Selasa, 06 Oktober 2015

Parade Perempuan yang Kehilangan: Perempuan Sebagai Agen Perdamaian

#Hari Kedua Bulan Blogging KBM UGM 


Barangkali benar apa kata banyak orang, khususnya para pegiat kesetaraan gender. Bahwa perempuan bisa menjadi agen perdamaian, terlebih di tengah riuhnya dunia dengan konflik, peperangan, dan kerusuhan. Asumsi ini bukannya hendak bilang bahwa laki-laki tak bisa menjadi agen perdamaian. Tidak sama sekali. Tapi, mari kita kesampingkan dulu peran laki-laki yang seringnya suka berbangga atau terpaksa menjadi pelaku konflik, peperangan, dan kerusuhan ini. (Apa boleh bikin? Selama ini, wacana kekerasan lekat dengan dunia laki-laki)

Lagipula, barangkali benar, orang-orang jengah pada kelakuan media massa yang makin hari makin menebarkan kebencian. Bukannya membantu memulihkan kedamaian, berita-berita media massa justru hadir bagaikan monster yang menakutkan. Yang siap membuat chaos di tengah masyarakat yang sedang dalam masa pemulihan. 

...

Cerita ini kukisahkan untuk semua orang yang ingin mendengar./ Kisah tentang siapa yang cepat./ Kisah tentang siapa yang berdoa./ Kisah tentang kota kecil yang di kelilingi ladang ranjau./ Terperangkap peperangan yang jaraknya begitu dekat./ Dua kelompok yang patah hati terejerang panas matahari./ Tangan mereka bernoda darah atas nama salib dan bulan bintang./ Dari tempat terpencil ini, ada sebuah kedamaian yang bisa dipilih./ Dari siapa sejarah bergulir di antara kawat berduri dan desingan peluru./ Kisah panjang tentang wanita bergaun hitam. tanpa bintang-bintang berkilau tanpa bunga-bunga yang segar./ Mata mereka dikelilingi lingkarang gelap./ Wanita yang dipermainkan takdir untuk menunjukkan keberanian mereka


Adegan pertama film "Where Do We Go Now" dibuka dengan perempuan-perempuan berbaju hitam yang berjalan dengan iringan lagu merdu. Mereka berjalan dengan tak biasa, dengan koreografi yang sederhana. Gerakannya seperti marah namun hendak pasrah dan melawan keadaan. 

Wajah para perempuan ini tampak kelabu. Meskipun begitu, kegeraman –bahkan kemarahan- jelas kentara di setiap mata sembab para perempuan ini. Rupa-rupanya, rombongan perempuan berbaju hitam ini hendak mengunjungi kompleks pemakaman. Di tempat ini, semuanya berai, menuju makam yang berbeda-beda. Inilah, parade perempuan yang kehilangan. Ditinggal mati anak, ayah, dan juga suami. 

Pemakaman tadi terletak di salah satu dusun di Lebanon, yang tengah istirahat dari perang saudara antara Muslim dan Nasrani. Bisa dibilang, dusun ini begitu damai, sementara sekelilingnya masih saja tak bosan berperang. Dusun ini dihuni oleh dua kelompok agama, Islam dan Nasrani. Yang luar biasa adalah dusun ini tampak adem ayem saja, padahal konflik antara Muslim dan Nasrani masih berkecamuk di luaran sana. Gereja dan masjid berdiri berdampingan. 

Rupa-rupanya, kedamaian dusun ini disokong karena tidak adanya berita provokatif ihwal peperangan yang masuk. Apa boleh bikin? Adalah benar yang disebutkan pada bagian awal, bahwa dusun ini terperangkap pada peperangan yang jaraknya begitu dekat. Sehingga pasca peperangan, dusun ini terisolasi. Segala macam akses menuju kota tak ada. Bahkan untuk kebutuhan sehari-hari pun mereka mengandalkan budi baik dua orang pemuda, Nassim dan Roukoz, yang tiap minggu harus melakukan perjalanan panjang dan merepotkan. Menaiki vespa butut. Melewati ladang ranjau. Melewati jembatan yang bentuknya tak keruan. 

Akses informasi? Jangan tanya! Tak ada sinyal yang bisa masuk ke dalam frekuensi radio ataupun televisi. Satu-satunya sumber berita bisa mereka dapatkan lewat radio yang dipasang di warung kopi Amal, seorang perempuan yang mati ditinggal suaminya. Di warung milik Amal, radio pun tak bersinyal kuat. Selain itu, mereka juga mengandalkan koran yang dibawa oleh Nassim dan Roukoz seminggu sekali. 

Sebelum radio, televisi, dan koran masuk dan membawa kabar buruk ke tempat ini, semuanya berjalan tenang. Orang-orang, baik laki maupun perempuan, hidup dalam kebersamaan yang benar-benar padu. Ternyata mereka tengah melupakan konflik yang telah terjadi. Konflik yang membuat sebagian besar warganya mati. 

Lantas, bencana pun mulai disemai ketika dua pemuda yang wira-wiri kota itu membawa sebuah antena dari kota. Dengan susah payah, mereka mencari sinyal sampai ke ujung sebuah bukit. Siaran televisi ini sejatinya akan mereka jadikan hiburan di dusun yang tak pernah melihat gambar dalam tabung yang dipinjam dari Yvonne, seorang perempuan Nasrani istri dari Mayor yang juga kehilangan putranya dalam perang. 

Pada suatu malam, diadakanlah sebuah acara nonton televisi bersama. Channel pertama menampilkan adegan seorang laki-laki dewasa tengah bercumbu dengan seorang perempuan. Beberapa menikmati, beberapa protes meminta diganti. Channel kedua menayangkan seorang perempuan menari yang sedang dikelilingi oleh laki-laki dengan pakaian parlente. Penonton masih minta ganti. Channel ketiga menayangkan kehidupan ikan-ikan di lautan sana. Ini juga tak menarik untuk ditonton. Dan channel keempat menayangkan berita malam yang berisi konflik Muslim dan Nasrani di Kota Wardeh. 

“Kabinet darurat melakukan pertemuan untuk berdiskusi mengenai situasi negara ini, membahas hubungan politik, dan ancama keamanan yang terus menerus tejadi. Di tempat lain, terkait peristiwa yang baru saja terjadi di wilayah Wardeh seorang narasumber mengatakan...”

Belum selesai bicara si pembaca berita tadi, para perempuan dusun ini cepat tanggap. Mereka lantas sengaja berbuat onar supaya tidak satupun laki-laki fokus pada berita konflik yang kabarnya memakan korban jiwa. Mereka sadar betul, bahwa konflik bisa saja terjadi di dusun ini walaupun disulut dari api kecil bernama informasi. 

Pasca pemberitaan ini, suasana dusun ini sungguh begitu mencekam. Tiba-tiba saja di pagi buta, seorang laki-laki Muslim mengamuk karena kambing-kambing peliharaan orang nasrani masuk ke dalam masjid. Ia menuduh golongan Nasrani sengaja membukakan pintu masjid supaya para kambing ini masuk. Terjadilah keributan yang cukup dramatis. Sampai-sampai ia membanting patung Bunda Maria yang dipajang di tembok luar salah satu warga. 

Laki-laki, dalam film ini, entah mengapa digambarkan sebagai tukang rusuh yang memiliki akal pendek. Misalnya, mereka bukannya menyelesaikan persoalan yaitu membersihkan kotoran kambing yang tercecer di dalam masjid. Dan (lagi-lagi), para perempuanlah yang bergerak. Membereskan segala kekacauan. 

Lantas konflik kembali terjadi ketika seseorang dengan iseng mengganti “darah yesus” dengan darah ayam betulan. Sejatinya darah ini digunakan untuk membaptis anak-anak kecil. Tak terima dengan kejadian ini, seorang laki-laki Nasrani dewasa mengejar bocah Muslim yang sedang khidmat menonton pembaptisan dari luar jendela gereja. Ditendanglah bocah yang pincang itu.

Begitu seterusnya konflik terjadi. 

...

Saat para laki-laki sibuk merancang strategi perang, para perempuan sibuk mencari cara menggagalkannya.

Lantas apa peran perempuan dalam membangun perdamaian di sini? 

Pertama, para perempuan dalam film ini memilih untuk melakukan politik isolasi. Para perempuan di dusun ini seperti hendak memilih untuk memutus diri dari dunia luar yang berpotensi merusak kedamaian. Mereka lantas menaiki bukit di mana televisi itu dipajang. Di pagi buta, di tengah-tengah lengkingan suara serigala gurun, mereka berjalan dan merusak jalinan kabel antena televisi. Berharap tak akan ada lagi berita buruk yang dibawa melalui udara. Mereka membakar koran-koran yang masuk karena hanya berisi konflik di luaran sana. Mereka memilih mematikan siaran radio yang lagi-lagi menyebutkan adanya korban jiwa akibat peperangan. 

Kedua, mendatangkan perempuan penghibur!
Jadi begini, secara tidak sengaja, ibunda Nassim memergoki selebaran berisi pertunjukan penari striptease perempuan-perempuan Barat. Lagaknya, Nassim dan Roukoz pulang terlalu lambat dari kota karena menonton pertunjukan. Dan mereka secara tak sengaja menjatuhkan selebaran itu di depan rumah. 

