Perkembangan teknologi digital makin mengganas, namun Tini masih
saja mengandalkan dua buah mesin tik bekasnya untuk penghidupan.
Di suatu siang
yang cukup mendung, Tini masih masyuk dengan pekerjaannya. Jari-jarinya lincah
menari di atas papan mesin tik sedangkan matanya fokus membaca jilidan kertas.
Sekalipun ia mengobrol dengan saya ataupun pelanggannya, irama ketikan Tini
tidak sedikitpun melambat. Hasil ketikan Tini pun jarang sekali salah. Bisa
dibilang, ia memiliki konsentrasi yang luar biasa bagus.
Tini, 40
tahun, adalah seorang tukang ketik manual. Kiosnya, Shinta Ketik Manual, berada
di ujung perempatan Jalan Colombo. Setiap hari, ia harus menempuh perjalanan
selama kurang lebih satu jam. Maklumlah, rumahnya terletak di daerah Pajangan, perbatasan
antara Bantul dan Kulonprogo.
Bisnis ketik
manual ini sudah Tini lakoni sejak tahun 1991. Dua puluh tahun silam, setelah
kelulusannya dari SMEA Negeri I Sabdodadi Bantul, ia tertarik untuk mendirikan
jasa ketik manual. Memang, semenjak sekolah, kemampuan mengetik Tini berada di
atas rata-rata ketimbang kawan-kawannya. Berdasar pada inilah, ia bertekad
membuka sebuah rental ketik manual. “Kalau kita punya keahlian ya dimanfaatkan.
Saya langsung nyoba kerja begini
setelah lulus SMEA. Malah keterusan sampai sekarang,” ujar perempuan yang tak
miskin senyum ini.
Daya Tarik Primadona Anyar
Mesin tik pernah
menjadi pilihan unggul. Ia begitu disanjung dengan segala jasanya yang
menguntungkan. Waktu mesin tik masih berstatus sebagai primadona, usaha ketik
manual Tini terbilang maju. Dalam sehari minimal dua puluh lima ribu rupiah
bisa ia peroleh. Sepengakuannya, usaha ini juga mampu menghidupi ekonomi
keluarga dan menyekolahkan kedua anaknya. Namun, Tini tak bisa mengelak dari
perkembangan teknologi yang melesat cepat. Era mesin tik kian lama kian tak
dilirik. Segera saja komputer dan printer-nya
itu menjadi pilihan banyak kalangan. Waktu itu, Tini sempat khawatir memikirkan
nasib usahanya ke depan. Namun, di tengah-tengah kekhawatirannya itu, terselip
sebuah keoptimisan. Kini terbukti, usaha ketik manual Tini masih enggan mati. Walaupun
penghasilannya tak sebanyak dulu, namun ia masih tetap bersyukur karena setiap
hari selalu saja ada pelanggan datang.
Pengguna
jasa ketik manual ini memang kalangan khusus. Seperti orang-orang yang memang
tak memiliki keahlian menggunakan komputer atau sifat dokumen yang harus diisi
harus menggunakan mesin ketik. Bahkan, tidak sedikit mahasiswa menggunakan jasa
ketik yang disediakan Tini. Misalnya saja, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta yang mewajibkan mahasiswanya menggunakan ketik manual untuk
Tugas Akhir mereka. Tidak sedikit pula, orang yang mampir meminta pengetikan
untuk kwitansi dan surat ijin jalan kendaraan bermotor. “Bagi saya, mesin ketik
adalah solusi terakhir untuk dokumen yang nggak
bisa diselesaikan dengan komputer,” imbuh Tini.
Kisah Dua Dekade
Sudah dua
dekade lebih Tini menggeluti usaha ketik manual. Sudah berjuta orang pula yang
menjadi pelanggannya. Bagi salah seorang pelanggannya, jasa Tini bukan
main-main. Berkat kepiawaian jari-jari Tini, si pelanggan telah diantarkan
menuju jenjang karir yang lebih tinggi. Adalah seorang jaksa di Kantor
Kejaksaan Yogyakarta. Waktu itu sang jaksa memercayakan Tini untuk mengetik
naskah tesisnya padahal waktu itu komputer sudah menjadi hal yang tak asing
lagi. Berkat tesis ketikan manual ini, sang jaksa justeru mendapat pujian
bertubi-tubi dari dosen penguji. Bagi si dosen, kesederhanaan sang jaksa yang
menggunakan ketik manual patut diacungi jempol. Pujian ini lantas menjadikan sang
jaksa menduduki jabatan yang lebih tinggi, jaksa agung. Hingga kini, sang jaksa agung masih sering
menghubungi Tini. Baginya, Tini adalah seorang yang membawa kebaikan dalam
hidupnya.
Kepiawaian
Tini tak hanya menuai pujian. Pernah hampir selama sembilan tahun ia ditindas
oleh pelanggannya. Tini bahkan tak mengenal nama pelanggan itu. Awalnya si
pelanggan itu meminta Tini untuk memalsukan sebuah dokumen. Tini tidak pernah menanyakan
keganjilan itu. Bahkan, si pelanggan pun tak membayar jasa Tini. Kejadian ini
berlangsung berulang kali selama sembilan tahun. Sikap pelanggan ini juga dirasa sangat
mengganggu pelanggan lain. Ia sering membentak pelanggan lain dan tidak pernah
mau mengantri. Sampai akhirnya, Tini merasakan kemarahan yang luar biasa pada
pelanggan tadi. Di suatu pagi, Tini baru saja membuka pintu kiosnya. Tiba-tiba
pelanggannya itu memaksa Tini untuk memalsukan dokumen. Nada si pelanggan yang keras
dan kasar membuat Tini merasa sakit hati.
“Saya bukan
kenalan Anda! Saya juga bukan saudara Anda! Saya buka usaha ini untuk cari
nafkah! Sekarang Mas mau apa? Kalau Mas mau main keras, saya juga bisa. Posisi
Anda sekarang tamu! Saya bisa mengusir kamu. Cepat pergi sebelum saya
bertindak! “ Tini menirukan kejadian pengusiran yang terjadi tiga tahun lalu.
Kejadian pagi itu pun akhirnya menjadi anti klimaks dari segala kekesalan Tini.
Imbasnya, kini si pelanggan tak pernah berani menampakkan batang hidungnya ke
kios.
Penghasilan
Tini sekarang mungkin tak seberapa. Tapi ia tak pernah sedikitpun goyah
mencintai mesin tik. Tini tetap setia menjalani usaha ini. Selain itu ia tak
mau berjudi dengan masa depannya dan anak-anaknya. Di samping itu, di zaman
serba digital ini bukanlah hal mudah menemukan segala sesuatu yang manual,
seperti usaha mesin ketik. Padahal jasa mesin tik tidak lantas hilang tak
berjejak meski hanya untuk kalangan terbatas yang jumlahnya tak seberapa. Orang-orang
inilah yang Tini khawatirkan. Bagaimana nasib para pelanggan yang terbiasa
menggunakan jasa ketik manualnya jika ia harus beralih profesi?
Omah Petroek, 2 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar