Sabtu, 17 Oktober 2015

Hari Minggu yang Ideal


*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.

Jika besok bisa menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12 malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua mata.

Saya akan terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.

Lalu saya bisa menjadi pemalas sepanjang hari.

Tapi, karena ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di sebuah lapangan. Sesekali push up atau sit up. Atau sekadar mencari sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan kering.

Di hari Minggu yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah itu, bolehlah kita menulis feature bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.

Siang hari, kita angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.

Lantas kita akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.

Di atas balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.

Kita bingung. hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang bikin kita mampus ketawa.

Lantas kita tiba-tiba diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor. Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas wajahmu. "Goodboy," desisku. 

Karena ini hari Minggu yang impian, boleh dong saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.


Tapi saya lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang liburan. 

Atau seharian menonton konser. 

3 komentar: