Rabu, 14 Oktober 2015

Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!

#Hari Kesepuluh Bulan Blogging KBM UGM

“Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!”

Ini adalah umpatan legendaris yang dilontarkan Kasino dalam salah satu film Warkop. Betapa cerdasnya penulis skenario film tersebut. Sampai-sampai monyet hingga brontosaurus pun jadi kata makian!

Lantas saya bertanya-tanya: mengapa bisa kata-kata bertema perhewanan mengisi gudang kosakata makian? Aprinus Salam dalam Kata Pengantar bunga rampai “Karnaval Caci Maki” terbitan Lembaga Pers Mahasiswa Ekspresi (Persma Kampus UNY) menuliskan bahwa ada tiga teori tentang kelahiran kata-kata. 

Pertama, adalah teori teologis. Para penganut teori ini percaya betul bahwa kata-kata berasal langsung dari Tuhan. Bahwa kata-kata serupa wahyu yang turun begitu saja dari langit sana dan disampaikan dengan bantuan para malaikat. Bayangkan saja, betapa sibuknya para malaikat ini apabila selalu membisiki manusia dengan kata-kata yang makin hari makin bejibun. Bayangkan juga seorang malaikat dengan iseng membisiki seorang remaja dengan kata-kata gahool kekinian. 

Nah, teori ini bisa saja kita persoalkan dengan mudah. Teori ini begitu saja meremehkan kemampuan manusia. Bahkan, Koentjaraningrat pun bilang kalau bahasa merupakan salah satu produk budaya. Bukankah budaya (menurut definisi Koentjaraningrat) merupakan hasil dari cipta, rasa, dan karsa manusia? 


Kedua, teori naturalis. Teori ini meyakini bahwa berkata-kata adalah kodrat manusia, dan kata-kata itu sendiri sudah ada dalam diri manusia. Ini juga mudah dipersoalkan. Jangan lupa, bahwa manusialah yang memberi nama suatu objek dengan sebuah nama. Bahwa manusia yang menamai dan memaknai sebuah objek. Ingat pula, bahwa semakin hari, kata-kata bertambah banyak. Kata-kata yang dulunya tidak ada mulai muncul. Bukankah kata-kata semacam kepo, baper, dan alay baru muncul belakangan? Kata-kata ini 'kan tidak lahir dari zaman Nabi Adam. 

Ketiga, teori konvensional. Teori ini berasumsi bahwa kata-kata lahir karena adanya konvensi (kesepakatan) dalam suatu masyarakat dan sifatnya parsial. Teori inilah yang paling bisa diterima. Kata-kata lahir dalam masyarakat, disepakati oleh masyarakat tersebut, dan dipakai oleh masyarakat yang menyepakati. Hal ini juga menjelaskan mengapa begitu bejibun-nya bahasa yang ada di alam semesta. 

...

Terlepas dari peristiwa lahirnya, kata-kata (sebagai medium berkomunikasi) bisa kita gunakan untuk apapun. Apapun! Memuji. Menjilat. Menguasai. Mengungkapkan kebahagiaan. Hingga misuh-misuh alias mengumpat. Seperti yang Kasino lakukan. “Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!”

Barangkali, kata-kata berdiri sendiri dan netral. Misalnya kata monyet untuk menerangkan hewan monyet. Kata kecoak untuk menerangkan hewan kecoak. Kata kadal untuk menerangkan hewan kadal. Kata brontosaurus untuk menerangkan hewan brontosaurus. 

Namun, kecoak dan kawan-kawan tak lagi netral karena diucapkan pada kondisi tertentu. Menurut Aprinus, “Konteks, situasi dan kondisi siapa dan bagaimana kata-kata disampaikan, siapa dan bagaimana kata-kata diterima, bagaimana sejarah kata-kata dan formasi sosial, sangat menentukan bagaimana kata-kata itu berarti.”

...

Beberapa hari lalu, Jarwo, alumni teladan Filsafat UGM 2008, menulis tentang betapa Diwan ingin menjadi bajingan bagi Fengfeng. Kaks Jarwo menulis “Dalam konteks saat ini, di lingkungan sekitar anda, dua pernyataan (bajingan) di atas bukankah sudah cukup kasar bukan? Buat saya, umpatan ini selalu mengundang gelak tawa, baik kalau saya hidup di zaman dulu atau sekarang. Karena sebenarnya tanpa penekanan apapun atau kesepakatan secara umum, kata tersebut pasti kurang diperhitungkan, apalagi sebagai umpatan yang kasar.”

Saya setuju bukan buatan dengan tulisan Kaks Jarwo itu. 

Berdasar pada tulisan Aprinus Salam, suatu kata yang biasa saja bisa menjadi sangat kasar dan menyakitkan kalau kita mengungkapkannya pada moment tertentu. Misalnya saja, kita mengata-ngatai seorang kawan yang ditinggal menikah pacarnya, “Syukur kowe!”

Nah, apa yang salah dari kata syukur? Padahal dalam KBBI, kata syukur bermakna rasa terima kasih pada Allah. Ironis sekali. Apa yang bisa kita syukuri kalau pacar menikah dengan orang lain? 

Atau kata anjing. “Anjing lu! Ngapain liat-liat gue? Nggak pernah lihat cewek cakep kayak gue?”

Apa coba salah si anjing sampai harus kita ucapkan ketika marah? 

Walaupun begitu, kata-kata yang biasa digunakan untuk memaki macam berengsek, bajingan, dan bangsat bisa menjadi begitu “lembut” apabila kita memakainya pada momentum selain mengumpat. “Bangsat! Ini foto keren banget!” (kerasa ndak sakitnya?)

Kata umpatan dalam bahasa tertentu juga akan terasa lebih halus bila digunakan pada masyarakat yang tidak menggunakan bahasa tersebut. Kenapa? Ya itu tadi, karena kata-kata merupakan suatu kesepakatan yang diamini oleh suatu komunitas masyarakat tertentu. Misalnya saja, umpatan “fuck you” tidak akan begitu mengena bila diucapkan pada orang-orang Jawa. 

“Fuck you! Ngopo kowe ndeloki aku?” 

Kerasa ndak sakitnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar