Selasa, 16 April 2013

Pasar Pathuk: Pasar Pecinan di Malioboro

Pasar Pathuk terlihat hampir serupa dengan pasar tradisional lain di Yogyakarta. Bahkan pasar yang diapit oleh Jalan Pajeksan dan Jalan Beskalan ini berukuran lebih kecil ketimbang pasar lain. Hanya dengan berjalan kaki selama kurang lebih 3 menit seluruh bagian pasar sudah habis dikunjungi. Ketika hari masih pagi, bagian depan pasar dipenuhi penjual panganan siap makan mulai dari teh panas hingga pecel dan goreng-gorengan. Di bagian dalam, penjual sayuran, daging, bahan lauk pauk, sibuk menata dagangan sembari menawarkan dagangannya pada pembeli yang juga mulai berseliweran. 

Di bagian dalam ini baru bisa dilihat apa yang membedakan Pasar Pathuk dengan pasar lain, yaitu penjual dan pembeli yang mayoritas keturunan Tionghoa. Menurut Jimmy Sutanto, Wakil Ketua JCACC (Jogja Chinese Art Culture Center), Pasar Pathuk sendiri hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat peranankan Tionghoa kampung Pecinan yang berada di Jalan Pajeksan. Komoditas yang dijual pun banyak yang berlabel Tionghoa, seperti bumbu-bumbu masakan oriental dan jajanan khas.



Sekitar tahun 1977, Pasar Pathuk mulai berdiri. Menurut Sugeng Mohali, cikal bakal pasar ini adalah pedagang yang berjualan di sepanjang jalan di Perempatan Gandhikan. “Dulu kan jualan di jalan. Mungkin karena mengganggu lalu lintas, akhirnya pemerintah mendata siapa saja pedagang yang ikut berjualan,” terang Sugeng yang juga menjabat sebagai Ketua Paguyuban Pasar Pathuk. Sugeng sendiri ikut membantu orang tuanya berjualan sedari di Perempatan Gandhikan. Lambat laun, ia menggantikan orang tuanya yang sudah berumur untuk berjualan sayur.

Masih menurut Sugeng, dulunya Pasar Pathuk adalah bangunan gedung ketoprak yang dialihfungsikan menjadi pasar tradisional. Berbeda dengan keterangan dari Jimmy bahwa Pasar Pathuk tidak berembrio dari gedung ketoprak, melainkan gedung bioskop. Bahkan nama Pathuk sendiri diambil dari nama bioskop tersebut. “Itu dulu Bioskop Pathuk. Bioskopnya sendiri sudah ada sejak tahun 1950-an.”

Data dari keterangan Slamet Suharjana, Lurah Pasar Pathuk, jumlah pedagang di pasar ini mencapai 250-an pedagang yang terdiri dari 21 kios, 70 lapak, dan 159 los. Dari 250 pedagang hampir 25% lebih adalah pedagang keturunan Tionghoa. Sedangkan menurut pengamatan Sugeng, semakin hari semakin banyak penjual keturunan Tionghoa yang ikut berjualan. “Dulu nggak seberapa, dulu hanya jualan daging babi. Sekarang bertambah, ada yang jualan makanan juga jajanan khas seperti siomay.”

Pasar Pathuk sendiri sudah mengalami berkali-kali renovasi. Menurut Sugeng, sekitar dua tahun lalu atap pasar mulai diperbaiki. Sedangkan keramik sudah dipasang sejak tahun 2010 lalu. “Perubahan lain, kalau dulu kantor ini disekat. Yang satu bagian menjadi kantor, yang lain jadi mushola. Tapi karena tempat wudhunya jauh jadi dibangun mushola yang dekat tempat wudhu di bagian belakang,”imbuh Slamet. Pasar Pathuk yang identik dengan Tionghoa seperti lebur setelah budaya Jawa dan Islam juga turut masuk.

Tulisan original dari Pasar Pathuk: Peleburan Antara Jawa dan Tionghoa diterbitkan di Warta Pasar Edisi Februari 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar