Rabu, 21 Oktober 2015

Alergi: Musabab dan Solusinya (I)

#Hari Ketujuhbelas Bulan Blogging KBM UGM

Tulisan ini dibuat dalam rangka menanggapi tulisan spektakuler saya kemarin. Sebuah postingan yang membuat Kaks Dimas terpesona sampai terpancing untuk kasih komentar yang juga fenomenal. Pada postingan kemarin, saya bilang ingin berubah menjadi Pikachu. Tapi tak bisa. Karena tak bisa itulah, saya akhirnya berhenti menulis. Mau nulis apa lagi coba? Ya sudah, dua kalimat sudah cukup kok!

Tapi, kalau dipikir-pikir saya pernah lho hampir serupa Pikachu! Pikachu itu 'kan Pokemon alias Pocket Monster. Tapi setidaknya ada dua perbedaan antara Pikachu dan saya yang bertransformasi menjadi montster. Pertama, Pikachu begitu lutju, sedangkan saya versi monster adalah sangat amit-amit sekali. Kedua, Pikachu bisa dimasukkan ke dalam bola merah putih itu, sedangkan saya tentu saja tidak bisa!
...
Jadi, dulu sekali, waktu saya masih kelas 2 atau 3 SD, wajah saya pernah serupa monster. Saya lupa apa musabab yang membuat badan saya tiba-tiba penuh benjolan. Bukan hanya badan, muka pun mulai membengkak. Benjolan merah yang walaupun tidak gatal tapi membuat wajah imut saya raib secara tiba-tiba. Mama saya bahkan dengan tega bilang, saya mirip monyet (sial sial sial). Tapi sumpah, mengerikan!

Bapak saya panik bukan kepalang. Lantas, saat Magrib datang, kami berdua segera “sowan” ke dokter. Sampai di tempat praktik, Pak Dokter yang budiman itu sedang bersiap-siap hendak ngibadah. Bapak yang panik melihat anaknya bermetamorfosis menjadi seorang monster itu lantas membentak Pak Dokter. “Pak, salatnya nanti aja! Ini anak saya gimana?”


Tapi Pak Dokter bergeming. Ia tetap meminta diri untuk sembahyang dulu. Lantas, kami berdua menunggu. Pasca diperiksa oleh Pak Dokter, saya yang awalnya adem-ayem saja mulai khawatir. Saya divonis terkena alergi, terutama makanan laut. Bayangkan pula, saya diberi obat sebesar logam 25 rupiah dan berwarna hitam syuram. Derita itu sekarang menjadi ganda. Saya yang tak pernah bisa menelan obat secara utuh, harus dan wajib ain untuk minum obat itu supaya sembuh (oh ya, saya baru bisa menelan obat setelah kuliah S1 semester 5). Setelah kejadian metamorfosis menjadi monster itu, saya begitu hati-hati terhadap segala jenis makanan laut. Sampai sekarang, saya pun selalu hati-hati kalau tak mau tumbuh ribuan bercak merah di tubuh.

(Lepas dari alergi udang dan seafood, saya selalu mesam-mesem saja mengingat kelakuan Bapak yang melarang Pak Dokter salat dulu. Ini salah satu momentum romantis bersama Bapak yang perlu diingat dan dituliskan supaya terus teringat.)

Nah, sekarang, alergi terhadap makanan laut sudah mulai berkurang. Alhamdulillah, terapi berjalan lancar. Dan terapi itu berbentuk membiasakan makan makanan laut. Semenjak punya uang lebih, saya jadi ketagihan chinesee food di bilangan Moses. Saya kerap memesan cumi atau udang. Asal tidak busuk dan berlebihan, insya Allah aman. (ada yang mau mentraktir saya makan di situ?)

Tapi, jangan gembira dulu. Alergi saya berubah. Bukan lagi pada makanan laut. Tapi pada kemiskinan. Ini bukan mengada-ada atau rekayasa belaka. Ini memang benar adanya. Setiap kali rekening hanya berisi kurang dari 200 ribu, saya akan selalu kelaparan. Selalu! Digelonggong dengan cara apapun, perut selalu berasa kosong. Lihat ini, pengen ini. Lihat itu, pengen itu. Jika tidak dituruti, dedek dalam perut akan meronta-ronta tiada henti (Tolong kasihani mamamu ini, Nak!)

Dan, satu-satunya solusi adalah dengan menjadi kaya. Masalahnya adalah, saya harus bekerja supaya kaya. Supaya derita sebagai penderita alergi miskin ini tidak berlanjut. Masalahnya lagi adalah, akhir-akhir ini kok saya malas sekali buat bekerja. 

...

Lalu, saya tertarik mengadakan “penelitian” tentang alergi yang diderita kawan-kawan saya di jurusan Kajian Budaya dan Media. Tujuannya mulia: supaya saya tahu apa yang boleh dan tidak boleh saya berikan pada mereka. Baiq hati sekali saya. Jadi terharu.

Karena niat dari tulisan ini adalah membantu, maka tidak akan ada inisial atau nama alias. Semua identitas akan ditulis secara terang benderang. Jadi, kawan-kawan lain bisa juga membantu para penderita alergi ini. Baik membantu supaya mereka tidak kumat atau membantu mengusili supaya kumat.

Dari sekian kawan yang saya tanyai, ada beberapa alergi kerap diderita. Antara lain alergi dingin, alergi debu, alergi makanan tertentu, alergi manusia sok pintar, dan alergi yang berkaitan urusan percintaan. Tapi ada yang lebih epic, yakni alergi kepunyaan Mbay Summaya, perempuan random ke-Arab-araban.

Mari lihat penjabarannya di posting esok hari!

1 komentar: