Kamis, 15 Oktober 2015

Memaknai Perjalanan

#Hari Kesebelas Bulan Blogging KBM UGM

Beberapa tahun lalu, saya pulang dari Jakarta menuju Tegal. Dengan bus Dewi Sri, saya duduk di bangku paling depan. Bus melaju cukup kencang membelah jalur pantura yang panjangnya tidak kepalang. Persis di depan bangku yang saya tempati, adalah bangku tambahan milik kondektur bus. Di situ, duduk seorang perempuan. Saya tak bisa melihat wajahnya. Hanya bisa melihat rambut hitam sebahunya yang tergerai. Badannya terguncang. Ia bukan lagi sesenggukan. Air matanya tumpah. Suaranya meraung-raung. Barangkali membanjiri jalan aspal. Bapaknya mati. Dan perempuan itu terancam tak bisa melihat wajah bapaknya yang harus segera masuk pekuburan. 

Beberapa bulan lalu, saya berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta. Dengan bus Citra Adi Lancar, saya duduk di bangku tengah. Bus melaju lambat membelah jalur selatan yang panjangnya tidak kepalang. Dua bangku di depan saya diduduki oleh dua bocah perempuan kakak-beradik. Usia mereka mungkin sekitar 7 dan 6 tahun. Mereka tak mau diam. Duduk di sandaran kursi. Mengobrol apa saja. Lantas ketawa-ketiwi. Kemudian memanggil ayah dan bundanya yang duduk berdua di bangku seberang. 

Masih beberapa tahun lalu. Sudah lama sekali. Ketika saya juga berangkat dari Tegal menuju Yogyakarta menggunakan bus Citra. Masih pagi. Orang-orang sibuk dengan telepon genggamnya. Sebagian masyuk melihat barisan rumah dan pepohon berbingkai jendela bus. Sebagian lelap tertidur. Tapi saya melihat kamu yang duduk di bagian depan seberang. Bukan karena kamu tampan. Toh, saya tak bisa melihat wajahmu. Saya tak mengenalimu. Tapi, saya melihat kamu berdoa. Menyandarkan kepala di sandaran bangku depanmu. Menengadahkan tangan. Barangkali kamu berdoa minta keselamatan. Maka, dalam hati saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Mungkin, doamu begitu mangkus sampai kami semua bisa pulang ke rumah masing-masing dengan selamat. 

Setiap perjalanan punya kisah masing-masing. Tidak ada yang pernah sama. Boleh saja rute yang kita lalui sama. Atau kita tumpangi bus yang sama. Atau motor yang sama. Atau tujuan perjalanan yang sama. Atau bertemu dengan orang-orang yang sama. Tapi, sekali lagi, setiap perjalanan punya kisahnya masing-masing, punya kebahagian masing-masing, punya kesedihan masing-masing dalam perjalanannya masing-masing.

Maka, bagi saya, salah satu jalanan di Yogyakarta itu akan selalu punya maknanya sendiri. Saya lupa tahunnya. Sudah lama sekali, walau juga tak sampai setengah dasawarsa. Tapi saya ingat betul, saya tumpangi motor pinjaman seorang kawan. Saya tutup separuh wajah saya yang memerah padam dengan slayer bergambar strawberry. Saat itu, saya marah. Saya geram. Saya sedih. Saya takut. Tidak ada satupun perasaan bahagia yang menajuk. Suram, pikir saya waktu itu. Perjalanan kali itu tak hanya meninggalkan jejak roda semata. Barangkali ada air mata yang –biarpun hanya berapa mililiter— menggenapi jalanan yang mulus rata. 

Seiring waktu, perjalanan suram itu berubah makna. Boleh jadi saya menangisinya untuk pertama kali. Bukan. Bahkan saya menangisinya untuk kedua kali, kesepuluh kali, dan barangkali ke seribu kali. Kini, air mata yang rutin keluar untuk peristiwa sebelum perjalanan itu sudah menyaru menjadi baja. Semoga ia menetapkan diri untuk benar-benar berubah menjadi baja, bukan menyamar belaka.

Kamu, terima kasih!

2 komentar:

  1. Ciiieee...iki curhat Lelakinya...ahahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekali-kali doooong.. ora mung ngiklan tok. ahahahaha

      Hapus