#Hari Ketujuhbelas Bulan Blogging KBM UGM
Tulisan ini dibuat dalam rangka menanggapi
tulisan spektakuler saya kemarin. Sebuah postingan yang membuat Kaks Dimas
terpesona sampai terpancing untuk kasih komentar yang juga fenomenal. Pada
postingan kemarin, saya bilang ingin berubah menjadi Pikachu. Tapi tak bisa.
Karena tak bisa itulah, saya akhirnya berhenti menulis. Mau nulis apa lagi
coba? Ya sudah, dua kalimat sudah cukup kok!
Tapi, kalau dipikir-pikir saya pernah lho
hampir serupa Pikachu! Pikachu itu 'kan Pokemon alias Pocket Monster. Tapi setidaknya
ada dua perbedaan antara Pikachu dan saya yang bertransformasi menjadi montster.
Pertama, Pikachu begitu lutju, sedangkan saya versi monster adalah sangat amit-amit
sekali. Kedua, Pikachu bisa dimasukkan ke dalam bola merah putih itu, sedangkan
saya tentu saja tidak bisa!
...
Jadi, dulu
sekali, waktu saya masih kelas 2 atau 3 SD, wajah saya pernah serupa monster. Saya
lupa apa musabab yang membuat badan saya tiba-tiba penuh benjolan. Bukan hanya
badan, muka pun mulai membengkak. Benjolan merah yang walaupun tidak gatal tapi
membuat wajah imut saya raib secara tiba-tiba. Mama saya bahkan dengan tega
bilang, saya mirip monyet (sial sial sial). Tapi sumpah, mengerikan!
Bapak saya
panik bukan kepalang. Lantas, saat Magrib datang, kami berdua segera “sowan” ke
dokter. Sampai di tempat praktik, Pak Dokter yang budiman itu sedang
bersiap-siap hendak ngibadah. Bapak
yang panik melihat anaknya bermetamorfosis menjadi seorang monster itu lantas
membentak Pak Dokter. “Pak, salatnya nanti aja! Ini anak saya gimana?”
Tapi Pak
Dokter bergeming. Ia tetap meminta diri untuk sembahyang dulu. Lantas, kami berdua
menunggu. Pasca diperiksa oleh Pak Dokter, saya yang awalnya adem-ayem saja
mulai khawatir. Saya divonis terkena alergi, terutama makanan laut. Bayangkan pula, saya diberi obat sebesar logam 25 rupiah dan berwarna
hitam syuram. Derita itu sekarang menjadi ganda. Saya yang tak pernah bisa menelan
obat secara utuh, harus dan wajib ain untuk minum obat itu supaya sembuh (oh
ya, saya baru bisa menelan obat setelah kuliah S1 semester 5). Setelah
kejadian metamorfosis menjadi monster itu, saya begitu hati-hati terhadap
segala jenis makanan laut. Sampai sekarang, saya pun selalu hati-hati kalau tak
mau tumbuh ribuan bercak merah di tubuh.
(Lepas dari
alergi udang dan seafood, saya selalu mesam-mesem saja mengingat kelakuan Bapak
yang melarang Pak Dokter salat dulu. Ini salah satu momentum romantis bersama
Bapak yang perlu diingat dan dituliskan supaya terus teringat.)
Nah, sekarang, alergi terhadap makanan laut
sudah mulai berkurang. Alhamdulillah,
terapi berjalan lancar. Dan terapi itu berbentuk membiasakan makan makanan
laut. Semenjak punya uang lebih, saya jadi ketagihan chinesee food di bilangan Moses. Saya kerap memesan cumi atau
udang. Asal tidak busuk dan berlebihan, insya Allah aman. (ada yang mau mentraktir
saya makan di situ?)
Tapi, jangan
gembira dulu. Alergi saya berubah. Bukan lagi pada makanan laut. Tapi pada
kemiskinan. Ini bukan mengada-ada atau rekayasa belaka. Ini memang benar
adanya. Setiap kali rekening hanya berisi kurang dari 200 ribu, saya akan
selalu kelaparan. Selalu! Digelonggong dengan cara apapun, perut selalu berasa
kosong. Lihat ini, pengen ini. Lihat itu, pengen itu. Jika tidak dituruti,
dedek dalam perut akan meronta-ronta tiada henti (Tolong kasihani mamamu ini, Nak!)
Dan,
satu-satunya solusi adalah dengan menjadi kaya. Masalahnya adalah, saya harus
bekerja supaya kaya. Supaya derita sebagai penderita alergi miskin ini tidak
berlanjut. Masalahnya lagi adalah, akhir-akhir ini kok saya malas sekali buat
bekerja.
...
Lalu, saya
tertarik mengadakan “penelitian” tentang alergi yang diderita kawan-kawan saya
di jurusan Kajian Budaya dan Media. Tujuannya mulia: supaya saya tahu apa yang boleh
dan tidak boleh saya berikan pada mereka. Baiq hati sekali saya. Jadi terharu.
Karena niat
dari tulisan ini adalah membantu, maka tidak akan ada inisial atau nama alias.
Semua identitas akan ditulis secara terang benderang. Jadi, kawan-kawan lain
bisa juga membantu para penderita alergi ini. Baik membantu supaya mereka tidak kumat atau membantu mengusili supaya kumat.
Dari sekian
kawan yang saya tanyai, ada beberapa alergi kerap diderita. Antara lain alergi
dingin, alergi debu, alergi makanan tertentu, alergi manusia sok pintar, dan
alergi yang berkaitan urusan percintaan. Tapi ada yang lebih epic, yakni alergi kepunyaan Mbay
Summaya, perempuan random ke-Arab-araban.
Mari lihat
penjabarannya di posting esok hari!
HUH!
BalasHapus