Sabtu, 10 Oktober 2015

Hello S(n)ob!

#Hari Keenam Bulan Blogging KBM UGM

"If you can’t explain it simply, you don’t understand it well enough." Albert Einstein

Masih ingat Vicky? Mantan tunangan Eneng Zaskia Gothik yang lucu menggemaskan itu? Selain heboh karena menipu habis-habisan si Eneng, Vicky jadi semakin terkenal lantaran suka mengeluarkan statement yang berbau (in)telek. Segala macam perbendaharaan kata yang terlihat oke dan keren abis, ia keluarkan. Bahkan di depan para wartawan, kuli-kuli tinta yang biasanya lebih punya banyak perbendaharaan kata. 

Sebenarnya tak masalah sih kalau apa yang dikatakan Vicky itu punya makna dan bisa kita pahami. Nah masalahnya adalah, dia dengan kurang ajar membuat otak-otak awam seperti milik saya ini jadi kram. Harus berkali-kali lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, tapi ndak ngerti juga. 

"Di usiaku ini, twenty nine my age, aku masih merindukan apresiasi karena basically, aku senang musik, walaupun kontroversi hati aku lebih menyudutkan kepada konspirasi kemakmuran yang kita pilih ya.”

Coba baca lagi kutipan pernyataan Vicky yang saya nukil dari portal berita kompas.com:

"Kita belajar, apa ya, harmonisisasi dari hal terkecil sampai terbesar. Aku pikir kita enggak boleh ego terhadap satu kepentingan dan kudeta apa yang kita menjadi keinginan."

Anda paham? Saya ndak paham sama sekali. Saya hanya bisa menunduk malu karena ndak paham apa yang dibilang Mas Vicky. Apalagi memahami hati kamu, wahai mas yang lain. 


...

Pada salah satu hari yang riang, Pak Kris yang Budiman pernah bilang bahwa blio adalah penganut aliran Einstein. Dalam hal apa? Dalam hal menulis. Kata blio, “Kalau kamu tidak bisa menjelaskan sesuatu secara sederhana, berarti kamu belum mengerti. Berarti kamu belum paham.”

Jleb

Pada masa lalu yang syuram, pada saat masih di kampus sebelah (UNY) dan berkenalan dengan dunia tulis menulis secara intens, saya juga selalu diajarkan untuk menulis sesuatu dengan sederhana. Maka, mencobalah saya menulis dengan sederhana. 

Beberapa orang bilang, menulis secara sederhana membantu pembaca memahami jalan pikiran penulisnya. Seperti yang diurai jelas oleh Mas Hair dalam tulisannya. Tapi alasan saya sih sederhana saja. Bukan perkara ingin membantu pembaca. Bahkan saya ndak tahu juga apakah ada yang sudi membaca tulisan saya. Toh, saya ndak peduli. Saya menulis sederhana ya karena saya tidak punya banyak perbendaharaan kata yang canggih seperti Vicky. 

Sebenarnya, bukan Vicky saja yang suka menggunakan kata-kata canggih. Banyak sekali saya temui orang-orang yang persis dengan Vicky. Orang yang gemar ndakik dalam berbicara, dalam menulis. Orang yang bermewah-mewahan dalam berkata-kata. Saya temui orang-orang itu memenuhi kampus-kampus. Tak terkecuali di tempat sekarang saya berkuliah. 

Saya ndak tahu dengan gamblang apa maksud mereka memakai kata-kata ndakik yang susah dimengerti. Namun, sepengalaman saya yang juga pernah masuk dalam fase alay berbahasa, saya gemar memakai istilah ndakik karena ingin pamer. “Hey elu-elu! Para inlander! Ini lho, gue tahu istilah ini. Keren kan gue? Pinter kan gue?” 

Yup! Saya yang dulu dan mereka yang masih setia mendakik-dakik menjadi penganut paham snobisme. Kalau kita lihat dalam KBBI, salah satu pengertian snob adalah:

snob (n) 1 orang yg senang meniru gaya hidup atau selera orang lain yg dianggap lebih daripadanya tanpa perasaan malu; 2 orang yg suka menghina dan meremehkan orang lain yg dianggap lebih rendah daripadanya; orang yg merasa dirinya lebih pintar dp orang lain

...

Sebenarnya kebiasaan merumitkan penggunaan kata-kata juga sudah bisa kita lihat pada tulisan filsuf-filsuf Jerman. Horkheimer dan Heidegger misalnya. Seperti yang saya baca dalam tulisan Franz Magnis Suseno dalam kata pengantar buku “Dilema Usaha Manusia Rasional”. Romo Magnis bilang, “Bahasa Horkheimer sendiri, sama dengan bahasa Husserl dan Heidegger, sangat sulit, dalam ini pun setia pada tradisi filsafat Jerman, bahwa apa yang bisa dikatakan secara ruwet jangan dirumus secara sederhana.”

Mungkin para snob ini bercita-cita jadi Horkheimer, atau Husserl, atau Heidegger. Tapi, ah sudahlah. Suka-suka mereka. Saya ndak mau membuat hidup saya makin susah karena membaca tulisan mereka. Hati dan otak saya sedang berada dalam nadir kudeta yang ambivalen karena terlonggoknya tugas dari dosen kita yang mulia Paduka Heru Nugroho. 

3 komentar:

  1. Ndakik..saya jd ingat coretan maha guru di buku curhat soal ndakik ini.
    Bahasanya Agung DeHa waktu curcol ngedit buku edisi apaa aku lupa, bocah2 ki bahasa terlalu melangit gak membumi. Aku ora paham podo ngomong opo. Tak baleke ah tulisane.. hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. hhmm. sepertinya kenal tersangkanya siapaaa. hahaha

      Hapus
  2. Menulis sesuatu yang rumit dengan cara rumit gak terlalu masalah buatku. Yang bikin kesel itu, menulis sesuatu yang sederhana dengan cara yang rumit dan menggunakan kosakata yang sering tidak tepat. Terpujilah orang yang tidak termasuk kategori itu, hahaha

    BalasHapus