Lantas ide gila itu muncul. Para perempuan ini sepakat mendatangkan para penari supaya ketegangan yang terjadi di antara laki-laki ini bisa mengendur. Mendatangkan di sini bukan sekadar menyuruh merak untuk menari. Tetapi pura-pura terjebak di dusun selama seminggu lewat skenario yang dibuat sedemikian rupa. Mungkin (ini mungkin) bagi mereka, laki-laki bisa dikontrol dengan ‘mempermainkan’ libidonya. 

Sebagian perempuan di dusun ini tentu tak setuju mendatangkan para penari striptease! Apa kata dunia! Tetapi para perempuan ini kapok bukan buatan ditinggal orang-orang yang mereka kasihi. Mereka tentu saja tak mau ada lagi pertumpahan darah di dusun itu. Dan inilah satu-satunya cara supaya para lelaki yang sedang bersitegang bisa melupakan konflik di luaran sana. 

Ini lucunya dan daya magis yang ditawarkan sang sutradara, Nadine Labaki. Labaki bisa menampilkan seluruh perempuan dari berbagai kalangan berperan sebagai agen perdamaian. Misalnya? Ya itu tadi. Perempuan muslim dan nasrani yang bersekongkol membuat jamuan dengan campuran obat tidur. Demi mengambil persediaan senjata yang dikubur dalam tanah oleh para laki-laki Muslim 

Bukan hanya perempuan beragama saja yang menjadi agen perdamaian. Perempuan penari striptease yang acapkali kita pandang sebelah mata karena tidak mengikuti ‘nilai kesopanan’ tertentu, juga turut membantu proses perdamaian. Mereka menghibur para laki-laki yang jarang sekali melihat perempuan dengan pakaian mini. 

Ketiga, para perempuan ini rela murtad. Yang Islam menjadi Nasrani. Yang Nasrani menjadi muslim. What a surprise! Alasannya ya klasik saja: supaya anggota keluarga yang lain (baca: laki-laki yang doyan memusuhi tetangga yang berbeda agama) bisa saling menghormati. Walaupun dengan terpaksa. Jika seorang suami muslim menyakiti tetangganya yang Nasrani, maka ia juga “harus” menyakiti istri atau ibunya. Dan sebaliknya. 

...

Sudah ah!

Cerita saya ini serampangan betul. Karena saya sadar bahwa saya suka sekali memulai tapi terburu-buru menamatkan sebuah tulisan. Tentu tidak elok bila saya berpanjang-panjang menuliskan ringkasan cerita film Where Do We Go Now di sini. (Hah, alasan!) Maka dari itu, tontonlah kawan-kawan! Supaya tahu ending-nya. Supaya tahu apakah perempuan memang benar bisa menjadi agen perdamaian (setidaknya dalam film ini). Supaya Anda tahu betapa bengalnya laki-laki, terutama yang digambarkan dalam film ini dan juga di dunia nyata. Supaya tahu betapa menawannya trik para perempuan yang kapok kehilangan. Dan supaya tahu mengapa film ini berjudul “Where Do We Go Now?” 

Ohya, nikmati juga soundtrack luar biasa gubahan dari Khaled Mouzanar yang juga suami Mbak Labaki! Dijamin, Anda tersihir!



2 komentar:

  1. Yiihaaaaaa..., perempuan sebagai agen perdamaian! Membaca tulisan saudari Dian membuat saya teringat sebuah berita di televisi tentang para ibu *di suatu daerah yang maaf saya lupa namanya* yang menghentikan tawuran dengan cara menyapu jalanan berdebu menggunakan sapu lidi. Hmm, perempuan selalu dikaitkan dengan perannya sebagai penjaga kedamaian (baik di keluarga maupun masyarakat secara umum). Akan tetapi, ambivalen sekali ya Dian, film tersebut mengisahkan peran perempuan sebagai agen perdamaian, sementara para perempuan tersebut tidak pernah dan tidak akan pernah merasa damai. Hidup para perempuan adalah untuk berkorban! Saya belum menonton film tersebut, (dan berkat ulasanmu ini, saya jadi tertarik. Punya filmnya? hehehee..) tapi dari ulasanmu, para perempuan tersebut harus mencari cara agar para laki-laki berhenti bermusuhan dengan cara menghadirkan para penari striptease. Itu syitmeeenn... Where do we go now?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin karena perempuan cenderung menghindari bentrok fisik kali mba? ini bias nggak ya? hahaha.
      soalnya kalau ada kudeta perempuan biasanya mainnya trik-trik begitu.. hahahah
      Kalau berkorban sih menurutku laki-laki juga sama-sama berkorban mba menurutku.. hehehhe

      Hapus