adalah adik semata wayang saya sendiri. Iya, adik semata wayang saya itu. Yang laki-laki itu! Yang hanya selisih usia 5 tahun 1 bulan itu! Yang namanya Haris itu!
Jadi begini, saya dilahirkan dengan selera humor yang buruk. Amat. Sangat. Buruk. Saya tak bisa melucu yang memang lucu jenaka. Kalau melucu ngece sih bisa. Bisa dikit. Nah, di samping diciptakan dengan selera humor yang payah, Gusti Allah juga menganugerahkan saya sifat iseng yang luar biasa. Ajaibnya, sifat iseng ini hanya keluar di depan si Haris, si adik saya yang cuma satu itu. (Mungkin suatu hari, jika saya sudah siap dengan jawabannya, saya akan bertanya pada Haris: bagaimana perasaan dia memiliki kakak seperti saya ini?)
Suatu hari, seperti hari-hari biasa, saya meledeknya. Kalau tidak salah saya SMP kelas 1 atau 2. Adik saya kelas 1 SD. Karena kami tinggal di Tegal, percakapan berlangsung menggunakan bahasa Tegalan dan logat Margasari. Demi alasan praktis, demikian terjemahan bebas dari isi ledekan saya: “Eh Ris, kamu kan anak nemu. Bukan anak Mama sama Bapak. Jadi aku, Mama, Bapak, sama Mbak Ita pergi ke pelabuhan. Eh terus ada bayi di laut, di bawah jembatan. Kita ambil deh.”
Sebenarnya ledekan itu sudah sering saya lontarkan. Tapi reaksi Haris paling marah-marah tak jelas, bahkan pernah saya dicueki begitu saja. Kalau sudah dicueki, saya hanya akan mencari guyonan mengerikan yang lain lagi.
Namun, sore itu berbeda. Di kamar tengah, saya, Mama, dan Haris sedang tidur-tiduran malas. Mulut saya yang kelewat iseng ini menyembur lagi, “Eh Ris, kamu kan anak nemu. Bukan anak Mama sama Bapak. Jadi aku, Mama, Bapak, sama Mbak Ita pergi ke pelabuhan. Eh terus ada bayi di laut, di bawah jembatan. Kita ambil deh.”
Tanpa ancang-ancang, tangan Haris mengepal dan meninju persis di pipi saya. Alamak! Kaget bukan kepalang. Sakit sih tak seberapa. Kaget, iya! Dan entah kenapa, saya malah menangis hebat. Memarah-marahi Haris dan minta ditinggal sendiri di kamar.
Sekarang, saya selalu cengar-cengir mengingat kejadian itu. Rasanya, adegan itu masih menempel segar di salah satu batang otak. Harusnya dulu saya terima saja dibogem adik sendiri, lha wong saya juga keterlaluan kok! Duh saya versi remaja itu nggak keren babar blas ya. Sudah payah, iseng kelewat batas, tukang marah-marah. Nggak jelas!
Sekarang, saya sudah jarang meledek si Bungsu. Ini sih murni karena kita jarang bertemu saja. Hehe. Maklum, saya di Yogyakarta, dia di Ponorogo. Bisa bertemu kalau saya menjenguknya di Gontor atau saat dia liburan ke Tegal dan Yogyakarta. Jika sudah kumpul satu ruangan ya sudah, dimulailah ronde pertama. Kalau sudah begini, Mama cuma bisa komentar, “Bocah loro ribut bae.” (Anak dua, ribut mulu.)
Kini, si Haris sudah besar, sudah makin pintar. Dia sudah bisa mengece saya habis-habisan. Di suatu sore yang acak, wajah si bungsu yang sudah 19 tahun itu mesam-mesem, tiba-tiba dia bilang, “Kamu kawinnya nanti aja. Aku duluan.”

Sialan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar