#Liputan
Medio tahun
2014 lalu, saya dihubungi oleh mantan bos saya di Warta Pasar, Mas Wahyu
namanya. Ia meminta saya untuk ikut terlibat di Ekspedisi Masjid Kagungan
Dalem. (Kata ekspedisi sengaja dipakai demi efek dramatisasi). Sesuai namanya,
ekspedisi ini memang bertujuan mengunjungi situs-situs masjid milik Karaton Ngayogyakarta.
Sebenarnya, ekspedisi ini bermuara menjadi sebuah bunga rampai tentang
masjid-masjid kagungan dalem yang memiliki sejarah tersendiri. Ekpedisi ini
sendiri didanai Kementrian Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tujuannya
mungkin memenuhi LPJ Dana Keistimewaan.
Hasil Akhir Desain Bunga Rampai Masjid Kagungan Dalem
Sebelum
liputan langsung, kami diajak untuk ikut serta pada acara sarasehan yang
mengundang beberapa pembicara. Sayangnya, saya lupa mencatat dan ingatan saya
untuk scene ini buruk. Terlebih, saya
datang telat. Hehehe. Yang jelas, ada beberapa narasumber dari Karaton dan
tokoh ulama DIY.
Buku ini
rencananya akan digarap oleh tujuh orang, antara lain saya, Mas Cahyo dari
beritajogja.id, Mbak Ina Florencys, Mas Wahyu, Mas Hamid dari Harian Jogja, Mas
Wibi (Saya tidak tahu nama aslinya, tapi dia budayawan sekaligus penyiar
radio), dan mas-mas anak pesantren (Sumpah, ingatan saya buruk).
Daerah
liputan dibagi menjadi beberapa tempat. Waktu itu, saya dan Mas Cahyo berduet
untuk menjelajah masjid-masjid Kagungan Dalem yang berada di pelosok Bantul,
DIY sana. Kami berdua mendapat jatah untuk mencari sumber sebanyak-banyaknya
tentang Masjid Banyusumurup, Masjid Giriloyo, Masjid Jejeran, Masjid Kauman Pleret,
Masjid Pajimatan Imogiri, Masjid Taqorrub Kanggotan, dan Masjid Taqwa
Wonokromo.
Kalau tidak
salah, waktu itu hari-hari pertama bulan Ramadhan. Dan hari pertama liputan
berjalan dengan sangat indah berkat ulah Mas Cahyo yang agak pekok. Waktu itu, pagi menjelang siang, kami
berdua sudah bermotor ria puluhan kilometer dengan badan yang separuh lemas
separuh bersemangat. Kami sudah mengaspali daratan Bantul yang naik turun. Harap-harap
cemas tak akan batal puasa di hari pertama.
Di tengah
perjalanan, saya meminta Mas Cahyo menepi karena di kejauhan sana terlihat
landskap Masjid Pajimatan dan kompleks makam raja-raja Mataram. “Mas-mas, itu
Pajimatan kan? Ambil fotonya geh!” pinta saya. Saat itu, saya memang
mengandalkan kamera DSLR milik beliau-nya.
Dan
saudara-saudara, beliau lupa membawa kamera! Mas Cahyo, dengan pedenya, hanya
membawa tas ransel berisikan tas kamera! Ladalah!
Mau tak mau,
sepanjang jalan saya harus mendengar Mas Cahyo menggoblok-gobloki dirinya
sendiri. Tapi kami tetap melanjutkan perjalanan mencari lokasi masjid-masjid kagungan
dalem di Bantul. Kami sadar, tanpa kamera, kami akan kembali tanpa hasil foto. Tak
apalah! Kita selo kok.
Untungnya,
hari berikutnya, perjalanan berlangsung cukup sempurna. Saya senang bertemu banyak
orang, bertemu takmir masjid yang tahu asal-usul masjidnya, bertemu kiai yang
paham sejarah, bertemu juru kunci, bertemu abdi dalem keraton, bertemu jamaah
salat, dan bertemu masjid yang usianya ratusan tahun. Jelas, itu salah satu
pengalaman paling mengasyikan di sepanjang kehidupan Ramadhan saya yang sudah
23 kali berulang.
Hari
terakhir reportase, Masjid Pajimatan Imogiri menjadi tujuan paling bontot Di
sana, kami tiba saat senja sudah benar-benar menggantung. Kami duduk di
pelataran, mengajak berbincang seorang juru kunci makam raja-raja. Namanya Pak
R. Daldiri. Sudah sepuh sekali. Beliau fasih sekali bercerita, malah seperti
mendongengi kami saja. (Hal yang paling saya ingat, simbah ini fans berat Pak
Soeharto.) Setelah puas berbincang, kami berdua pamit hendak keliling kompleks
masjid. Sayangnya kompleks makam ditutup selama satu bulan penuh karena
Ramadhan.
Mbah Daldiri, Fans Berat Pak Harto
Beberapa
menit kemudian bunyi bedug terdengar. Ah Magrib! Ah buka puasa! Saat itulah,
untuk pertama kalinya selama 6 tahun di Yogyakarta, saya berbuka puasa dengan
jamaah masjid. Lebih-lebih, di masjid bersejarah yang di atasnya penuh dengan
makam raja-raja Mataram. Saya senang!
Buka Puasa Pertama di Masjid Pajimatan Imogiri
*Karena kepentingan diterbitkan sebagai buku bunga rampai, tulisan
hasil reportase Ekspedisi Masjid Kagungan Dalem dibuat model profil yang straight dan amat sangat kaku. Harus
diakui, hasil tulisan hanya berisi fakta dan ditulis dengan gaya membosankan. Padahal
asyik sekali kalau dibuat feature.
Sayangnya, saya sedang kumat malas. Lagi pula, suasananya sudah agak-agak
samar. Nanti, kalau sedang berkontemplasi dan tidak dikejar deadline, saya buat versi feature-nya.
**Saya hanya menulis 4 profil masjid. Tiga masjid lain di Bantul
ditulis oleh Mas Cahyo. Sedangkan tulisan lengkap buku rampai, mungkin ada di
rak buku Dinas Kebudayaan DIY .
***Bagi yang ingin mewawancarai narasumber tentang masjid-masjid di atas, saya punya beberapa
kontaknya lho. Sila hubungi saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar