*ide tentang tulisan ini muncul ketika sedang mengobrol bersama
Dewi. Lantas kita sepakat menulis hari Minggu yang ideal versi masing-masing.
Jika besok bisa
menjadi hari Minggu yang ideal, maka tulisan ini semestinya dibuka dari jam 12
malam tepat. Saat itu, saya seharusnya sudah tertidur. Dua puluh menit
sebelumnya, kamu akan membacakan salah satu cerita dari Seno Gumira Ajidarma. Penulis
yang begitu saya puja-puja. Jangan bacakan “Dongeng Sebelum Tidur” punya Seno. Hanya
membikin sedih. Saya kan hanya mau bahagia. Kamu diperbolehkan sekali menceritakan
ulang “Sepotong Senja Untuk Pacarku”, atau “Cintaku Jauh di Komodo”, atau “Rembulan
dalam Cappucino”. Lalu menutup ceritanya dengan sebuah kecupan panjang pada kedua
mata.
Saya akan
terbangun di sebuah kamar di salah satu sudut sebuah kota yang punya udara
begitu sejuk, jika tak boleh dibilang bersuhu dingin. Ada coklat panas seenak buatan
Raja Sabi yang bersedia menghangatkan pagi. Ada sepotong serabi dengan telur
yang rasanya agak pedas yang membikin mata segera terjaga.
Lalu saya
bisa menjadi pemalas sepanjang hari.
Tapi, karena
ini tentang hari Minggu yang ideal, seharusnya saya berlari-lari kecil di
sebuah lapangan. Sesekali push up
atau sit up. Atau sekadar mencari
sinar matahari yang muncul malu-malu di sela rimbun pepohonan. Ingat, Minggu
itu begitu dingin. Oleh karenanya, kita butuh moyan alias berjemur. Setelahnya, kita bisa makan bubur ayam di salah
satu pinggir jalan di kota itu. Entah mengapa, saya lebih suka bubur ayam yang
dimakan dengan kuah. Itu lebih membantu tenggorokan yang bebal menerima makanan
kering.
Di hari Minggu
yang ideal itu, saya bisa berpiknik bersama teman-teman. Atau dengan kamu
seorang, tak apa deh. Menikmati rumput-rumput
di taman kota. Mengobrol apa saja. Tentang pekerjaanmu yang membuat riang, dan
tentang pekerjaanku yang menumpuk namun membuat gembira. Atau tentang cita-citamu
yang sudah mulai benderang. Atau tentang cita-cita baruku yang sedang disusun. Setelah
itu, bolehlah kita menulis feature
bersama. Kamu mengoreksi tulisanku. Aku pun begitu.
Siang hari, kita
angkat kaki dari taman kota. Lantas memburu batagor seantero kota. Mencari batagor
paling enak. Yang rasanya akan selalu teringat. Yang tempatnya akan selalu
menjadi penanda bahwa saya dan kamu pernah di situ.
Lantas kita
akan pulang pada suatu sore yang tanggung. Kamu mengeluarkan koleksi layanganmu
yang bejibun jumlahnya. Sesuai janji, kamu akan mengajariku bermain layangan
yang senarnya membuatku paranoid seumur hidup. “Takut putus jarinya kalau kena
senar layangan,” ujarku. Kamu hanya tertawa.
Di atas
balkon rumah, saya akan masyuk mengulur layangan. Sampai ada musuh mencoba
memutuskan senar layangan milikku. Sampai lima kali ganti layangan, saya selalu
kalah. Maka seketika itu juga saya akan merajuk, dan memintamu segera mengambil
gitar. Menyanyikan lagu apa saja yang kamu suka. Boleh Mocca, boleh NAIF, boleh
Maliq, atau Efek Rumah Kaca. “Nyanyi yang bagus!” pintaku. Maka, senja di hari
Minggu akan ditutup dengan salat Magrib bersama setelah sebelumnya duduk di atas balkon melihat matahari yang berubah memerak.
Kita bingung.
hendak apa lagi? Aku memotong melon dan kamu membeli pisang. Memakan keduanya sembari
menonton drama Korea yang menguras air mata. Atau film-film Stephen Chow yang
bikin kita mampus ketawa.
Lantas kita tiba-tiba
diam saja. Tak bisa mengobrol. Atau nge-bodor.
Karena wajahku sedang dipenuhi masker jeruk nipis. Maklum, jerawatku sedang
rewel. Dan wajahmu berhias masker bengkuang karena semakin menghitam rajin
dijemur matahari. Kamu yang biasa menolak, begitu menurut ketika kusapukan kuas masker di atas
wajahmu. "Goodboy," desisku.
Karena ini
hari Minggu yang impian, boleh dong
saya berharap segala tugas yang menumpuk sudah selesai. Namanya juga harapan.
Tapi saya
lebih berharap lagi, pada suatu hari Minggu, saya akan terbangun di Jerman. Sedang
liburan.
Atau seharian menonton konser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar